Jumat, 01 Maret 2024

Bisikan dari Rumah Tua (cerpen anak, detektif)

 

    Elang dan Bayu adalah dua sahabat sejak kelas 1 SD. Mereka teman bermain di sekolah dan di rumah. Elang, anak kelas 4 SD ini selalu memakai sepeda kesayangannya. Termasuk ke warung bila diperintah belanja oleh ibunya. Tidak jauh berbeda, Bayu, pun lincah bersepeda.

"Bayu, kamu berani gak masuk rumah tua?” tanya Elang.

"Rumah tua di jalan pertigaan itu? Rumah yang ada pohon beringin maksudmu?" balas Bayu.

"Iya. Rumah kosong yang sudah puluhan tahun tidak dihuni," sambung Elang sambil mengibaskan rambut poninya yang menutupi ujung mata..

"Ngapain juga masuk rumah tua, kurang kerjaan. Mending main bola," jawab Bayu yang berambut keriting ini. Meskipun pulang sekolah ngobrol di atas sepeda, kedua anak ini tetap waspada. Apalagi saat menyeberang jalan. Mereka menoleh ke kanan dan ke kiri dulu. Mereka cukup 10 menit untuk sampai rumah.

Sejak sepekan lalu, Elang tidak tenang. Setiap melewati rumah tua itu, ia ingin masuk. Seperti ada magnet. Pikirannya terus melayang-layang membayangkan ada kejadian di dalam bangunan gelap itu. Atau membayangkan ia menemukan sesuatu di dalamnya.

Rumah besar ini pasti  milik orang kaya. Banyak pintu dan jendela lebar-lebar. Lampu-lampu hiasnya besar dan kokoh. Namun, kini banyak lumut dan tanaman merambat menutupi sisa-sisa kemegahan rumah tingkat itu.

Halaman belakang sangat luas dan dipenuhi pohon-pohon besar.  Persis hutan. Karena gelap, orang-orang memilih memutar jalan. Hanya orang iseng yang melewati jalan itu. Salah satunya Elang. Setiap lewat, Elang menyelidiki hal-hal yang tertangkap mata dan telinga.

Buk….

Gubrak….

Srek….

Sesekali terdengar suara riuh dari dalam. Apalagi bila hujan deras, suasana mencekam semakin mengundang penasaran Elang. Bila kilat menyambar, Mata Elang tidak bisa berkedip. Sepintas di balik kaca-kaca jendela, sekelebatan terlihat berdiri sosok-sosok besar.

Rumah itu seakan semakin hidup dan berbisik memanggil-manggil Elang. Kebanyakan orang semakin takut, Elang justru semakin ingin tahu. Adapun arah rumah Bayu tidak melewati rumah tua itu.

Gubrak....

Jantung Elang seperti mau copot, dia mengambil langkah seribu. Kakinya berkali-kali meleset mengayuh pedal. Ia baru saja mendengar sesuatu jatuh. Bahkan, ada suara “Sst….” dari dalam. Meskipun sudah gelap sepulang salat isya di masjid, Elang tetap saja melewati jalan itu.  Ia hanya mengandalkan cahaya lampu jalan dari pertigaan.

Pagi hari saat berangkat sekolah.

“Bayu, kamu harus ikut aku. Nanti pulang sekolah kita ke sana!” ajak Elang dengan serius.

“Ke rumah tua? Kamu setiap hari mbahas itu terus, ha?!” bentak Bayu heran.

“Kali ini sungguh aneh. Semalam aku mendengar suara orang di sana.”

“Mana mungkin ada orang di dalam?” bantah Bayu.

“Ayolah, Bayu. Sekali ini saja!”

“Baiklah, kita ke sana,” jawab Bayu.

“Yess,” jawab Elang puas.

***

Matahari semakin terik. Elang begitu semangat mengayuh sepeda. Ia sudah tidak sabar.

“Tunggu!” kata Elang mendadak.

“Belum sampai, kenapa berhenti?”

“Ada cahaya terang sekali dari rumah itu. Ayo kita lihat!” ajak Elang.

Sampai di depan rumah, Mereka segera turun dari sepeda dan mengendap-endap. Pagar besi begitu berat bagi ukuran tubuh Elang. Seperti pintu sudah mati.

Meong….

Suara kucing mengagetkan mereka. Kucing itu lari keluar melewati celah pagar yang tertutup tanaman. Rupanya pintu pagar itu seukuran tubuh orang dewasa. Sampai di teras rumah bagian kiri, ada seng karatan menutupi sesuatu. Anehnya, di samping seng ada sandal jepit sebelah kiri. Sandal yang baru saja dipakai, tidak bulukan apalagi lumutan. Elang tambah penasaran. Matanya semakin menyelidik. Bayu hanya mengikuti di belakangnya.

Gubrak….

Elang terduduk jatuh. Badannya lemas. Napasnya tersengal-sengal. Keringatnya memenuhi dahi.

“Ada apa, Elang? Kamu melihat apa?”

“Di bawah seng itu!” jawab Elang sambal menunjuk.

“Banyak sekali barang! Ada cangkul, helm, sepatu bola. Lo, ini apa lagi? Ini seperti payung ibuku?” kata Bayu heran. “Ini cermin yang di toilet masjid. Kenapa di sini?”

“Sst…. Jangan keras-keras,” bisik Elang. “Sinar tadi pasti pantulan sinar matahari dari cermin ini.”

“Iya, betul,” saut Bayu.

“Apakah ini barang-barang curian?” tanya Elang curiga.

“Bisa jadi. Mereka menimbun di sini.”

“Untuk apa?”

“Mungkin sebelum dijual,” jawab Bayu.

“Cukup, ayo kita ke Pak RT!” ajak Elang.

Sampai di rumah Pak RT, tampak ada Pak Ari dan beberapa orang sedang membicarakan keadaan kampung yang mulai banyak laporan kehilangan barang.

Elang dan Bayu masuk dan menyampaikan informasi ada tumpukan barang di rumah tua. Meskipun awalnya tidak percaya, Pak RT dan beberapa orang mengikuti Elang ke rumah tua.

“Ternyata benar, ini cangkul saya, Pak RT,” kata Pak Ari gembira. Pak RT mengakui ada sedikit titik terang dari permasalahan warganya.

“Hebat, kalian! Terima kasih, ya,” kata Pak Ari dan Pak RT.

“Kalian persis detektif,” sanjung bapak-bapak yang lain. Elang dan Bayu tersenyum.

Bapak-bapak itu mengeluarkan beberapa barang untuk dibawa ke rumah Pak RT. Namun, semua masih terheran-heran, siapa pencurinya.

Tiba-tiba mata Elang tertuju pada sebuah sandal jepit sebelah kiri yang terlepas jepit depannya. Tadi sandal jepit itu terjepit di samping seng. Mungkin karena tadi malam gelap dan buru-buru, sandal itu ditinggal. Sandal jepit biru yang bagian belakang menipis, hampir bolong.

“Bayu, tadi pagi aku melihat sebelah dari sandal itu,” kata Elang bisik-bisik. “Sandal biru tipis sebelah kanan,” tambahnya tidak sabar. 

“Benar kamu melihatnya? Di mana?” *

 

 

Kebahagiaan Keong Sawah (fabel)

 


Keke dan Keki adalah kakak beradik keong sawah. Keke sangat sayang kepada adiknya, Keki. Keki sedang malas-malasan di dalam air. Kakaknya ingin mengajak jalan-jalan.

"Keki, ayo ikut aku!" ajak Kekek.

“Aku di sini saja,” jawab Keki lemas. Dia masih merasa ngantuk. Keki ingin melanjutkan tidurnya.

“Itu ada daun padi yang muda-muda sekali. Tampaknya enak sekali,” rayu Keke. Keki tidak beranjak. Menoleh pun tidak. Setelah berpikir beberapa saat, Keki mulai menggeser badan.

“Tunggu, aku ikut.”

“Nah, begitu dong, cantik. Bermain dengan kakak pasti seru,” bisik Keke.

Keke dan Keki Keong sawah bergerak mendekat tepian parit. Di sana sudah banyak aneka keong atau siput. Sepanjang hari mereka lebih banyak di dalam air. Menjelang malam, mereka bergerak meninggalkan air, ke permukaan. Binatang bercangkang ini banyak menempel di daun atau batang tanaman di sawah.

Di setiap sawah, rawa-rawa, pinggir danau, dan pinggir sungai kecil atau parit, di sana akan tinggal keong-keong. Bentuk cangkangnya yang seperti kerucut membulat, keong sawah mudah dikenali.

“Hai, mau ke mana?” sapa Tutut Keong Sawah melihat Keke dan Keki lewat.

“Halo, kamu siapa?”Tanya Keke.

“Kita sesama keong atau siput sawah. Mencari makan di sini saja. Padi-padi ini baru saja ditanam, daunnya empuk dan enak,” ajak Tutut.

“O, iya. Terima kasih. Wah, kita sesama keong sawah, ya?” kata Keke.

“Kalau itu siapa, Kak?” tanya Keki.

“Oh, itu Kemas, Keong Mas,” jawab Tutut. “Sebenarnya sama seperti kita. Tetapi, rumah keong mas berwarna  lurik kecokelatan. Kalau kita kan warnanya hijau kehitaman.

“Rumah?” tanya Keki heran.

“Rumah di atas badannya. Cangkang maksudku. Hehe…,” jawab Tutut bercanda.

“Oh, iya ya? Warna cangkang kita hijau kehitaman.”

Sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Kemas teriak.

“Awas ada pemburu keong. Cepat sembunyi!” teriak Keong Mas.

“Mengapa kita harus sembunyi?” tanya Keki dan Keke heran.

“Mereka mencari keong-keong karena kita memakan daun-daun padi,” jelas Tutut.

“Oh, begitu,” jawab Keke dan Keki kompak.

“Itu dulu. Kita dianggap hewan pengganggu atau perusak padi. Makanya, petani tudak suka dengan kehadiran kita,” tambah Keong Mas.

“Apa bedanya dengan sekarang, Kemas?” tanya Keki ingin tahu. Dia menjulurkan kepalanya ingin segera mendapatkan jawaban dari Keong Mas. Keong mas segera mendekat.

“Banyak orang yang sekarang berburu, mengumpulkankeong setiap hari. Kalau kita tidak waspada, kita tertangkap dan menjadi santapan mereka. Biasanya mereka aka membuat kira menjadi sate keong. Hihi.... kita dimandikan di dalam cabe merah. Pedesa sekali. Aku tidak mau.”

“Hihi...,” jawab Keki. Keke, dan Tutut bersamaan. Mereka ikut bergidik dan ngeri membayangkan badannya bermandikan cabai. Panas dan pedas.

“Cepat sembunyi, masukkan badanmu ke lumpur!” teriak Keong Mas lagi.

“Kamu tidak bersembunyi, Keong Mas?” tanya Tutut.

“Tenang saja, mereka lebih mencari kamu. Mereka mencari kamu karena dagingmu enak. Sebenarnya kita sama. Cuma, orang-orang sudah menganggap kalau keong mas beracun.

“Mengapa bisa beracun?” tanya Keki penasaran.

“Karena mereka tidak pintar mengolah. Mereka harusnya mencuci kita hingga bersih. Yang sudah pintar memasak, hgak akan keracunan. Malah gizi kita itu tinggi,” jelas Keong Mas.

“Benarkah kita bisa untuk pengganti daging dan susu?” yamnya Keke.

“Iya, aku pernah dengar itu. Meskipun kita hidup di sawah, Tuhan menciptakan kita sebagi hewan yang memiliki protein tinggi,” tambah Tutut.

“Aku tahu, untuk orang-orang yang idak bisa beli susu, kita bisa membantu mereka,” teriak Keki menjawab.

“Wah, adikmu pintar, Keke,” sanjung Keong Mas.

“Siapa dulu kakaknya?” jawab Keke. Hehe....Keke dan Keki berpandangan sambil tertawa.

“Benar. Kita ini hewan pengganggu padi-padi petani. Namun, sekarang mereka memburu kita untuk  dijadikan santapan. Kata mereka, protein kita tinggi,” jelas Tutut.

“Wah, kamu pintar. Eh, cepat masuk lumpur!” gantian Keke yang berteriak.

Mereka bertiga selamat dari tangan petani. Mereka bergerak pulang dengan perut yang kenyang. Sudah banyak daun padi yang mereka santap. Sambil pulang, mereka mendoakan agar para oetani masih bisa panen.

Di tepi sawah, mereka bertemu Kakek Gondang, Keong Gondang, keluarga keong sawah juga.

“Kalian dari mana?” sapa Kakek.

“Dari sawah, Kek,” jawab Tutut. “Kakek sehat?”

“Kakek sehat,” jawab Kakek. Kakek Gondang badannya hitam seperti batu.Karena seperti batu, jadi tubuh Kakek aman, tidak diambil petani.

Kalau mencari makan tetap harus waspada.Bahaya selalu mengancam kalian,” pesan Kakek.

“Apakah hidup kita selalu dalam bahaya, Kek?”

“Tidak perlu resah. Makhluk Tuhan sekadar menjalankan perintah-Nya. Sampai kapan kita hidup dan kita siap bila mati,” jelas Kakek yang belum dimengerti para keong.

“Sama-sama mati diambil petani, tetapi berusahalah sampai menunggu bulan puasa.”

“Apa maksud Kakek?”

“Masyarakat Banyumas memiliki kebiasaan berbuka puasa dengan mekankracak keong.Bahannya keong sawah, keluarga kita.”

“Kita mati dimasak mereka, Kakek?” sergah Keki.

“Iya, Cucuku. Tetapi, mati di bulan puasa menjadi kebanggan warga keong.Setidaknya.Orang-orang yang menyantap kita dalam suasana penuh bahagia setelah berpuasa.Mereka berdoa dengan khusyuk sebelum memakan kita,” terang Kakek. Tutut Keke, dan Keki menganggunk-anggukkan kepala tanda mengerti.

“Apakah mereka tidak memasak keong selain bulan puasa?”

“Ada yang memasak, tetapi sedikit. Karena yang ingin membeli juga sedikit,” jawab Kakek.

“Apakah kita dimasak soto, Kek?” tanya Keki sedih.

“Kamu tidak perlu sedih, Cu. Masyarakat Banyumas pintar memasak. Mereka mengolah keong menjadi sate keong, tongseng keong, atau rica-rica. Olahan yang terkenal adalah masakan kracak keong seperti bumbu rica-rica.Dalam satu panci ada ratusan keong.Kamu tidak perlu sedih,” jelas Kakek sambil mengelus kepala Keki.“Kakek bisa membayangkan wajah orang-orang yang bersyukur menikmati kelezatan kracak keong.Syukur dalam doa-doa setelah seharian berpasa.”

“Bagaimana kami bisa bertahan sampai bulan puasa, Kek?” tanyaKeke semangat.

“Sekitar satu bulan lagi bulan puasa tiba. Waspadalah dari perburuan petani atau para pemburu keong.Rendam tubuhmu dalam-dalam ke dalam lumpur.Kalau kamu kuat, bila sedang menempel di batang pohon, jangan lepaskan peganganmu!”

“Apa bisa, Kek?” tanya Tutut ragu.

“Mengapa Kakek bisa bertahan di sini? Kakek belum pernah merasakan dimasak menjadi kracak keong?”

“Tuhan menyisakan Kakek di sini. Sepertinya supaya Kakek bisa bercerita kepada kalian.”

“Benar juga, Kakek. Terima kasih, Kakek sudah memberikan nasihat yang luar biasa,” kata Keke.

Anak-anak berlomba untuk bertahan agar menjumpa bulan puasa.*


Purwokerto, 1 Maret 2024

Jumat, 02 Februari 2024

Hiburan dari Murid


Mengajar di sekolah full day bagi sebagian orang bukanlah pilihan yang menggembirakan. Adapun yang sudah memutuskan untuk menjalaninya, tentulah harus melakukannya dengan menerima berbagai suka dukanya.

Sebetulnya kejenuhan yang dialami para guru tidak berbeda dengan yang dialami murid. Maka dari itu, patutlah kita jalankan dengan bisa menikmatinya sepenuh hati. Apalagi, bila mendapatkan jam sore menjelang kepulangan. Atau, terpaksa ada jadwal sehari 8 jam, ini kita anggap saja anugerah. Rezeki untuk bersabar.

Beberapa pengalaman menarik yang saya syukuri berikut, menjadi obat penghibur. Ketika membahas cerita fabel, salah satunya watak tokoh. Siang itu jam ke-9 - 10. Awal saya masuk, beberapa murid kelas 7F memainkan raket di dalam kelas. Peringatan untuk selanjutnya, raket saya minta bila masih ada yang memainkan raket. Tiga puluh menit berlalu, ternyata terjadi juga. Pas baru saja saya menyita raket, saya melanjutkan bertanya watak tokoh belalang. Kok ada murid yang menjawab, “Suka mengambil raket.” Saya tertawa kaget kemudian mengambil buku. Bukan untuk memukul, tetapi saya balas kelakuannya dengan bermaksud menggelitik tubuhnya. Bisa-bisanya. “Saya disuruh teman,” ucapnya membela diri.

Lain lagi dengan murid kelas 7G. Di tengah saya mengajar, ada dua murid yang sibuk membicarakan sesuatu. Satu anak sepertinya mengejar jawaban temannya. Ketika saya tegur, tangannya memberi isyarat stop ke saya. Saya kaget dan heran, tapi saya malah ketawa sampai tidak kuat dan sekelas ikut tertawa. Benar-benar aneh, baru kali ini guru menegur murid, malah gurunya disuruh menunggu, sabar dulu, darurat katanya. Syukurlah dia sadar dan langsung minta maaf. 


Satu lagi, di salah satu kelas putri ketika ice breaking, murid sekelas melingkar. Kegiatan berupa tangkap bola kemudian jongkok dan berdiri. Pas satu murid mau jongkok, di belakangnya ada lemari, punggungnya mengenai tepian lemari kayu. Saya tanya sakit tidak. “Pakai nanya,” jawabnya sambal nyengir. Berarti benar-benar sakit. Mendengar jawabannya, sekelas tertawa apalagi saya sambil berucap, lagi-lagi  tidak kita menahan tawa, “Sama guru, kok begitu menjawabnya?” Dia pun meralat dengan mengucapkan maaf. 

Sebenarnya ini fenomena murid yang merasa dekat dengan guru atau sebetulnya sopan santun murid yang terbukti semakin menipis? Meskipun saya tidak ambil pusing, saya berusaha untuk tetap memberikan nasihat dan meluruskan kekurangtepatan sikap mereka.

Nah, kalau yang satu ini murni apresiasi murid kepada gurunya. Kata orang Jawa, “Mak nyes.” Membuat orang yang mendengarnya jadi senang saat saya merogoh tong sampah untuk mengambil botol air mineral. Karena saya mengecek pemilahan sampah di kelas 7 putra ada yang salah masuk, sampah itu saya pindah, “Luar biasa, Ustazah Mien mau mengambil dan memindahkan sampah,” kata Azka kelas 8G yang kebetulan lewat.

Purwokerto, 2 Februari 2024

Sabtu, 27 Januari 2024

Om Adit

*Om Adit*
(Sumintarsih)

Menjelang magrib Bu Adit belanja. Ia mengambil beberapa barang kebutuhan sehari-hari. Kebiasaan ini ia jalankan sudah beberapa tahun terakhir, ia berpikir lebih baik belanja di toko tetangga daripada di supermarket.

Tiba-tiba ia mendengar suara Bu Yani tetangga 1 RT. Bu Yani mengambil sesuatu sambil mengatakan  bahwa itu kopi susu dan kacang kesukaan Om Adit,  nanti malam dia mau datang.  Bu Adit balik kanan dan melirik kopi susu dan kacang yang Bu Yani ambil, sama dengan kesukaan suaminya. Tambah kaget kok sama malam-malam suaminya sering keluar rumah kadang pamit ronda kadang ga jelas pamitnya. 

"Rupanya ini ya yang membuat suamiku sering keluar malam-malam?!" kata Bu Adit setengah melebarkan matanya memecah keheningan toko. Bu Yani kaget bersamaan datangnya seorang pemuda gagah masuk toko. "Itu, itu... Om Adit, ponakan saya datang dari luar kota," jawab Bu Yani sambil nyengir bibir naik sebelah plus suara, "Sorry, ye.... Sorry, ye...!" Ucapan Bu Yani diiyakan Om Adit yang datang ke warung mau beli es krim kesukaan anak Bu Yani.

Purwokerto, 12 Januari 2024

Gara-Gara Jembatan Rusak

Pentigraf

*Gara-gara Jembatan Rusak*
Sumintarsih

Menjelang asar, Bian pulang kerja sekalian menjemput anaknya. Seperti biasa mereka dengan motor maticnya menyusuri jalanan sebuah kecamatan. Sembari ngobrol sedikit -sedikit seputar kegiatan Rio di sekolah, anak Bian yang masih kelas 5 SD itu, bapak anak ini menikmati perjalanan mereka. Angin sore merambat lembut mengantarkan mereka kembali berkumpul dengan keluarga kecilnya.

Hujan deras semalaman telah membuat beberapa tempat tergenang air, bahkan kerusakan beberapa persawahan. Termasuk jembatan rusak di dekat pasar 500 meter dari rumah Bian. Inilah yang membuat perjalanan Bian memutar lumayan beberapa menit.

"Anak ibu sudah sampai. Muter, jadi lebih sore ya, Nak? Sampai Bapak wajahnya manyun begitu?" tanya Ibu Rio dengan bercanda. "Bukan jalannya yang muter jadi jauh, Bu. Tapi, Bapak jadi ga bisa lihat senyum Dik Yuli. Penjual dawet pinggir pasar," sergah Rio menirukan bisik-bisik bapaknya di jalanan tadi. Ibunya Rio melotot disambut Bian meloncat dari motor dan secepat kilat menuju kamar mandi.

Purwokerto, 18 Januari 2024

Sembrono

*Sembrono*
(Sumintarsih)

Senin siang, setelah jam istirahat  pertama, Bu Lia menyempatkan diri untuk ke apotek guna membeli obat. Hal ini sebagai bukti perhatiannya kepada kesehatan diri. Sesibuk apa pun guru harus meluangkan waktunya untuk merawat diri, apalagi yang sedang ditimpa penyakit.

Setelah mendapatkan obat, Bu Lia pun bersegera menuju sekolah mengingat ada 2 kelas hari ini, jadwalnya mengajar. Namun, beberapa saat ia kesulitan menyalakan motornya. Bukan motornya, sih. Ia tadi meminjam motor Bu Aan yang katanya motor beat merah. Keringat mulai bersarang di dahinya membasahi tepian kerudung. Ia terus merayu dan berusaha menyalakan motor.

Karena kehilangan kesabaran, tepatnya kehabisan tenaga, Bu Lia menanyakan perihal macetnya motor tersebut kepada Bu Aan. Entah ada apa pakai acara menyebutkan berbagai ciri motor yang dipinjamnya. "Itu bukan motorku, Bu. Berarti motor orang lain. Bagai disambar petir ia menyadari kecerobohannya, ia telah sembrono. Ingatan tajamnya jatuh ke pilihan nama guru lain, sepertinya itu motor Bu Mira, ia ingat betul warna helmnya. Namun, kenapa tadi bisa jalan dan sekarang macet?  

Purwokerto, 22 Januari  2024

Bisikan Lembut

Bu Wanti seperti biasa, pukul 7.30 pagi asyik memilih sayuran di gerobak Mang Udin. Dari memegang bayam, tempe, tahu, bawang, sampai memilih ikan. Menyusul Bu  Asti yang selalu rapi dengan kerudung dan baju panjangnya mendekati gerobak sayur.

Saling sapa sebentar kemudian Bu Asti pun mulai memilih ikan. Seperti tidak mau kalah, Bu Wanti mencomot udang dan berucap bahwa udang lebih berprotein karena lebih mahal. Bu Asti hanya tersenyum memindahkan tangannya yang semula mau mengambil satu-satunya udang basah seperempatan kilo. Dirasa sudah cukup, Bu Asti menyodorkan uang sesuai hitungan Mang Udin kemudian pamit meninggalkan Bu Wanti dan Mang Udin. Balasan Bu Wanti pun seperti biasa, senyum asimetris dengan sedikit goyangan kepala.

Hitungan selesai, Mang Udin memberesi belanjaan Bu Wanti bersamaan mengalir bisikan lembut ke telinga Mang Udin. "Utang kemarin belum dibayar, Bu. Bagaimana nanti saya belanja untuk jualan besok?" Suara Mang Udin meninggi membuat Bu Asti memutar sedikit lehernya hanya karena kaget. Bu Wanti pun melotot kemudian kabur setelah meremas seikat bayam sampai hancur sehancur-hancurnya.

Purwokerto, 27 Januari 2024
#pentigraf

Selasa, 09 Januari 2024

Di Bawah Langit Jakarta

Tidak berkedip kedua mata Tina memandangi Ryan. Lelaki yang siang malam kini selalu bersamanya.  Tangan-tangan Ryan terampil menyiapkan nasi dan lauknya yang baru saja dibeli di warung ujung gang. Sayangnya, santap malam kali ini tidak seindah hari-hari awal mereka hidup bersama. Makan malam sepasang pengantin yang belum genap lima bulan. Namun, mereka tidak duduk berdampingan, apalagi saling menyuapi. Tina di dalam kamar, Ryan di ruang depan. Sesuap demi sesuap, mereka makan di tempat terpisah, hanya bisa saling memandang dari kejauhan.

Satu suapan masuk mulut, Tina mengenang masa lalunya yang pernah indah. Ingin rasanya ia mengusir bayangan itu jauh-jauh. Entah mengapa seperti barisan video, satu per satu antre bermunculan. Dulu ia mengenal laki-laki yang hampir akan ia jadikan tempat bergantung. Waktu itu ia merasa indahnya menjalani hari-hari dengan selalu ada bayangan nama Seto. Hidupnya selalu ada gairah dan harapan masa depan cerah.

Saking sayang dan setianya, Tina rela memberikan yang Seto minta. Hormatnya Tina kepada Ibunda Seto, membuatnya lupa bahwa mereka belum sebagai suami istri dan ibunda Seto belumlah sebagai mertua. Jangankan untuk kebutuhan Ibu Seto berobat, untuk membeli oleh-oleh atau hadiah, Tina dengan mudahnya mengeluarkan rupiah demi rupiah. Semua terasa ringan. Nasihat dari keluarga Tina agar tidak berlebihan, tidak dihiraukannya.

Lumayan lama, Tina baru tersadar. Bukan masalah materi yang keluar tidak ada hitungan. Namun, ia mencium ada yang kurang beres pada pribadi Seto. Tina yang diberikan jalan mudah mendapatkan rezeki, tidak masalah berbagi. Namun, untuk calon pendamping hidup, rupanya tidak cocok disandang Seto. Usaha demi usaha tidak ada wujudnya. Modal yang sering didapatkan dari Tina, entah bagaimana ia mengelolanya. Ia pun memutuskan meninggalkan Seto.  Seto tidak lebih hanya memanfaatkan keberlimpahan isi dompet Tina.

Belum juga nasi tertelan pada suapan kedua, sekelebatan hadir nama Bani dalam ingatan Tina. Lelaki gagah, tampan, dan menjadi rebutan para wanita. Setahun bersama Bani, hampir saja Tina memutuskan untuk ke jenjang yang lebih serius. Rupanya Bani tidak lebih baik dari Seto. Perayu ulung ini, sehari bisa-bisanya mendekati 3 wanita sekaligus. Terbongkarnya kabar ini lantaran ketiga wanita itu adalah kenalan Tina semua. Allah masih sayang dan melindungi Tina.

Suapan ketiga, ia mengenang pertemuan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kedua teman SD mengunjunginya, Isna dan Mia. Obrolan mereka lumayan kaku karena lebih dari 30 tahun  terpisah jarak. Ngobrol sana sini dilengkapi dengan santap siang di kios bakso depan rumah Tina.

Masih bernostalgia mengulang cerita-cerita masa lalu dan sesekali cerita kesibukan sekarang. Ketika yang lain dalam usia hampir punya menantu, Tina belum menemukan jodohnya. Sampailah seorang teman, Isna, menyampaikan sebuah pertanyaan.

“Kapan kami diundang nih, sudah ada calon belum?’”

Tanpa diduga pula, Tina menyampaikan jawabannya.

“Orang itu punya jalan hidup masing-masing. Allah sudah menakdirkan aku sendiri sampai hari ini. Memang aku tidak seberuntung kalian yang sudah berkeluarga.  Sepertinya pertanyaan seperti itu tidak perlu ditanyakan lagi.” Kata-kata Tina panjang kali lebar dengan lancer meluncur dari bibirnya.

Mendadak suasana menghening bening. Tanpa suara dan ucapan mengikutinya. Daging bakso di dalam mulut Isna dan Mia seakan bingung mau maju atau mundur. Setelah beberapa saat, Tina sadar dengan sikapnya. Ia mencoba mencairkan kembali suasana siang itu.

“Ayo, silakan! Ini masih tempe dan tahu gorengnya. Atau mau kerupuk, silakan.”

***

Dia kembali tersenyum sambil terus mengunyah makanannya. Ada rasa sesal telah berkata agak kasar kepada teman-teman lamanya siang itu. Meski mulut ingin menolak, ia paksakan nasinya sampai lambung.  Suapan demi suapan berikutnya seakan mengundang cerita demi cerita masa lalu.

Hadirlah sosok Ryan dalam kehidupannya. Ini juga serba tidak sengaja. Lantaran Mia ingin mengenalkan Tina dengan Daffa teman sekelas Mia dan Tina juga waktu SMP. Daffa ternyata masih sendiri. Mendadak Mia ingat bahwa sepupunya juga ada yang masih sendiri, usia dua tahun di atas Tina.

Gayung bersambut. Semua serbamulus layaknya jalan tol. Tanpa sepengetahuan Mia, Tina dan Ryan sudah saling bertegur sapa. Medsos membuatnya mudah saling berkirim kabar.

Pagi, awal Agustus, 2020. Sebuah pesan masuk ke hp Mia.

“Kenapa secepat ini, Mia?”

“Itu tandanya Allah memberikan kemudahan. Jalani saja!” Mia menjawab sekenanya karena memang sudah mengetahui rencana Tina akan menikah.

“Besok pagi akad nikah.”

“Wa, hebat….selamat ya….!”

Sorenya Mia baru sadar bahwa dipercepatnya acara Tina karena Jakarta akan lockdown. Artinya, akan sulit bergerak dari Jakarta ke Solo atau sebaliknya. Lockdown yang akan diberlakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta entah sampai kapan, tidak ada jaminan persis. Bisa seperti yang direncanakan atau bakal diperpanjang.

Keluarga memutuskan untuk mempercepat pernikahan Tina dan Ryan. Bahkan beberapa kali obrolan hanya lewat chat WA dan video call. Ijab kabul, pernah diusulkan secara virtual jarak jauh, tetapi batal. 

Panik dan kalang kabut, jelas. Baju pengantin yang dipesan Tina bahkan belum jadi. Ya, baju impian semua calon pengantin. Baju impian Tina bertahun-tahun batal dikenakan untuk duduk bersanding layaknya raja dan permaisuri sehari. Kandas sudah. Batal semua. Katering yang sudah proses pesan pun tidak luput dari pembatalan. Ratusan suvenir bertuliskan Tina dan Ryan hanya dibagi-bagikan begitu saja dan masih menumpuk sebagian di pojok kamar.

“Biarlah kandas rencana pernikahanku, asal jangan kandas lagi cintaku,” kata Tina menghibur diri.

Dengan gamis sederhana warna biru muda, pernikahan di KUA telah meresmikan hubungan kedua anak manusia, Tina dan Ryan. Hanya keluarga dekat yang mengantarkan. Hanya berfoto berdiri dan duduk dengan latar hiasan darurat yang disediakan di kantor KUA. Bukan gedung dengan dekorasi lampu dan bunga-bunga indah, megah, kemerlapan, seperti pada umumnya.   

Setelah menikah beberapa hari, Tina mengikuti Ryan ke Jakarta, sebelum Jakarta benar-benar ditutup. Silaturahmi demi silaturahmi di seputar Jakarta tidak bisa dihindari.  Virus covid pun menyapa Tina, entah dari mana didapatkannya. Antara tidak percaya, lemas, galau, campur aduk. Dunia seakan runtuh, gelap, dan panik melebihi kepanikan saat membatalkan pesta pernikahannya.

Tina tidak ingin dirawat di rumah sakit. Ia trauma. Apalagi, saudara sekampung yang tinggal di Jakarta baru saja meninggal menjadi korban covid. Budenya Ryan juga sama. Tina mengisolasi diri dengan perawatan mandiri. Waktu itu belum ada istilah ‘isoman’. Yang penting mengurung diri dan merawat sendiri di rumah, mengisolasi diri tanpa sepengetahuan tetangga.

Tak terasa air mata mengalir di sela-sela Tina memasukkan nasi gerakhirnya ke mulutnya. Deras sederas hadirnya rangkaian masa lalu kisah hidupnya yang tiada akhir. 

“Tidak mengapa kamu menangis, tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kita akan melewati ujian ini dengan selamat. Kamu harus yakin! Seberat dan sebesar apa pun ujian yang kita hadapi, kita punya Allah yang Mahabesar,” kata Ryan setelah menyelesaikan makannya.

“Iya Mas. Terima kasih sudah hadir di dalam hidupku,” jawab Tina dengan tersenyum yang agak berat dari bibirnya.

**

Sepekan kemudian, di depan mata kepalanya sendiri, untuk pertama kali Tina menyaksikan Ryan berbicara sambil air matanya bercucuran.

“Tina, aku merasakan seperti yang kamu rasakan. Aku terkena covid juga.”

“Beneran, Mas?” jantung Tina seperti mau copot. “Kalau memang benar, apakah ini teguran dari Allah? Dulu Mas Ryan pernah tidak percaya adanya covid.”

“Iya, maafkan aku, Sayang. Sekarang, kita harus menyiapkan segala kemungkinan yang bakal terjadi. Dengan terus berikhtiar, kita merawat dan berobat mandiri. Makan dan terus menjaga fisik, jangan sampai berpikir negatif supaya tidak stres. Kalau stres imun akan turun.”

“Aku paham, Mas. Mas juga harus kuat agar bisa merawatku!”

“Kalau ada salah satu dari kita yang dipanggil Allah, ….”

Kalimat itu yang membuat air mata Tina semakin deras. Ia menyimak ucapan suaminya. Dengan berderai air mata dan kalimat yang terbata-bata, masih terdengar ketegasan suaminya. Bagaikan komandan yang menyampaikan strategi perang. Bahkan, ia mengatur siasat bila salah satu gugur.

Percetakan yang dirintis Ryan sedang berkembang pesat menjelang pandemi. Ryan optimis akan pulih kembali. Ia menyebutkan hal-hal seputar operasional kantor dan nama-nama pihak yang penting dihubungi, ia rinci di sebuah kertas. Bahkan catatan keuangan dan orderan yang sudah masuk. Ya, mereka seperti saling berpamitan. Suara tangis mereka bersautan, tetapi setengah ditahan agar tidak terdengar oleh tetangga.  

 Malam ini terasa amat panjang. Kedua mata Tina tidak mau dipejamkan. Tina masih sering berpikir atas semua perjalanan hidupnya. Seperti mimpi, seperti dalam film. Dua kado indah sekaligus dari Allah, seorang suami dan covid di usianya yang sudah memasuki kepala 5. Ia menghela napas dan tengah berusaha bisa istirahat meskipun sekujur tubuhnya merasakan serbatidak enak.

Angin malam mulai menyelimuti rumah-rumah. Langit Jakarta tampak bersih dan mengajak warganya agar di rumah saja bersama keluarga. Tina masih menatap langit-langit rumahnya. Dalam untaian doa di hatinya, ia dengan kesunguhan hati menyerahkan diri kepada Yang Mahatinggi. Adanya keyakinan dan harapan sembuh serta kepasrahan yang membuatnya lebih tenang.

Ryan berdiri di depan pintu hendak menutup kamar tidur. Ia masih ingin berjaga. Tatapan kedua pasang mata suami istri ini mengisyaratkan belaian sayang selamat malam. Berharap mimpi indah mereka bisa mengurangi beban yang mereka rasakan. Hari-hari panjang yang penuh perjuangan ini. *

 

*Cerpen ini dimuat dalam buku antologi berjudul:  Merenda Bianglala




Pantun Penulis RVL


Buah ranum siap dimakan
Pakel buahnya dan sambal petis
Assalamualaikum saya ucapkan
Di RVL rumahnya para penulis

Ada yakut penjualnya geulis
Main tenis kena pukulan 
Siapa takut belajar menulis
Aneka jenis bakal dimunculkan

Ada buaya memainkan tali
Buaya lain mengejar ikan
Enaknya belajar dengan yang ahli
Semua saling menggerakkan

Makan lupis campur kelapa
Ada kupat dan sambal terasi
Belajar menulis dan saling sapa
Bersama merawat semangat literasi 

Purwokerto, 1 Januari 2024

Puisi P.2.0

*PASAR*
(Sumintarsih)

penuh berdesak
aneka penjuru
beradu
hasrat
disambut sigap

harapan berbunga
redup 
telah digariskan
terus melaju
dalam syukur 


*TIMBANGAN*

teman setia
menakar
mengukur
hasrat laknat
sekelebat merapat
dipermainkan
lala

ingat sang pencatat
luruskan hati


*PELANGGAN*

dinanti
dipuji
dirawat
dititipkan harapan

kesetiaan 
selalu diuji
raja dan pelayan

dalam kerendahan
merenda sabar

Purwokerto, 4 Januari 2024
Puisi 2.0

Makan Durian

Awali semester 2 tahun ini seluruh guru karyawan mengikuti sinergy building di Kebun Cikalan. Sebuah cafe taman di desa bawah Baturaden, Banyumas. Kegiatan yang ini diikuti tidak kurang dari 60 orang, termasuk Ria, guru sejarah.

Setelah menempuh kurang lebih 30 menit perjalanan dengan 4 mobil yayasan dan 3 mobil pribadi, peserta kumpul di pendopo mengikuti pembukaan dan pengarahan dari panitia. Berikutnya ada game bersama dan game per pos. Keseruan semakin tampak ketika peserta dibagi menjadi 3 kelompok putra dan 4 kelompok putri. Pemenang game bersama berangkat lebih awal. Berharap segera finis supaya bisa makan durian lebih awal. Kegiatan akan ditutup setelah makan siang dan salat duhur. 

Ria, meskipun kelompok yang finis duluan, ia tidak segera makan durian. Ia sibuk mencari tas atau tali untuk menenteng 1 buah durian bagiannya. Ia makin bingung melihat yang lain makan di tempat. "Bu Ria, ngapain durian dibawa pulang, ayo dimakan di sini. Aku hampir habis, nih 1 _gluntung,"_ kata Bu Sani, guru BK. Ria masih tidak habis pikir, kok tega durian dimakan semua. Mereka tidak ingin membawa pulang untuk keluarga dan apa perutnya kuat? Habis ini  makan siang. Setelah membuka hp, Ria baru paham. "Semua SDM tidak diizinkan membawa durian masuk mobil. Pengalaman unit sekolah lain, bau durian dalam mobil 2 pekan tidak hilang."

Purwokerto, 7 Januari 2024

Anggota Grup Baru Grup WA

alah satu kepuasan saya dalam berliterasi adalah sukses menjadikan seorang petugas kebersihan sekolah menerbitkan buku perdananya.  Bahkan, satu-satunya buku bergenre novel dari 41 buku yang kami luncurkan pada tahun 2019.

Ustadz Abdul _ semua SDM di sekolah saya dipanggil ustaz-ustazah _ sebagai penulis buku sudah pindah tugas dari SMP Al Irsyad  reguler ke SMP SMA boarding Al Irsyad. Komunikasi masih kami jalin dan saya berusaha terus memotivasinya agar lanjut menulis buku.

Awal tahun 2024 ini saya mengajukan kepada kepala sekolah agar grup WA guru penulis di sekolah disinggung saat rapat kerja guru. Maksud saya agar mendapat penguatan dan keberadaan kami lebih diakui sehingga akan lebih PD bergerak. Terutama bila saya akan memberikan tantangan-tantangan menulis. Hal ini mengingat tugas guru yang sudah banyak. Namun, dengan minat yang sama dan saling menyemangati, insyaallah bisa dijalankan.

Akhirnya grup WA sejak tahun 2019 yang lebih sering sepi ini saya hidupkan kembali. Saya menawarkan jadwal menulis minimal 1 kali sebulan. Supaya tidak terjadi penumpukan, tiap orang memilih tanggal dan 1 tanggal maksimal diisi 2 orang untuk mengirim tulisan wajib. Kegiatan ini mirip di grup RVL. Hal spesial tahun ini adalah masuknya salah satu petugas kebersihan bernama Ustaz Ade untuk bergabung di grup WA yang beranggotakan 30 orang ini

Sudah 5 hari berjalan, sampai tadi pagi sudah masuk 4 tulisan wajib,  dan beberapa tulisan suka rela. Yang mengejutkan adalah Ustaz Ade sudah mengirimkan 2 tulisan: "Sekias, Seni Komunikasi  Ringkas" dan cerpen singkat.

Saya sudah memimpikan Ustaz Ade akan melanjutkan Ustaz Abdul untuk menulis buku solo.  Semoga terwujud. Amin.....

Purwokerto, 5 Januari 2024

Selasa, 26 Desember 2023

Yakin Mati Duluan?


Pulang kerja Ratih tiba-tiba bicara panjang lebar tiada henti di depan suaminya, Danu. Entah dapat bisikan dari mana. Ia mengatakan sudah mempunyai kulkas, motor, mobil, bufet mewah, alat olahraga yang kekinian, bahkan rumah megah. Uang suami dan uangnya sendiri ia belanjakan untuk melengkapi rumah tangganya.

Danu yang mendengarkan hanya terdiam dalam penasarannya. Ratih kembali berbicara bahwa ia tidak akan belanja barang-barang mewah lagi, bahkan perhiasan emas yang selama ini menjadi barang favoritnya. Danu heran kemudian tak kuasa menahan pertanyaan mengapa. Dengan lantang Ratih menjawab, "Saya tidak mau barang-barang mewahku kelak kalau aku mati akan jatuh ke tangan istri kedua." 

Sejak kemudian Danu ngopi sore ditemani Ratih duduk di teras seraya berucap, "Yakin kamu yang mati duluan? Kalau yang mati aku dulu bagaimana, Mah?" 

Purwokerto, 27 Desember 2023