“Mama jangan pergi, mama duduk di dalam!”
rengek Amirah kepada mamanya sambil menarik baju dan kerudung mamanya. Ia minta
mamanya ikut masuk kelas bahkan duduk di sampingnya.
“Kalau
mama pergi, Amirah tidak mau sekolah!” ancamnya.
Ini sepenggal cerita anak Mama Tina, Amirah. Percakapan Amirah kepada mamanya pada awal-awal masuk TK.
Rupanya Amirah tidak sendiri, di dalam kelas ada mama-mama lain yang sedang menunggui
anaknya pula. Sehari dua hari berlalu. Sepekan sudah cukup. Ya, rupanya seperti
itu pengondisian anak awal masuk TK di sekolah Amirah.
Sebagai guru terhitung msih baru, Mama
Tina tidak bisa menemani kegiatan anaknya di TK. Selain masih guru baru, tempatnya
mengajar sedang perombakan sistem manajemen sekolah. Peraturan kepegawaian
sedang dibuat lebih ketat. Nyaris, aktivitas Amirah di TK bersama Mbak Tur,
asisten rumah tangga.
“Assalamualaikum. Amirah sudah siap?”
suara Pade. Tiap pagi Amirah dijemput Pade sekalian Paade mengantar anaknya, Mas
Rizki, yang sekolah di SD dekat TK Amirah.
“Waalaikum salam, sudah siap Pade. Ayo
berangkat,” jawab Amirah. Mbak Tur cuma mengantar sampai depan pintu rumah. Siang
hari, Mbak Tur menjemput naik angkot, angkutan kota. Begitu setiap hari. Selama
dua tahun Amirah TK, ditunggui hanya satu pekan awal.
Berbeda dengan cerita para tetangga.
“Wah, Kani tadi nangis di sekolah,
ya?” tanya Asyrif, teman bermain Amirah.
“Apa iya, Kani?” tanya Mama Tina.
“Mengapa menangis?”
“Selesai mewarnai, aku mencari Ibu.
Ibu tidak kelihatan di luar kelas. Biasanya duduk-duduk di luar,” jawabnya sambil
tetap bermain boneka besama teman-temannya.
“Kani yang sekolah, ibunya ikut
sekolah, ya? Kalau tidak ditunggui ibu, takut?” tanya Asyrif. Ibunya yang duduk
di belakang Kani cuma senyum-senyum.
“Iya,” jawab Kani lagi.
“Amiaarah juga mau ditunggui Mbak Tur,
tapi dilarang sama Ustazah. Anak-anak TK tidak boleh ditunggui. Ibu-ibunya
diruruh pulang. Ya, Ma?” tanya Amirah sambil menoleh ke arah mamanya.
“Tempatku boleh, ya aku senang
ditunggui ibuku. Kalau istirahat makan, bisa disuapi. Kalua jajan bisa ditemani
ibu. Enak, kan?”
“Haha…. Sekolah ditunggui, makan
disuapi. Malu!” ledek Asyrif lagi.
Tadi ibumu ke mana, Kani, kok kamj
nangis?” tanya Mama Amirah.
“Ibu tadi cuma ke belakang. Kani sudah
nangis. Ibu malu,” jawab ibunya Kani.
“Temanku juga kadang menangis,” bela Kani.
“Haha…. Iya, Kani masih sering
menangis di sekolah. Aku sih sudah tidak pernah menangis,” ledek Asyrif yang
teman sekelas Kani.
Kejadian seperti ini mungkin banyak
dialami oleh anak-anak kita. Memang sejak bayi anak-anak jarang berpisah dengan
orang tua. Masuk usia sekolah, anak akan
berpisah dengan orang tuanya. Mau tidak mau anak akan menjumpai lingkungan baru
dan berpisah dengan orang tuanya atau orang yang terdekat seperti asisten rumah
tangga, pengasuh, atau eyang mereka. Dalam masa penyesuaian inilah, orang tua
yang mendapatkan tantangan besar.
Rupanya peraturan anak tidak boleh
ditunggui akan membawa dampak positif. Anak mulai belajar mandiri dalam banyak
hal. Sebaliknya, anak yang dari rumah sudah mulai diajarkan kemandirian, di sekolah
akan mudah ditinggal. Seperti makan sendiri, memakai sepatu, atau memakai dan
melepas baju.
Di sini ada suatu pemahaman bahwa
lingkungan sangat menentukan perkembangan anak. Anak TK pun perlu mendapatkan
lingkungan yang baik. Lingkungan yang dapat melatih kemandirian anak dari awal.
Purwokerto, 28 Februari 2021
Foto: google