Minggu, 28 Februari 2021

Sepekan Saja Mendampingi Anak TK (Parenting#4)



 “Mama jangan pergi, mama duduk di dalam!” rengek Amirah kepada mamanya sambil menarik baju dan kerudung mamanya. Ia minta mamanya ikut masuk kelas bahkan duduk di sampingnya.

“Kalau mama pergi, Amirah tidak mau sekolah!” ancamnya.

 

Ini sepenggal cerita anak Mama Tina, Amirah. Percakapan Amirah kepada mamanya pada awal-awal masuk TK. Rupanya Amirah tidak sendiri, di dalam kelas ada mama-mama lain yang sedang menunggui anaknya pula. Sehari dua hari berlalu. Sepekan sudah cukup. Ya, rupanya seperti itu pengondisian anak awal masuk TK di sekolah Amirah.

Sebagai guru terhitung msih baru, Mama Tina tidak bisa menemani kegiatan anaknya di TK. Selain masih guru baru, tempatnya mengajar sedang perombakan sistem manajemen sekolah. Peraturan kepegawaian sedang dibuat lebih ketat. Nyaris, aktivitas Amirah di TK bersama Mbak Tur, asisten rumah tangga.

“Assalamualaikum. Amirah sudah siap?” suara Pade. Tiap pagi Amirah dijemput Pade sekalian Paade mengantar anaknya, Mas Rizki, yang sekolah di SD dekat TK Amirah.

“Waalaikum salam, sudah siap Pade. Ayo berangkat,” jawab Amirah. Mbak Tur cuma mengantar sampai depan pintu rumah. Siang hari, Mbak Tur menjemput naik angkot, angkutan kota. Begitu setiap hari. Selama dua tahun Amirah TK, ditunggui hanya satu pekan awal.

Berbeda dengan cerita para tetangga.

“Wah, Kani tadi nangis di sekolah, ya?” tanya Asyrif, teman bermain Amirah.

“Apa iya, Kani?” tanya Mama Tina. “Mengapa menangis?”

“Selesai mewarnai, aku mencari Ibu. Ibu tidak kelihatan di luar kelas. Biasanya duduk-duduk di luar,” jawabnya sambil tetap bermain boneka besama teman-temannya.

“Kani yang sekolah, ibunya ikut sekolah, ya? Kalau tidak ditunggui ibu, takut?” tanya Asyrif. Ibunya yang duduk di belakang Kani cuma senyum-senyum.

“Iya,” jawab Kani lagi.

“Amiaarah juga mau ditunggui Mbak Tur, tapi dilarang sama Ustazah. Anak-anak TK tidak boleh ditunggui. Ibu-ibunya diruruh pulang. Ya, Ma?” tanya Amirah sambil menoleh ke arah mamanya.

“Tempatku boleh, ya aku senang ditunggui ibuku. Kalau istirahat makan, bisa disuapi. Kalua jajan bisa ditemani ibu. Enak, kan?”

“Haha…. Sekolah ditunggui, makan disuapi. Malu!” ledek Asyrif lagi.

Tadi ibumu ke mana, Kani, kok kamj nangis?” tanya Mama Amirah.

“Ibu tadi cuma ke belakang. Kani sudah nangis. Ibu malu,” jawab ibunya Kani.

“Temanku juga kadang menangis,” bela Kani.

“Haha…. Iya, Kani masih sering menangis di sekolah. Aku sih sudah tidak pernah menangis,” ledek Asyrif yang teman sekelas Kani.

 

Kejadian seperti ini mungkin banyak dialami oleh anak-anak kita. Memang sejak bayi anak-anak jarang berpisah dengan orang tua.  Masuk usia sekolah, anak akan berpisah dengan orang tuanya. Mau tidak mau anak akan menjumpai lingkungan baru dan berpisah dengan orang tuanya atau orang yang terdekat seperti asisten rumah tangga, pengasuh, atau eyang mereka. Dalam masa penyesuaian inilah, orang tua yang mendapatkan tantangan besar.  

Rupanya peraturan anak tidak boleh ditunggui akan membawa dampak positif. Anak mulai belajar mandiri dalam banyak hal. Sebaliknya, anak yang dari rumah sudah mulai diajarkan kemandirian, di sekolah akan mudah ditinggal. Seperti makan sendiri, memakai sepatu, atau memakai dan melepas baju.

Di sini ada suatu pemahaman bahwa lingkungan sangat menentukan perkembangan anak. Anak TK pun perlu mendapatkan lingkungan yang baik. Lingkungan yang dapat melatih kemandirian anak dari awal.

 

Purwokerto, 28 Februari 2021


Foto: google

Kamis, 25 Februari 2021

Mencontohkan Disiplin pada Anak (Parenting/ Cerita Inspiratif #3)

Sekitar tahun 2007, saya mengajar satu yayasan dengan anak saya sekolah. Anak saya masih SD dan saya mengajar di SMP. Rutinitas pagi adalah sebuah perjuangan agar tidak tercatat terlambat dan ini prestasi yang sangat saya jaga.

“Ayo segera berangkat, sudah siang Nak!” ajak saya kepada anak agar segera keluar rumah. Saya berangkat ke sekolah bersama putri saya dengan seperda motor setiap hari. Selain cukup kami berdua, suami saya bekerja di luar kota. Dengan demikian, urusan sehari-hari kami tangani sendiri.

Kegiatan berlalu lintas setiap hari, berhadapan dengan lampu lalu lintas tidak bisa kami hindari.

“Ibu, jangan cepat-cepat. Aku takut,” rengek anak saya dari atas motor. Sedangkan yang ada di pikiran saya bahwa dengan mepetnya waktu, kecepatan motor harus saya tambah. Kecuali, saya ikhlas menerima konsekuensi harus lapor ke kantor yayasan bila terlambat lebih dari 06.45. Peraturan ini berlaku untuk guru dan seluruh karyawan tempat saya mengajar.

Pernah suatu saat laju motor saya dalam keadaan cepat. Sementara itu dari kejauhan tampak lampu kuning menyala. Belum sempat saya kurangi kecepatan motor saya, tanpa diduga lampu berubah merah. Karena tanggung, motor tidak bisa saya hentikan mendadak.

“Ibu, lampu merah kok tidak berhenti. Tidak boleh. Bisa dimarahi polisi.” Panjang lebar anak saya mengingatkan saya. Dalam hati jelas saya malu.

“Iya, Nak. Tadi mepet dan tanggung. Ibu minta maaf, ya?” Saya sangat bersyukur untuk urusan ini, anak saya bisa memahami dan menerapkan materi yang disampaikan gurunya. Tinggal praktiknya menjadi wilayah para orang tua. Agar teori yang disampaikan di kelas, bisa sesuai dengan yang anak-anak lihat.

Beberapa hari kemudian, saat pulang sekolah. Masih seperti biasa saya bersepeda motor menuju rumah. Di perempatan jalan dekat pusat pertokoan, ada dua lampu lalu lintas yang sangat berdekatan. Lampu merah sebelumnya kami tunggui full lumayan lama sampai berubah warna hijau. Baru saja motor saya gas meninggalkan lampu kuning, beberapa meter lampu merah lagi, niat saya motor saya percepat sebelum lampu merah betul.

Ciiit… ciiit….

Suara rem motor saya persis suara anak-anak tikus yang bertengkar. Ternyata di samping kanan saya sebuah mobil polisi dengan kaca depan terbuka. Dulu belum ada garis pemisah area henti roda dua di bawah lampu lalu lintas. Seorang polisi, sudah bapak-bapak, duduk manis di samping supir yang polisi juga. Sedangkan di sisi kanan luar mobil itu, ada seorang ibu pengendara motor. Betapa ramahnya si ibu yang ternyata orang tua siswa saya.  Walau terhalang mobil, dia menoleh ke kiri dan menyapa saya.

“Ustazah, tidak apa-apa? Hati-hati, Ustazah,” katanya membuat saya malu. Apalagi, kedua polisi itu pun ikut menoleh ke arah saya.

“Tidak perlu ngebut, Mbak!” kata Pak Polisi ramah. Saya hanya tersenyum dan berusaha menyembunyikan rasa malu yang teramat sangat. Ditambah cubitan kecil saya rasakan dari anak saya. Jelas dia ikut malu dan pastinya tidak suka saya tidak tertib.

“Ibu, sih. Malu, kan?” kata anak saya sesampai rumah. Dia yang kelas 4 SD sudah paham dengan kejadian di perempatan tadi.

“Aku sudah ingatkan, Ibu jangan cepat-cepat. Kebiasaan pagi takut terlambat, siang juga Ibu tidak bisa pelan.” Tanpa perlu beralasan lagi, saya jelas di posisi salah. Sejak saat itu, memboncengkan anak atau tidak, saya menghindari pelanggaran lalu lintas dan tidak berangkat mepet waktu.

Ditambah sejak pindah rumah. Lokasi yang jauh dari sekolah, memaksa saya berangkat jauh lebih pagi. Selain takut terlambat, saya menghindari palang kereta api.  Apalagi, setiap di depan palang kereta api, bisa dipastikan saya menyaksikan pelanggaran dari para orang tua yang dengan santainya nekat menyeberangi rel kereta api. Sungguh pelajaran negatif langsung kepada anaknya. Bagaimana orang tua akan lantang menasihati anak-anak agar disiplin? Setiap kesiangan berangkat sekolah, orang tua seperti itu menyuguhkan contoh praktik pelanggaran kepada anaknya.     

Alhamdulillah jalur rumah ke sekolah sejak 2019 sudah ada underpass.*

 

Purwokerto, 26 Februari 2021


Rabu, 24 Februari 2021

Kenalkan Anak pada Identitas Dirinya (Parenting/ cerita inspiratif #2)


         Ayah Bunda pernahkah mengalami peristiwa kehilangan anak? Maksud saya anak terlepas dari gandengan tangan kita? Biasanya dalam sebuah kerumunan atau saat kita sedang berbelanja di mal. Seperti peristiwa di bawah ini.

Ting tung ting tung

“Pengumuman untuk pengunjung Mal Satria, seorang  anak bernama Ika sedang menunggu mamanya di pusat informasi. Sekali lagi kami beritahukan bahwa seorang anak bernama Ika sedang menunggu mamanya di pusat informasi. Terima kasih.”

Terdengar suara lembut dari pusat informasi Mal Satria. Sebuah mal terbesar di kota Rina, seorangibu muda dengan satu anak.

“Ika,” jerit Rina spontan membuat orang-orang di sekitarnya menoleh. Rina segera berlari ke pusat informasi, di pojok resepsionis tepat di pintu masuk. Meski sudah jelas keberadaan Ika, Rina masih menyisakan kepanikannya.

Dari jauh tampak gadis kecil 4 tahun sedang berdiri di samping security. Baju birunya, Rina kenal betul, itu Ika, anaknya. Dia tampak baik-baik saja, tetapi tidak dengan suasana hati Rina. Baru dua hari Ika sembuh dari sakit panasnya. Rina terus mempercepat langkah kakinya.

“Ika….” Rina menyapa dengan tenang, mencoba tidak panik.

“Ibu…,” jertinya diikuti tangis yang meledak.

“Loh, tadi tidak menangis, sudah ketemu mamanya malah menangis, Cantik?” sapa resepsionis mal yang berseragam kuning dengan belaian lembutnya.

“Bener, Sayang. Tadi tidak menangis, pintar kok ya?” sanjung Rina agar Ika tenang. Rina memeluk dan menciumi Ika.

“Maaf Mas, tadi dia menangis atau bagaimana?” tanya Rina penasaran

Securiti mal menceritakan kejadian yang dialami Ika dengan rinci. Ternyata Ika hanya tampak kebingungan. Tidak ada tangisan sama sekali. Seorang SPG (Sales Promotion Girl) mengamati. Ika yang melangkah maju, mundur, ke kanan, dan ke kiri mengisyaratkan bahwa dia tidak tahu mau menggandeng siapa. Bukan ibunya yang dia lihat di sekitarnya. SPG itu mencoba mendekati ika.

“Tadi si mbak SPG tanya apa, Dik? Kamu pintar loh, bisa menjawab dengan jelas,” sanjung si resepsionis.

“Ditanya apa tadi, Mbak?” tanya Rina ingin tahu.

Mbak Tias, resepsonis yang tinggi dan cantik itu menceritakan bahwa menurut informasi dari SPG, Ika bisa menjawab ketika ditanya namanya, nama ibu dan ayahnya, bahkan alamat rumah.

“Kadang orang tua lupa kalau sedang berbelanja dengan anak, Bu,” jelas security dengan tgersenyum.

“Benar, Mas. Saya biasanya belanja dengan ayahnya. Saya jadi malu, tadi asyik memilih buah.” Rina sedikit menutupi rasa malu karena lengah saat mengajak anak di tempat umum.

“Kami tidak terlalu khawatir, Bu. Karena kita berada di ruangan. Lebih repot kalau kerumunan out door yang lebih padat pengunjungnya. Tapi dulu pernah Bu, anak tertinggal di mal sedangkan ibunya sudah sampai rumah,” kata securiti keceplosan tawanya.

 Ayah Bunda, ketika anak masih dalam gendongan, jarang ada kejadian anak terlepas atau tertinggal. Misalnya di pasar malam, di sebuah pameran, atau di mal. Namun, ketika anak sudah bisa berjalan, kejadian anak terlepas dari orang tua sangatlah dimaklumi.

Mengenalkan identitas diri pada anak, rupanya menjadi tugas orang tua yang tidak boleh dilewatkan. Perlunya anak menyebutkan hal-hal penting untuk berjasa-jaga seperti cerita di atas. Misalnya nama diri dan nama orang tuanya. Bahkan nama kota atau desanya walaupun tidak sampai RT dan RW. Anak balita menghafal nomor HP belum perlu karena justru khawatir disalahgunakan orang lain.

Ayah Bunda, mengajak anak-anak berjalan-jalan apalagi refreshing adalah hal yang perlu dan bagus. Namun, memastikan kondisi anak nyaman dan aman adalah lebih baik diutamakan.*     

 

Purwokerto, 25 Februari 2021

Senin, 22 Februari 2021

344 Eksemplar Buku Menemui Takdirnya

 

Sebanyak 344 eksemplar buku antologi cerpen karya siswa kelas 9 hari ini menjumpai tekdirnya. Buku-buku itu habis terbagi kepada para pemesan. Masa promosi buku dengan poster per anak yang telah dilakukan sebelumnya sambil buku selesai cetak sangatlah efektif menjaring peminat.

Tahun 2021 ini adalah tahun kedua diadakannya proyek penulisan buku antologi cerpen sebagai penutup materi teks cerpen mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 9 semester I. Sebanyak 10 rombel, 5 kelas putri dan 5 kelas putra, tahun ajaran ini akan menerbitkan 7 judul buku. Lima judul dari tiap kelas putri dan dua judul dari gabungan 5  kelas putra. Hal ini sudah jauh lebih baik dsbanding tahun kemarin dari kelas 9 hanya terbit dua judul buku.

Dari 7 judul buku, yang sudah selsai cetak ada 4 judul yaitu Puzzle Piece (Vanya dkk.9A), Separuh Jiwa yang Terpisah (Aqnes dkk. 9B), Kau dan Hujan (Shabrina dkk. 9D), dan Gegana Kelabu Mika (Laura dkk. 9E). Adapun 3 judul lagi yang masih proses adalah Air Mata Penyesalan (9C) dan 2 buku kelas putra 9F – 9J: Jejak Persahabatan serta Inti Sebuah Bola.

Bersamaan dengan pengumpulan tugas PJJ luar jaringan (tugas manual denga kertas) yang diadakan sepekan dalam tiap  bulan, tadi pagi orang tua siswa sekaligus mengambil buku antologi cerpen karya putri putrinya. Tampak ekspresi senang dari mereka saat memegang dan menimang buku-buku karya putri-putri mereka.  

“Cerpen anak-anak ini sangat bagus, saya sampai larut terbawa emosi kesedihan membaca ceritanya. Kalimat dan kata-katanya bagus. Kelihatan kalau mereka senang membaca novel,” kata guru BK, Nur Amalina, yang sudah membaca buku-buku tersebut. Ya, tema cerpen kali ini adalah kesedihan dan keharuan dengan ide cerita pengalaman pribadi. Hal ini untuk menguji kemampuan para siswa merangkai kalimat yang bisa menyentuh perasaan pembaca.

Enam cerpen terbaik dari tiap judul mendapatkan piala dan buku gratis dari SIP Publishing. Penerbit yang sudah memfasilitasi proyek penerbitan buku sekolah sejak 2018.  Kelanjutan proyek ini , insyaallah akan diadakan peluncuran 7 buku, penyerahan piala, dan bedah bukunya.*

 

Purwokerto, 22 Februari 2021  


Sabtu, 20 Februari 2021

Termos Merah Pecah (Cerita inspiratif_01)


Tema Kamis Menulis, 9 Juni 2022: "Masa Kecilku"
Ini tulisan lama yang sepertinya belum pernah saya munculkan di Lagerunal. 
****

Pada sebuah keluarga, ada bapak dan ibu dengan 6 orang anak, 5 perempuan dan 1 laki-laki nomor 3. Ami adalah anak nomor 5. Suatu pagi, kesibukan sudah mewarnai keluarga tersebut.             

“Mana sepatuku?” teriak Mbak Riri, kakakku pas.

“Mana topi baruku?” tanya Mas Ryan tidak mau kalah.

“Ayo, berangkat!” teriak Ami semakin membuat yang lain gugup.

“Jangan ada yang tertinggal!” kata Bapak sambil menghabiskan teh manisnya.

“Sendok gelas sudah masuk tas, Ti?” tanya Ibu.

“Sudah, Bu,” jawab Mbak Ati.

Pagi itu, semua anggota keluarga siap-siap berangkat. Dengan baju paling bagus, sepatu, tas, bekal makanan dan minuman. Mereka akan mengikuti acara wisata dari kantor bapak.

Tahun 1977 kurang lebih, belum banyak fasilitas dan perlengkapan modern. Bila melakukan perjalanan jauh, apalagi wisata atau piknik, orang-orang identik dengan membawa rantang susun tempat nasi dan termos air panas. Begitu juga mereka saat itu. Menyiapkan alat makan dan minum sendiri. Membawa air panas dan air putih sendiri. Berbeda dengan sekarang yang di setiap saat dan tempat, orang dengan mudah membeli yang diperlukan. Berbagai makanan dan minuman instan tersedia.

Semua anak tampak bahagia akan melakukan wisata bersama. Waktu itu Ami masih TK. Gembiranya anak kecil, ya seputar bernyanyi-nyanyi kecil, menari-nari, jalan ke sana dan ke sini. Tidak bisa diam. Menunggu waktu berangkat rasanya lama sekali.  Tidak disangka. Tiba-tiba….

Prang….

Sebuah termos merah pecah jatuh dari meja. Air panas dari dalam tumpah melebar di lantai. Lapisan kaca di dalam termos yang menyimpan panas hancur. Artinya, termos rusak, harus pensiun. Termos pun tidak bisa diajak piknik.

Sialnya, karena tangan Ami yang menyenggolnya. Sontak semua suara protes tertuju kepada Ami.

“Mi, kamu apakan?”

“Mi, tanganmu, ya?”

“Biasa, ya Mi?” Satu per satu mereka menyebut nama Ami.

“Aduh, Bapak tidak bisa minum teh panas nanti!” keluh Ibu.

Hanya adik Ami yang tidak ikut bersuara karena dia masih terlalu kecil. Dan, Bapak tentu saja. Bapak adalah orang yang banyak diam, tetapi ia bapak yang hebat, pekerja keras.

Wisata kali ini, terasa bukan hari yang indah bagi Ami. Awal keberagkatan menjadi hari yang mendung dan gelap bagi hatinya.

Meskipun kemudian, di sana Ami senang sekali naik kapal dan bisa menikmati indahnya Waduk Sempor, di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Airnya bersih begitu meluap. Bangunan-bangunan megah dan pemandangan yang indah. Objek wisata yang masih baru dan ramai dikunjungi orang.

Entah dari mana asal kebiasaan Ami menjatuhkan barang. Ada saja barang yang jatuh atau tersenggol membuat heran orang lain. Sungguh, saat itu Ami tidak bisa menolak dari cap diri.

“Mi-Mi, kok kamu hobi menjatuhkan barang?” kata Mbak Indah, kakak tertua.

“Setiap yang dipegang Ami, pasti jatuh. Haha…,” tambah Mas Ryan.

Sampai kapan aku terhindar dari penyakit ini? Tanya Ami dalam hati. Jelas kupingnya  tidak suka dengan cap atau stempel itu lagi. Namun, kenyataannya seperti itu.       

 

Dari sini kita bisa mengetahui bahwa stempel itu datangnya spontan. Namun, karena berlanjut sehingga semakin melekat. Yang mendapatkan stempel sungguh tidak nyaman dan pasti ingin menghindar.

Seandainya keadaan dibalik. Sesuatu musibah disikapi tidak perlu berlebihan. Pelaku dinasihati seperlunya. Tidak perlu diulang-ulang menyalahkan dan mengatakan dia menjadi penyebab suatu musibah. Pelaku tidak merasa terlalu bersalah oleh orang-orang di sekitarnya yang menghakimi. Dia akan biasa-biasa saja. Akhirnya, gerak-geriknya tidak terbebani, dia tidak gampang menyenggol atau menjatuhkan barang. Lama kelamaan bisa normal kembali. Tanpa disadari, kebiasaan buruk itu bisa hilang.*

 

Purwokerto, 21 Februari 2021

 


Masa (puisi)


Pagi

Cahayamu mengenergi

Pengantar mengais rezeki

Penuh harap langkahkan kaki 


Siang

Terikmu garang

Semua pantang pulang

Yang diburu belumlah bersarang


Petang

Lembayung membayang

Sanak keluarga disayang

Berkumpul kini lelah dibuang


Malam

Gelapmu tenang

Saatnya menutup hari

Berikan haknya tuk bersandar


Dini

Datangi ilahi

Adukan segenap hati

Hanyalah Dia penepat janji



Purwokerto, 14 Februari 2021

Ada Apa dengan Hari Pertama Masuk Sekolah?


Apakah Ibu Bapak guru merasakan kegugupan baru pada awal semester ini? Mungkin ada yang sama dengan yang saya rasakan kemarin pagi, Senin, 13 Juli 2020.

Hampir semua guru ingin menyapa semua muridnya di awal tahun pelajaran baru ini. Semua siswa pun sudah menahan rindu ingin bertemu dengan teman-temannya, guru-gurunya, apalagi bagi siswa baru. Rasa penasaran terhadap sekolah barunya tidak bisa dibayangkan lagi. Namun, berhubung masih berlaku pembelajaran jarak jauh (PJJ), kesibukan yang berbeda menjadi pemandangan awal semester tahun ini. Sambutan awal semester dilakukan dengan perkenalan pihak sekolah. Media zoom atau google meet pun diburu.

Oleh karena itu, kesibukan siswa untuk menyejajarkan dengan temannya membuat jantung berdebar kencang. Pasalnya, ada sebagian siswa di kelas saya (9E) yang kesulitan membuka akun baru dari sekolah agar bisa menyusul teman-temannya yang sudah bergabung di pertemuan google meet. Setelah itu bersambung ke classroom.  Masih mending siswa yang bingung, tetapi di sampingnya ada orang tua. Bagaimana dengan yang tidak?

Itulah  mengapa saya melihat pemandangan banyak anak kecil TK SD mengikuti ibunya yang berkantor di SMP, tempat saya bekerja. Ternyata supaya memudahkan mereka ber-PJJ di hari pertama yang rata-rata juga menggunakan google meet. Akhirnya, dengan terpaksa mereka dibawa keluar rumah karena keadaan. Semoga aman-aman saja. Ini lebih baik daripada ayah ibu bekerja di luar rumah, anak di rumah mengikuti PJJ mandiri dengan risiko membuka gadget sendiri harus berhadapan dengan kebingungan atau ancaman pornorafi. Bukan hanya bingung, bagi anak TK dan SD bawah jelas harus didampingi orang tua.

Di luar masa pandemi tanpa PJJ, para orang tua bisa nyaman bekerja dan meninggalkan anak di sekolah. Jadi ingat kata salah satu teman, bahwa sadar atau tidak sadar masyarakat mempercayakan sekolah sebagai tempat menuntut ilmu sekaligus tempat penitipan anak yang paling aman dan nyaman.*

Purwokerto, 14 Juli 2020
Sumintarsih (guru SMP Al Irsyad Purwokerto)

Kebakaran Jenggot

Bapak-Ibu, mohon tulis nama blog panjenengan (jika sudah punya), agar bisa saling kunjung.

Demikian pesan Pak Khoiri, penggerak dan pengasuh grup WA Rumah Virus Literasi, pada Sabtu, 20 Februari 2021, 18.05. Pesan itu diikuti nomor urut satu dan nama blog beliau, dua, tiga, dan seterusnya agar diisi oleh anggota.

Membaca pesan itu, tanpa malu aku pun menanggapi dengan polosnya, “Saya jarang nengok blog sendiri, apalagi ngisi.” Padahal blog itu sudah kumulai sejak 2017. Komenku tersebut berniat menutupi kekurangan diri, tetapi malah semakin menampakkan kelemahan diri yang malas menulis. Hehe…. Benar-benar tidak punya malu, ya?

Aku pikir justru karena tidak punya malu, aku bertahan di RVL. Bersama orang-orang top yang semua jago menulis, mustahil aku mudur. Sayang sekali dan rugi besar. Selama aku masih mau nongol, insayaallah namaku tidak dicoret dari daftar anggota seperti sebagian anggota pada beberapa waktu lalu.

Jadikan blog utk menagih komitmen menulis, Bu. Jadi, menulis karena merasa diwajibkan oleh blog utk mengisinya.

Pesan sambungan Pak Khoiri dari komenku di atas menjadikan aku kebakaran jenggot. Segera aku tuliskan blogku pada nomor 12. Selanjutnya? Ya, selanjutnya aku pindahkan tulisanku di RVL ke blog supaya tidak kosong. Ternyata, tulisanku sekian bulan di grup WA RVL sangat sedikit. Hehe...

 Bismillah, semoga segera aku susulkan tulisan-tulisan selanjutnya.

Terima kasih Pak Khoiri dan Ibu Bapak hebat, telah memvirusiku.

 

Purwokerto, 21 Februari 2021

Berani Bercita-cita Tinggi Bersama Sherly

Keren, SMAIT Al Irsyad mengundang Sherly Annavita Rahmi.

Webinar motivasi pelajar muslim Muslimah dengan tema Himmah ‘Aliyah (berani bercita-cita tinggi) ini diperuntukkan bagi siswa siswi SMA Islam Teladan Al Irsyad Purwokerto. Namun, info disebarluaskan termasuk warga SMP Al Irsyad. Tampak sebagian peserta dari siswa siswi, guru, bahkan orang tua siswa SMP Al Irsyad.  

Kreator konten di youtube yang berusia 28 tahun ini dengan penuturan khasnya menyebarkan virus motivasi dalam waktu lebih dari 60 menit nonstop disambung tanya jawab. Tepatnya tadi malam, Rabu 17 Februari 2021, 20.00 – 22.00. Kalimat-kalimat meluncur deras dengan ciri khasnya repetisi atau pengulangan kata untuk kesan penguatan sangat mengesankan. Semua kalimat yang diucapkan sangat bermakna dan berbobot menandakan luas wawasan dan referensinya.

“Sukses adalah milik mereka yang mau mengorbankan masa mudanya dengan kerja keras. Orang yang bertanggung jawab terhadap masa depannya adalah diri sendiri, tidak pantas mengandalkan guru atau orang tua.”  Ini adalah sebagian dari pesan dahsyatnya.  

Bersyukurlah siswa siswi yang tadi malam bisa bergabung di acara keren yang diselenggarakan Pengurus  OSIS SMA IT Al Irsyad ini. Semoga perubahan besar menyertai mereka.   

 

Purwokerto, 19 Februari 2021

Kok Beda?

 Sudah dua bulan ini sekolah kami mengadakan PJJ Luring. Ya, PJJ yang diadakan secara luar jaringan di akhir pekan. Kegiatn ini bertujuan untuk mengistirahatkan mata siswa dan gawai atau laptopnya.

 Pelaksanaan PJJ luring ini dengan cara sekolah membagikan satu bundel soal dan lembar jawaban. Orang tua mengambil soal di sekolah dengan model drive thrue, tetap mengikuti protokol kesehatan.  Setelah itu, para siswa bisa belajar dan mengerjakan soal-soal tanpa tergantung dengan alat-alat elektronik. Sepekan kemudian, lembar jawaban dikembalikan ke sekolah.

 Pembagian soal luring kali ini bersamaan dengan pemotretan untuk ijazah. Siswa datang ke sekolah sesuai jadwal per kelas agar tidak terjadi penumpukan massa. Kelas putra dan oputri diadakan di tempat terpisah.

 Kendala pertama kali yang dikeluhkan orang tua siswa adalah sempitnya seragam sekolah. Padahal, ketentuam foto menggunakan seragam OSIS. Rupanya pandemi bukan cuma menambah kekraban dengan anggota keluarga, tetapi juga telah menambah berlipat ganda berat badan. Khusunya bagi anak putra. Lain halnya dengan anak putri, meskipun ada keluha yang sama, foto anak putri yang tampak hanya bagian kerudung.

 Yang mengharukan dan membuat saya tertawa sendiri adalah menjumpai banyak hal di luar perkiraan saya. Menjadi wali kelas 7 bulan, baru sekali ini bertemu langsung dengan anak-anak. Beberapa anak saya bisa mengenali langsung dari wajahnya, beberapa masih kesulitan. Bahkan, ada yang di luar dugaan. Kok Beda? Yang saya kira anaknya tinggi besar, ternyata mungil. Sebaliknya yang saya kira kecil, ternyata besar. Selama ini hanya melihat foto dan 1/3 badan saat google meet.

 Momen sebentar dan langka ini saya rancang kedatangan anak 10 menit per kelompok belajar supaya mereka bisa saling menyapa. Selama ini anak-anak lebih sering berinteraksi dengan kelompok belajar lewat grup WA. Malang bagi siswa baru kelas 9 di kelas saya. Ia pindahan dari Bali. Selain jadwal kelompoknya paling akhir, dia datang agak terlambat sehingga hanya bertemu satu anak dari kelompoknya.       

 Purwokerto, 16 Februari 2021

Belajar dari Semangat Penjual Koran

Mendengar kata koran sepertinya telinga dan hati kita akan protes dengan berucap, “Hari gini baca koran? Bukankah dengan gawai kita sudah bisa mendapatkan informasi banyak hal tanpa perlu membeli dan membuka-buka kertas koran?”

 Dari sisi kepraktisan informasi, hal itu benar sekali. Namun, kalau semua orang berpikir demikian, penerbitan koran sudah tutup dari kemarin-kemarin. Alhamdulillah masih kita jumpai koran setiap hari. Dalam kemajuan zaman seperti ini, pejual koran terbukti  termasuk orang-orang yang gigih berusaha. Bila mereka tidak lelah berusaha, bagaimana dengan kita yang sudah jelas pekerjaannya?

 Ada satu hal yang menjadi perhatian saya setiap pagi. Adanya seorang penjual koran yang berdiri di sisi timur perempatan jalan. Setiap berangkat sekolah saya melihatnya melambai-lambaikan korannya kepada pengguna jalan. Posisinya di garis tengah jalan. Kadang menghadap ke pengguna jalan yang berhenti karena lampu merah. Kadang juga menghadap ke arah barat dan utara. Dia berharap ada pembeli dari arah berlawanan.

 Yang menggelitik saya adalah posisi dia melambaikan korannya kepada orang yang dari arah berlawanan. Bisa dipastikan kecepatan kendaraan setelah menunggu 30 detik x 3 lampu merah, pastilah dengan kecepatan tinggi. Bukankah mustahil juga pengguna jalan akan berhenti kemudian membeli koran di sisi kiri sementara dia berhenti di sisi kanan?

 Sisi positif yang saya ambil adalah betapa gigihnya penjual koran itu berusaha menawarkan dagangannya. Dengan bertuliskan koran 2.000 di tangan kiri ada setumpuk koran, sedangkan tangan kanannya tida henti menunjukkan satu koran dan berharap ada rezeki pagi yang bakal diterimanya.

 Satu hal yang melegakan bagi saya adalah beberapa hari ini ia berdiri di posisi kiri jalan, dari arah saya lewat. Di satu sisi ini lebih masuk akal, tetapi di sisi lain, sama saja hanya satu peluang arah orang membeli korannya.

 Apakah saya termasuk pembeli koran itu?  Ternyata belum, hehe….  Insyaallah besok pagi.

 

Purwokerto, 10 Februari 2021

 

Karena Aku Visual?

“Ayo, ikut! Nggak di depan laptop terus,” ajak suamiku Ahad siang kemarin. Awalnya aku enggan, akhirnya berangkat juga. Ya, jalan-jalan, tetapi cuma membeli pakan lele.

Kolam lele di samping rumah lumayan bisa untuk hiburan. Kalau aku pulang dari sekolah, dari memarkir motor langsung pingin memberi makan. Pemandangan yang selalu membuat kangen melihat lele-lele berebut makan.

Sampai di warung penjual pakan. Seorang ibu-ibu berusia sekitar 60 tahun. Ia senedirian melayani para pembeli. Setelah pembeli lain pergi, tinggal aku dan suami yang ia layani.

“Senidirian to, Bu?” tanyaku kepadanya.

“Iya, biasanya ada yang membantu, lagi tidak berangkat.”

“Maaf,” kataku sambal mendekat dan membetulkan kerdudungnya yang tidak rapi.

Ia berterima kasih sekali dan membelai pundakku.

Ya, begitulah. Kadang aku tidak bisa diam melihat sesuatu yang kurang pas dipandang. Mungkin karena aku visual. Bahkan aku sampai hati mengingatkan seseorang yang di giginya terselip secuil cabai merah. Daripada banyak orang yang melihat, mending aku ingatkan. Itu yang di pikiranku.   

 

Berasa Dikunjungi Pak Khoiri

 Membaca pesan nasihat di sebuah grup WA adalah hal yang biasa. Namun, dua hari ini saya ikut membaca nasihat dari penulis yang sudah saya kenal lewat grup WA komunitas menulis. Saya berasa dikunjungi oleh Pak Khoiri lantaran kisah inspiratif berjudul Aceng muncul di grup WA sekolah.

"Wah, Pak Khoiri," ucapku spontan.

Segera saya kirim pesan ke grup di bawah tulisan belia berrjudul “Berguru pada Aceng”.

"Ini pak dosen yang pernah mengomentari poster Ust Zana."

Ya, poster festival sekolah karya TU yang sy pasang di status WA pernah mendapatkan apresiasi dari Pak Khoiri.

Kisah inspiratif yang Pak Khoiri tulis terpisah dalam dua seri. Seri pertama dengan subjudul Hadirnya Siluet Lena. Sosok Aceng yang tuna daksa karena lahir tanpa tangan mengingatkan beliau pada sosok Lena. Namun, dua sosok penyandang cacat ini berbeda nasib. Lena dari keluarga berada dengan orang tua yang berpendidikan. Pantaslah Lena tumbuh dengan kasih sayang dan fasilitas yang cukup. Bahkan, prestasi Lena melebihi fisiknya hingga menyabet gelar juara renang internasional bagi difabel.

Berbeda dengan Aceng yang asli Wonosobo ini. Aceng dari keluarga tidak mampu dan orang tua yang kurang pendidikan. Aceng hampir dibunuh karena orang tuanya menanggung malu.

Seri pertama lebih banyak mengisahkan Lena, sedangkan seri kedua berjudul Sadar dan Bangkit, tokoh Aceng yang ditonjolkan, sesuai judul utamanya.

Aceng yang memulai masa remajanya menjadi preman, menjalani berbagai rintangan kehidupan. Berkat kegigihannya, ia terampil taekwondo untuk membentengi status premannya. Sampai pada suatu hari ia menemukan titik balik ingin menjadi sosok Aceng yang baru.

Aceng pun hijrah dengan berlatih gitar dan menyanyi. Ya, memetik gitar dengan jari kakinya sampai mendapatkan penghargaan dari MURI. Ia sudah meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang tidak halal. Aceng pun ingin berkeluarga,tetapi calon mertuanya menolak. Allah hadir dan niatnya dikabulkan. Aceng kini punya satu anak laki-laki normal dan berjuang menghidupi keluarga  dengan menjadi juru parkir.

Aceng yang menjadi tamu Kick Andy telah menunjukkan bahwa ia sudah menjadi orang. Ia  menjadi cermin bagi siapa saja yang mau becermin kepadanya. Belajar kepada Aceng tentang kebijaksanaan hidup.

Purwokerto, 7 Januari 2021

 

Doa Menyambut Ramadan

Selasa, 2 Februari, pukul 22.55. Sebenarnya sudah masuk hitungan tanggal 3 Februari bersamaan dengan 21 Jumadil Akhir 1442 H. Ternyata, kita sudah berada di angka 68 hari menuju Ramadan, dua bulan lagi.

 

Maih lekat dalam ingatan kita bahwa ibadah Ramadan tahun lalu dalam suasana pandemi covid 19. Siapa yang menyangka ternyata tahun ini dimungkinkan masih dalam kondisi yang sama.  Namun demikian, hendaklah kita tetap optimis dan terus berdoa agar pandemi berlalu. Dengan demikian, ibadah Ramadan bisa kembali kita jalankan secara normal. Amin Ya Allah.

Sudahkah kita melantunkan doa menyambut datangnya bulan Ramadan?

Di antara doa Sebagian sahabat Ketika dating Ramadan adalah sebagai berikut:

Allahumma sallimnii ilaa Romadhoona wasallim lii Romadhoona wa tasallamhu minii mutaqobbalaa.

Artinya: “Ya Allah, antarkan aku hingga sampai Ramadan dan antarkanlah Ramadan kepadaku dan terimalah amal-amalku pada waktu Ramadan. (Lathaif Al-Maarif halaman 264).

 

Purwokerto, 2 Februari 2021

 

 

 

PJJ Luring Istirahatkan Mata dan Gawai

 

YA Allah, anakku kelas 8 bahagia banget dapat tugas nulis worksheet seperti ini. Kangen nulis. Anak yang SD dan SMA juga pingin. SD dan SMA bikin seperti ini dong. Anak-anak pingin nulis lagi. Kata salah satu anakku, ”Insyaallah nilaiku bisa berubah tanpa gangguan sinyal hp.”

Tugas ini membuat kerinduan anak terhadap kegiatan menulis tersampaikan.

Begitulah sebagian status WA orang tua siswa dengan menunjukkan kover tugas PJJ Luring.

Setelah menerima masukan dari beberapa sumber. SMP Al Irsyad Purwokerto memutuskan setiap akhir bulan diadakan PJJ Luring. Dalam sepekan anak-anak mendapatkan tugas mandiri lepas sama sekali dari PJJ online. Dengan PJJ luring, anak bisa mengistirahatkan matanya dari layar gawai atau laptop. Demikian juga gawai dan laptopnya istirahat sejenak. Meskipun demikian, wali kelas tetap memantau di jam kewalikelasan setiap pagi dan siang hanya lewat WA kelas. Kurang lebih 30 menit wali kelas menyapa dan mengingatkan pengerjaan tugas sesuai jadwal harian agar tidak terjadi penumpukan di akhir waktu.  

Tugas semua mata pelajaran dikumpulkan dan dijilid dibagikan kepada orang tua sekaligus rapor semester I. Karena pandemi, pada akhir semester lalu pembagian rapor hanya lewat pertemuan virtual dengan rapor pdf.  Pengambilan kertas tugas ini oleh orang tua secara layanan drive thru. Kagiatan berjalan lancar, bahkan sebagian orang tua memberikan apresiasinya.

Purwokerto, 29 Januari 2021

 


Rumah Tak Pernah Sepi

 *Rumah Tak Pernah Sepi*

(Sumintarsih)

 

Kehadiran anak dalam sebuah rumah tangga adalah sesuatu yang sudah semestinya diharapkan setiap orang. Satu, dua, atau lima anak? Nah, yang ini menjadi rahasia Allah. Kita hanya bisa meminta, berdoa, dan berharap. Diberi Alhamdulillah wajib bersyukur, belum diberi ya wajib bersabar.

Awal dulu setelah melanhirkan satu anak kemudian anak mulai besar, pernah berharap untuk segera mendapatkan anak kedua, ketiga, keempat, dan kelima. Namun, seiring waktu berjalan, aku ikhlaskan harapan itu sirna. Satu anak Alhamdulillah.

Meski demikian rumahku tidak pernah sepi. Selain satu anakku, sering ada anak tetangga yang berlama-lama main di rumahku sehingga seperti anak kedua, sampai-sampai ia punya kursi dan gelas khusus. Bahkan tidak jarang dia tidak mau dijemput pulang.

Hal yang sama terjadi lagi walaupun anakku sudah besar. Anak laki-laki tetangga depan rumah yang baru dua tahun setiap hari di rumahku. Kalau sudah nonton video tayo, tidak mau pulang. Akhirnya ibunya yang mengantar dan menyuapkan makan siangnya. Bila lelah, dia pun tertidur pulas Kasur depan tv.

Kadang suamiku yang dipanggilnya Pakdhe, pas sedang di rumah ikut di sampingnya menemani nonton tv. Kadang pula anakku yang pulang kerja seperti sedang momong adik kecilnya.

“Assalamulamualaikum, halo…. Wah, nonton ipin upin, ya? Biasanya tayo?”

Begitulah aku masuk rumah dengan wajah melebar meskipun dalam lelah. Ada anakkecil yang bisa mengurangi kepenatan.

 

Purwokerto, 26 Januari 2021   

 

 

Baru Kali Ini Aku Begitu Kehilangan

Baru kali ini aku merasa kehilangan yang teramat sangat.

Berita dating silih berganti meninggalnya orang tercinta dari saudara, teman, anak didik, tetangga, bahkan keluarga kita sendiri. Hati ini terasa hancur, tidak pecaya. Jumat pagi kemarin kudengar kabar Bu Retno meninggal karena menderita kanker. Salah satu dari ratusan orang tua siswa yang sangat baik, rendah hati, dan ramah. Demikian juga suaminya. Berdua sering ke sekolah menyapa para kami dan aktif menghadiri undangan kegiatan sekolah.

Kebaikan dan keramahan orang tua seperti ini merupakan penyemangat bagi kami, para guru. Orang yang tidak pernah menyelisih kebijakan sekolah, kalau pun ada, hal itu akan disampaikan dengan cara yang bijak.  Dukungan terhadap program-program sekolah  membuktikan kepercayaan penuh terhadap pendidikan bagi putra-putranya.

Ya, ketiga putranya semua disekolahkan di yayasan kami. Paling besar baru saja lulus SMA, yang tengah di kelas 12, dan yang paling kecil kelas 8. Mereka juga aktif dalam kegiatan sosial termasuk membina mahasiswa dari berbagai daerah luar Jawa.

Satu yang aku syukuri adalah, Bu Retno berpartisipasi dalam penerbitan 41 buku untuk 41 tahun SMP Al Irsyad 2019 Lalu. Jejak perjuangan dan dukungannya sebagai orang tua sekaligus pengurus komite kelas sejak putra-putranya di SD sampai SMA masih bisa dilacak.

Selamat jalan Bu Retno. Surga menanti kehadiranmu.

 

Purwokerto, 24 Januari 2021   

 

 


Zikir dan Doa Virtual

Pagi-pagi dikejutkan berita di WA keluarga besar. Mbakyu mbarep di Kulon Progo sedang menyiapkan hidangan dalam wadah-wadah. Hajatan atau catering itu? Ternyata pagi itu mbakyu saya menyiapkan bekal untuk yang akan menggarap pemasangan batu nisan kuburan ibu. Orang Jawa menyebutnya ngijing, memasang kijing.

Saya yang di Purwokerto hanya ikut membantu doa. Begitu juga yang di Surabaya dan Jakarta. Dua mbakyu dan 1 adik saya di sana bisa menjalankan bersama.

Tiba-tiba, sore hari saya terpikir untuk mengadakan acara zikir dan doa bersama secara virtual. Mengapa tidak memanfaatkan kemudahan teknologi yang ada saja, pikir saya.  Akhirya, spontan saya tawarkan. Enam kakak beradik pun setuju.

Jadilah kami, Ahad malam kemarin, mengadakan zikir dan doa dengan google meet selama 20 menit. Bersama meskipun secara fisik berjarak, kami mengirimkan doa untuk almarhum almarhumah: ibu, bapak, mertua, kakak ipar, dan keluarga Jakarta yang Desember kemarin menjadi korban covid-19. Palik dan dua orang sepupu saya.

Semua menyambut baik, insyaallah makin menguatkan tali silaturahmi. Acara ini sementara bisa menggantikan kunjungan bertatap muka.  Minimal sebulan sekali pertemuan seperti ini akan menjadi kegiatan rutin.  Biamillah.

 

Purwokerto, 19 Januari 2021

Bertahan di Kelas

Seperti tidak ingin kelasnya diduduki pihak lain, saya bertahan menempati ruang kelas 9E. Kelas putri yang berlokasi di gedung sayap barat ujung utara tepatnya di lantai 4. Ya, sejak pandemi dan diberlakukannya PJJ, semua guru bebas memilih tempat yang nyaman dalam mengajar daring. Ada yang di dalam kelas masing-masing, di perpustakaan, atau lab komputer.

Oya, di sekolah tempat saya mengajar tidak ada ruang guru. Semua guru dengan status wali kelas atau asisten wali kelas berkantor di ruang kelasm habis rata dibagi 30 rombongan belajar. Bahkan, saya belum mendapatkan asisten wali kelas. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan peran wali kelas sebagai manajer kelas. Dengan tinggal di kelas, wali kelas akan lebih dekat dan maksimal mendampingi siswanya. Bila tidak sedang mengajar, wali kelas duduk di belakang, sementara itu guru yang mengajar di kelas ya mengajar saja. Pemadangan seperti ini sudah bertehun-tahun.    

Meskipun tanpa seorang pun siswa di dalam kelas, setiap hari saya duduk sendiri di pojok ruangan. Daring yang saya lakukan dari 07.00 – 11.50 terasa nyaman. Apalagi, wifi per kelas sangat mendukung tugas saya. Mengalah sedikit, dengan setiap hari naik turun ke lantai 4, badan bisa bergerak. Selain itu, rasa memiliki kelas tetap saya jaga. Kelas yang ternyata hampir 1 tahun tanpa siswa itu jadi tetap hangat karena ada yang menyambangi tiap hari.

Purwokerto, 12 Januari 2021

*mengajar di SMP Al Irsyad Purwokerto

 

 

Murid Baru dan Corona

Ada hubungan apa dua hal di atas? Semua bisa dihubungkan karena kata “dan” tidak pernah menolak untuk mempertemukan apa dengan apa, atau siapa dengan siapa.

Ya, murid baru di setiap sekolah adalah hal yang biasa. Kehadiran murid baru identik dengan selalu mengundang perhatian saat perkenalan di depan kelas. Namun, kali ini jelas berbeda. Kelas baru dan sekolah baru belum pernah ia singgahi. Apalagi melihat dan kenalan dengan guru serta teman-teman sekelasnya.  

Semua itu gara-gara corona. Pandemi covid 19 menyebabkan pengalaman menjadi murid baru sangatlah pahit. Tidak ada indah-indahnya. Sejak mendaftar sebagai murid baru sampai penerimaan rapor semester I, full dalam PJJ. Bahkan orang tua  menerima rapor secara virtual.

Dia adalah murid baru di kelas 9e, tempat saya sebagai wali kelas. Murid pindahan dari Bali ini putri dari Kepala SPN Purwokerto. Beruntung karena kemampuannya, meskipun di sekolah baru dan dalam kondisi PJJ, dia bisa mengikuti pembelajaran. Terbukti capaian target hafalan Al Qur’an dan nilai-nilai di atas standar, bahkan urutan 4 besar sekelas.

Atas keprihatinan ini maka dari awal saya terpikir. Saya harus home visit ke rumah untuk diskusi dan menyambutnya. Penyambutan sebagai murid baru pada awal-awal semester lalu. Hal ini tentu disambut baik oleh orang tuanya. Biasanya home visit pada semester I saya lakukan untuk 70% dari semua murid, sisanya di semester II. Berhubung pandemi, sekolah tidak mewajibkan home visit.  

Andaikan PJJ masih berlanjut entah sampai kapan, semoga saja ada kesempatan untuk pembelajaran tatap muka. Dengan demikian, sebelum lulus dia mempunyai sedikit pengalaman duduk di dalam kelas bersama teman dan guru di sekolah barunya.

 

Purwokerto, 6 Januari 2021

 

 


Kepergian Bapak dan 2 Anak


Bebarapa waktu lalu Bapak Ibu di grup ini membicarakan tentang korban covid yang tidak sedikit. Bahkan cenderung meningkat. Ada yang tiga sampai empat orang sekeluarga dalam waktu yang hampir bersamaan.

Saat itu terlintas dalam hati saya, betapa terpukulnya keluarga yang ditinggalkan. Ditinggal satu orang saja sedih berhari-hari karena kematian orang tercinta memisahkan dalam waktu selamanya.   

Berita kematian di musim pandemi covid 19 sepertinya sudah menjadi berita yang tidak asing lagi. Betapa sadis dan ganasnya penyakit ini. Ia menyerang tanpa kompromi, tanpa basa basi.

Kabar duka itu saya dengar dan rasakan sendiri dari keluarga jalur bapak. Dalam lima hari ini, keluarga Palik saya di Jakarta yang tertimpa musibah, jadi korban covid. Kamis petang akhir Desember 2020, Palik tidak tertolong karena covid. Adanya berita duka ini dua anak laki-lakinya dalam posisi di ICU dan belum mengetahui kepergian ayahnya.

Belum kering air mata duka, satu anak laki-lakinya yang tersisa menyusul dirawat di rumah sakit. Kemarin petang dan tadi pagi dini hari, dua anak yang dirawat sebelumnya menyusul ayahnya. Lima hari Allah panggil tiga orang, anak dan bapak meninggalkan empat orang keluarga inti. Yang ternyata, Sebagian besa mereka juga sedang dalam  karantina.  

Rasanya tidak sangup membayangkan kedukaan mereka yang ditinggalkan. Allah Sang Pemilik Takdir. Semoga husnul khatimah mereka yang berpulang lebih dulu. Semoga yang ditinggal diberikan ketabahan, kesabaran, dan keikhlasan serta hikmah yang terbaik.    Amin….

Purwokerto, 5 Januari 2021

 


Teori Bluluk

 Pagi tadi, aku mendengar kabar ibu dari salah satu rekan guru meninggal. Langsung Sebagian guru berangkat taziah. Berhubung hari ini bertepatan dengan hari pertama pelaksanaan Penilaian Akhir Semester/ PAS, jadwalnya Bahasa Indonesia. Aku urung ikut taziah karena mendapatkan tugas untuk piket menjadi pengawas ujian daring kelas 9.

Setelah ujian bahasa Indonesia selesai dan memastikan kelengkapan keikutsertaan peserta, aku pun menyusul. Taziah kloter kedua.

Ibunda yang berumur 86 tahun, tadi malam masih ngobrol santai dengan anak cucu. Dini hari dipanggil Allah tanpa penyakit yang menyertai. Begitu mudah jalan kepulangannya menghadap ilahi.

Siang harinya, kabar duka kembali dari rekan guru yang lain. Anaknya yang masih 6 tahunan meninggal setelah menahan sakit kanker sejak awal tahun.  

Tiba-tiba aku teringat nasihat orang tua zaman dulu. Belajar kehidupan dari bluluk, buah kelapa yang masih muda, hanya sebesar buah salak. Tidak harus menunggu tua buah kelapa itu lepas dari pohonnya, bahkan blulug pun bisa gugur ke tanah. Begitu juga kematian pada manusia.

 

Purwokerto, 1 Desember 2020 

Hebatnya Generasi Pandemi

Status itu begitu saja disematkan kepada pelajar yang merasakan gempuran pembelajaran daring selama pandemi.

Ya, pembelajaran dan penugasan yang mereka hadapi seakan-akan semua sudah otomatis dianggap menguasai IT. Memang faktanya, anak-anak secara umum jauh lebih cepat menangkap kemajuan teknologi dibanding generasi tua. Sayang sekali, para guru kadang lupa bahwa tidak semua anak demikian.

Nah, dua hari ini aku dan teman-teman guru merasakan menjadi murid. Kami memgikuti pelatihan Office 365 yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Banyumas untuk semua guru jenjang SMP negeri dan swasta. Aplikasi yang bakal menjadi tawaran baru menggantikan aplikasi sebelumnya di tiap sekolah. Keseruan mulai terasa ketika materi kadang-kadnag tidak tertangkap dengan jelas oleh sebagian peserta. Dilanjut dengan penugasan yang tentu saja para guru saling memberikan pencerahan dalam pengoperasian aplikasi baru. Apalagi ada yang sudah lanjut usia. Semua dituntut bisa memanfaatkan aplikasi baru dari awal smapai akhir bahkan setiap langkah diminta untuk dilaporkan dengan mengirimkan gambar tangkap layarnya.

Ah, tiba-tiba teringat betapa hebatnya para siswa. Tidak semua dari mereka belajar dengan pendampingan. Tidak sedikit anak yang di rumah benar-benar sendirian karena kedua orang tua bekerja, kakak tidak punya. Tidak jarang mereka kurang paham ketika hanya menyimak video. Giliran menggunakan google meet mereka kadang tidak tampak.  keterampilan berburu petunjuk google atau orang lain tidak mereka kuasai juga.  Belum lagi kalau mereka menemui kendala sinyal dan kuota, jadilah mereka yang termasuk dalam barisan "ya sudahlah". Tertinggal ini dan itu. Hal ini yang menjadi salah satu evaluasi pelaksanaan PJJ.

Kini, gaung Pembelajaran Tatap Muka (PTM) semakin jelas terdengar. Bismillah, semoga bisa memperbaiki keadaan menjadi lebih baik. Amin....

 

Purwokerto, 26 Oktober 2020

 


Penyapu (Sosial) Jalanan

Malam itu ada kabar yang membuat kaget semua orang. "Telah meninggal dunia teman kita, Lucky. Semoga Husnul khatimah." Sebuah pesan dari siswa yang dishare digrup WA guru. Masih setengah tidak percaya, tetapi sabar menunggu kabar selanjutnya.

 Beberapa waktu kemudian pesan susulan masuk. Ternyata yang meninggal ayahnya Lucky  karena kecelakaan motor dengan motor. Lucky dibonceng, Alhamduliiah selamat, sedangkan ayahnya meninggal di tempat. Innalilahi wa innailaihi rajiun.

 Saat taziah, terdengarlah kabar bahwa Lucky diantar pulang Abang gojek. Saat meninggalkan lokasi, setahu Lucky ayahnya hanya pingsan. Lucky diantar pulang dan sampailah dia di rumah, hanya ada sedikit goresan luka di dekat mata, tetapi tetesan darah sedikit mampir di bajunya.

 Saya ingin mengomentari sedikit jasa Abang gojek. Mereka selalu sigap memberikan pertolongan di jalan. Tentu dengan pengalamannya di jalan mereka sering menjumpai orang yang sedang kesulitan dan memerlukan bantuan. Di situlah hati nurani mereka semakin terasah.

 Satun cerita lain yang akhirnya saya menyimpulkan  seperti itu adalah kejadian teman saya. Ketika dia dan anaknya ditabrak motor lain, bantuan pertama datang dari Abang gojek. Selain membantu menepikan korban dan motornya, Abang gojek membawakan minuman sebotol besar air mineral.

 Mereka tanpa pamrih memberikan bantuan. Nilai-nilai sosial bisa setiap saat mereka tunjukkan. Pahala siap mereka sambut.  Merekalah penyapu sosial jalanan.

 

Purwokerto, 20 Oktober 2020

Webinar bersama Dispusip Pekanbaru

Webinar pagi ini aku persiapkan dari hari-hari sebelumnya. Undangan webinar yang berbeda karena dari teman satu kegiatan waktu kuliah. Sekian lama tidak bertemu, bedanya sekarang dia sudah menyandang sastrawan papan atas di Pekanbaru (penerima anugerah tokoh bahasa dan sastra Pekanbaru).

Ya, Bambang Karyawan, sebagai salah satu pembicara dalam webinar nasional Sastra Hijau. Satu pembicara lagi adalah Kunni Masrohanti,  Ketua Penyair Perempuan Indonesia.

Acara yang diadakan oleh Dispusip (Dinas Perpustakaan dan Kerasipan) Pekanbaru mengangkatq materi yang sangat menarik. Meskipun beberapa kali terkendala sinyal, aku bisa menangkap beberapa hal penting.

Dengan bersastra hijau kita berharap bisa menyampaikan pesan dalam  penanan rasa cinta terhadap lingkungan kepada masyarakat terutama peserta didik.

Tidak perlu menunggu ada bencana seperti tsunami atau banjir untuk membuat puisi. Bukankah Hari bumi diperingati setiap tahun? Berarti setiap Hari Bumi  bisa dijadikan momen tepat untuk menerbitkan novel, cerpen, puisi, atau kegiatan praktis lainnya. Para pencinta alam dan aktivis lingkungan pun bisa berkarya dengan tulisan selain menunjukkan kepeduliannya yang selama ini sudah diakui banyak orang. Sastra Hijau menjadi salah satu cara ikut menjaga bumi Indonesia.*

 

Purwokerto, 17 Oktober 2020