Senin, 29 Maret 2021

Bocoran Informasi dari Allah


Ahad pagi, jauh sebelum pandemi. Aku bersama anak gadisku melihat-lihat pakaian di pasar car free day, tepatnya di Gor Satria. Pas melihat baju anak-anak, ibu penjual berucap. “Silakan, Bu. Bagus untuk cucunya.” Seketika senyumku memudar. Seakan berontak ketika orang tersirat menyebutku sudah tua. Padahal, ia tidak bisa melihat rambut putihku. Mungkin aku memang sudah layak dipanggil eyang putri.

Kalau dipikir-pikir, mengapa mesti protes? Bukan masalah penjual yang tidak bisa menyenangkan hati calon pembeli, misalnya dia cukup mengucapkan baju untuk anak atau keponakan.  Namun, bukankah setiap orang akan menuju tua? Bahkan, bukankah dalam fisik kita Allah sudah mengirimkan tanda-tanda itu? 

Ya, tanda-tanda itu, pesan dari Allah, adalah bocoran informasi akan datangnya kematian. Suatu tahapan yang tidak seorang pun bisa menghindar. Coba kita perhatikan perubahan fisik manusia menuju tua. Sebagian rambut mulai memutih; mata sudah tidak sempurna melihat; daya ingat berkurang; pendengaran menurun. Apalagi, punggung, pinggang, tangan, dan kaki mulai sering minta istirahat.

Dari sumber yang aku baca, Allah menyampaikan pesa dahsyat dari tanda-tanda itu. Beberapa penjelasan terkait usia manusia dalam Al-Quran di antaranya 1) semakin lemah tangan menggenggam karena Allah sedang mendidik kita agar melepaskan cinta dunia. (Qs.Hud : 15-16); 2) semakin kabur mata kita karena Allah sedang mencerahkan mata hati untuk melihat Akhirat. (Qs.Al-Isra : 72); 3) semakin gugur gigi-gigi kita karena Allah sedang mengingatkan bahwa suatu hari kita akan gugur ke dalam tanah selamanya. (Qs.Ali Imran : 145); 4) semakin ditarik nikmat kekuatan tulang dan sendi kita karena Allah sedang mengingatkan bahwa tak lama lagi nyawanya akan diambil. (Qs.An-Nisa : 78); 5) semakin putih rambut kita karena Allah sedang ingatkan kain kafan yang putih. (Qs.Ali Imran : 185).

Tidak lain kita hanyalah menerima tahapan ini dengan tetap menjalani kehidupan secara positif. Menambah bekal ibadah menuju kampung akhirat dan menambah karya atau berbagi dengan sesama mumpung masih ada kesempatan.

Jadi, tidak perlu kita menghitung berapa jumlah uban di kepala. Mumpung masih diberi waktu, yuk lakukan semua kegiatan yang terbaik.


Purwokerto, 29 Maret 2021

Minggu, 28 Maret 2021

Laporan Nilai kepada Orang Tua


Sebagai bentuk pertanggungjawaban sekolah tentang hasil pendidikan anak, wali kelas menyampaikannya kepada orang tua siswa. Setidaknya aku sudah menjalankan 3 kali video call tentang laporan tersebut. Menyampaikan nilai atau rapor dan melayani konsultasi pendidikan. Pada pertengahan semester I, akhir semester I, dan pertengahan semester II. 

Sabtu kemarin, secara bergantian, satu persatu orang tua aku ajak diskusi sampai semua terlayani. Konsultasi semacam ini memang biasa dilakukan dalam kondisi normal agar wali kelas dan orang tua leluasa membahas tentang kondisi anak. Dalam kondisi normal, sebagian orang tua kadang berhalangan hadir. Namun, selama pandemi covid konsultasi malah lancar karena dilakukan virtual. Paling-paling hanya mundur waktunya.   

Untuk memudahkan diskusi, aku menggunakan google meet hanya berdua dengan orang tua. Sambil menanyangkan nilai dari PDF yang juga sudah diterima orang tua, aku leluasa menyampaikan dibanding hanya video call. Alhamdulillah orang tua merasa nyaman dengan model konsultasi ini. Wajah seakan bertemu langsung, suara jelas, tulisan bisa dilihat bersama.

Ada kejadian seru dari salah satu orang tua. Setiap saya hubungi beliau pas mengendarai mobil. “Saya menepikan mobil dulu,” katanya. Aku pun menyilakan kepada Bapak tersebut.


Purwokerto, 28 Maret 2021

Sabtu, 27 Maret 2021

Bangunkan Aku Sahur, Bu


Mengingat pengamalan anak gadisku setahun lalu di bulan Ramadan. 

“Ibu, jangan lupa nanti aku di-misscall. Takut terlambat sahur,” kata Ika dari ujung telepon. Sehari menjelang Ramadan, kami bertanya kabar. Malam menjelang tidur, pesan yang sama ia tuliskan agar kami mengingatkan dia untuk makan sahur.

Bulan Ramadan 1441 H. Terasa sekali sangat berbeda dengan bulan Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Kami selalu bertiga menikmati ibadah puasa wajib dengan rutinitas buka dan sahur bertiga. Sore menjelang buka, apa pun yang saya sajikan, biasanya tertata tiga porsi untuk saya, suami, dan anak semata wayang, Ika. Pingin kolak, ya ada tiga mangkuk. Berbuka dengan bubur mutiara, ya tiga mangkuk saya siapkan. Tahun ini untuk pertama kalinya saya siapkan hanya untuk dua orang tanpa anak.

Tahun 2020 adalah tahun pertama anak saya masuk ke dunia kerja. Setelah menyelesaikan pendidikannya, dia diterima bekerja sebagai radiografer salah satu rumah sakit di Delanggu, Jawa Tengah.   Suka duka sudah ia lalui beberapa bulan menjelang Ramadan 1441 H. Hidup bersama penghuni kos lain dengan induk semang yang baik, menjadi kabar penghibur bagi kami.

Namun, pandemi covid-19 memaksa dia untuk menahan kerinduannya dengan orang tua di Purwokerto. Lockdown yang diberlakukan di mana-mana memaksanya untuk mengurungkan niat mudik, walau hanya sehari.

“Ka, Ika sudah bangun belum?” panggil suami untuk mengingatkan Ika.

“Sudah bangun, Pak. Terima kasih,” jawabnya.

“Makan lauk apa?”

“Nugget.” Lain hari dijawab ayam, nugget lagi, telur, nugget lagi, dan seterusnya. 

“Makan sayur, Ka. Jangan kering-keringan terus,” pesan saya.

Beberapa hari kemudian, sering kali dia menanyakan bumbu masak. Kadang juga bertanya tentang lama memasak, tingkat kematangan, dan lain-lain. Pakai santan tidak, airnya seberapa,  menyimpan ayam maksimal berapa hari, dan lain-lain pertanyaan praktis. Sebagai anak angkatan milenial, dia tidak luput dari kebiasaan _googling._ Namun, ada kalanya dia merasa mantap dan lebih praktis bertanya.

Apakah dulu kami jarang memasak? Saya akui, bekerja di sekolah full day dan serumah cuma bertiga membuat saya lebih sering mengunjungi warung membeli sayur jadi daripada memasak. Kalaupun memasak sendiri, dia sebatas membantu. Bukan menangani proses memasak secara ful. Saya kurang membekali dia keterampilan memasak. Namun, keberadaan dia sebagai anak kos. Kini memaksa dia bisa belajar memasak.

“Ini masakanku. Enak, lho Bu,” katanya sambil menunjukkan foto sayur oseng, ayam goreng, dan kerupuk.

“Masak semua?”

“Iya, dong.”

“Hebat, sudah pinter memasak.” Tidak menyangka, dia mau memasak juga. Lain kali dia menunjukkan menu yang berbeda. Kadang membuat bubur sumsum atau makanan anak muda: cireng, cilok, spageti kentang goreng, dan lainnya.


Saya sangat senang melihat perkembangannya. Urusan makan bisa dia atasi dengan baik. Rupanya Allah memberikan jalan seperti ini agar membuatnya melek dapur. Kini dia bisa merasakan ketika ada makanan tidak habis, ketika masakan tidak sesuai ekspektasi, atau urusan belanja langsung ke pasar. 

Inilah yang harus kita pahami bahwa ada episode anak akan berpisah dengan orang tua untuk menghadapi kehidupannya. Bekali dia dan beri kesempatan untuk belajar mandiri. 


Purwokerto, 27 Maret 2021

Selasa, 23 Maret 2021

Ikut Pulang ke Desa



Sari, seorang ibu muda dengan satu anak putri bernama Ika. Anaknya yang baru 7 tahun itu sehari-hari ditinggal kerja dan di rumah dengan Mbak Tur, pengasuhnya.

“Ayam kentakinya enak,” kata Ika memuji.

“Kamu suka, ya? Pantesan, makannya lahap,” kata Mbak Tur.

“Besok bikin lagi, ya Mbak,” pinta Ika. Begitu kalau Ika cocok dengan menu makan di rumah. Dia akan minta lagi. 

Lain waktu saat makan malam.

“Mbak, bakwan jagungnya tambah,” kata Ika.

“Iya, nih masih banyak.”

“Mbak Tur pinter masak,” sanjung Ika. Anak kacil ini pintar menghargai karya orang. 

Selain pintar memasak, Mbak Tur baik dan sayang kepada Ika. Dia tidak pernah main kasar apalagi saat orang tua Ika tidak di rumah. Perlakuan kepada Ika sama baiknya.  Ditambah dia rajin salat lima waktu. Hal ini menambah kenyamanan Sari menitipkan anak kepadanya. 

Waktu itu belum ada tempat penitipan anak. Para ibu yang bekerja banyak yang kesulitan ketika kehilangan asisten rumah tangga. Tidak mudah mendapatkan. Terutama yang masih memiliki anak kecil.

“Bu, besok Jumat siang saya mau pulang ke desa. Sudah dua bulan tidak pulang,” kata Mbak Tur.

“Ika ikut,” teriak Ika sambil mendekat manja ke tubuh Mbak Tur.

“Ayo, beneran?” tanya Mba Tur sambil memeluk Ika. “Mumpung libur sekolah, yuk!” waktu itu, Ika kelas 2 SD. 

“Ah, tidak usah ikut. Ika di rumah saja dengan Ibu,’’ cegah Sari. Namun, rupanya Ika bersikukuh ingin ikut. 

“Apa tidak merepotkan, Mbak?” kata Sari ragu. 

“Tidak, Bu. Pasti Ika senang, di sana banyak anak kecil. Ika bisa bermain bersama. Kita main di sungai, ya Dik,” rayu Mbak Tur agar Ika benar mau ikut. 

Setelah Sari mendiskusikan dengan suami, yang waktu itu kerja di luar kota, Ika pun boleh ikut Mbak Tur mudik. Ika tampak semangat sekali diajak ke desa di Banjarnegara.

Semalaman Sari resah, sulit tidur. Terpikir terus dengan keadaan Ika. Walaupun dalam hati Sari mengatakan Ika baik-baik saja. Dia jarang menangis dan tergolong tidak rewel. Apalagi Ika cocok dengan Mbak Tur, pasti dia nyaman.

Sari di rumah tidak memiliki alat komunikasi ditambah belum ada hp seperti sekarang. Kalaupun Sari ke wartel, warung telekomunikasi, alamat tujuan yang tidak ada pesawat teleponnya. Terpaksa, Sari hanya pasrah menunggu kedatangan mereka berdua kembali lagi ke Purwokerto.

“Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Biarkan Ika bisa liburan dengan tenang di desa,” kata suami, yang baru pulang dari luar kota, menghibur. 

Semalam sudah berlalu. Mbak Tur pamit tiga malam. Artinya, masih dua malam yang harus Sari lewati tanpa Ika di rumah. Rasanya lama dan semakin membuatnya resah.

“Minggu sore, dari kejauhan suara Ika semakin mendekat rumah.

“Assalamualaikum,” sapanya sambil masuk rumah. Melihat kedatangannya dengan tersenyum, Sari lega. Di belakangnya Mbak Tur membawa tas dan wajah ceria juga. Semangat kembali bekerja meninggalkan anak dan suaminya di desa. Dalam hati, Sari merasa kasihan juga kepadanya.

“Bu, Ika diajak Mbak Tur main di sungai. Airnya bening, banyak batu-batu besarnya. Anak-anak di sana mandi dan bermain. Senang sekali, Bu,” katanya penuh ekspresi.

“Tidak bahaya, Mbak?” tanya Sari.

“Tidak lah, Bu. Anak-anak sudah biasa. Ika cuma main di pingir, kok.”

“Bu, Ika diajak nonton pertandingan tinju di lapangan.”

“Pertandingan tinju?” tanya Sari heran.

“Iya. Ramai, ya Dik? Banyak yang menonton. Pada ingin seperti Chris John. Chris John kan dari Banjarnegara, Bu.”

“O, iya,” kata Sari.

“Ika dibelikan mainan dan jajan, Bu.”

Sepanjang sore sampai malam, Ika bercerita tentang pengalamannya di desa.  Rupanya menjadi pengalaman yang berkesan baginya.

“Tapi tadi malam Ika menangis, minta pulang. Hehe….”

“Kangen Ibu, ya Dik?” tambah Mbak Tur.

“Maklum, ya Nak. Lama perginya. Ibu juga kangen Ika,” hibur Sari.


Sari tersenyum senang mendengar ceritanya. Semoga keputusannya dengan suami benar, mengizinkan anaknya dalam sejenak bersama orang lain. Memberikan kesempatan kepadanya untuk mendapatkan pengalaman baru. Toh selama ini memang sudah sering ditinggal kerja. Dengan bermalam di rumah orang lain dan bersama orang lain, mengajarkan dia untuk melihat perbedaan. Pebedaan keadaan, lingkungan, dan pergaulan tentunya.

Rupanya main ke desa bisa menjadi alternatif mengisi liburan anak yang praktis dan menyenangkan bagi anak.  


Purwokerto, 23 Maret 2021


Foto: google

Senin, 22 Maret 2021

Bermain sambil Menjaga Adik (parenting#8)





Aku masih SD sekitar kelas 1 dan adikku perempuan umur 4 tahun. Ini pengalaman tahun delapan puluhan.

“Kita bermain apa, ya?” kataku kepada teman-teman rumah. 

“Lompat tali sudah, ibu-ibuan sudah,” kata Wati.

“Kita jalan-jalan saja, yuk!” kataku. Bagi anak sekolahan, pulang sekolah adalah waktu yang membuat kami merdeka. Bisa bermain sepuasnya. Aneka permainan tradisional masih sangat akrab kami jalankan. Tidak ada pilihan lagi.

“Aku ikut,” kata Ening, adikku.

“Adik diajak, Mien!” perintah Ibu dari dalam dapur.

“Iya, Bu,” jawabku. Sudah kebiasaan kalau bermain sambil menjaga adik.

Aku anak kelima dan mempunyai satu orang adik perempuan. Anak-anak perempuan zaman dulu lebih banyak bermain ibu-ibuan dan masak-masakan atau pasaran. Pasaran adalah bermain jual-jualan seperti di pasar atau warung. Seringnya jualan sayur atau makanan bohongan. Uangnya dari daun atau pecahan genting. Yang asyik dari bermain pasaran adalah aku bisa berkreasi dengan pisau. Memotong daun, bunga, pelepah pisang, atau benda-benda alam lainnya yang bisa dipotong. Itulah mengapa kebanyakan anak perempuan dulu sudah akrab dengan pisau sejak kecil.

“Eh, itu ada orang sedang apa, ya?” tanyaku.

“Itu kan kuburan?” kata Yadi.

“Iya, itu orang-orang di kuburan,” tambah Wati.

“Kita lihat, yuk!” ajak Yudi penasaran.

  Kami memasuki area kuburan. Kuburan itu tidak berdinding ataupun pagar. Kami tinggal mendekat, ingin melihat orang yang sedang bekerja. Di samping dua orang itu ada gundukan tanah segar yang baru saja dicangkul dari dalam tanah. Kami melongok. 

 “Loh, kok main di sini, sana pada pulang!” perintah bapak berkaus kuning di samping gundukan tanah yang membawa cangkul.

“Mau lihat, Pak. Sedang membuat apa, Pak?” tanya Yadi. Belum terjawab pertanyaannya, tiba-tiba….

Bluk

Ening terpelesat dan masuk ke liang lahat.

Hap!

Salah satu bapak di bawah menangkap Ening.

“Untung tidak kena cangkul kepalanya,” kata Bapak yang berkaus hitam di dalam lubang. 

Hua…hua…. 

Tangis Ening pecah. Mungkin karena kaget. Ening pun diangkat. Bapak berkaus kuning meraih tubuh Ening. “Nih, adiknya siapa?” katanya.   

“Haha…. Ning masuk lubang kuburan,” ledek Yadi.

“Kaget, ya Ning?” tanya Wati. Sementara itu, aku diam membisu. Takut, merasa bersalah, dan masih deg-degan. Aku gandeng pulang Ening. Ia terus menangis. Berkali-kali tangannya mengusap kaki. Beberapa tanah masih menempel.

 Sebagai kakak, aku berusaha menjaga dan mengajak adikku bemain. Semampu aku. Bermain bersama alam menjadi pilihan bermain. Jelas berbeda dengan anak-anak sekarang yang bisa bermain di rumah dengan alternatif mainan yang banyak.

Lain halnya dengan anak saya yang tidak mempunyai adik. Namun, waktu kecil dulu dia bisa bersosialisasi dan belajar mengajak bemain anak kecil. Tetangga rumah yang kebetulan anak perempuan juga, sering bermain di tempat kami. Dia seperti anak kedua. 

Adiknya kebetulan perempuan juga. Hampir setiap saat bersama anak saya. Maka, tanpa adik kandung pun, anak saya bisa merasakan bermain bersama dan menjaga anak kecil. Tidak jarang setiap pergi-pergi, anak saya ingat untuk membelikan sesuatu kepada mereka berdua.  

Mengetahui bahwa anak berhasil bersosialisai dengan anak kecil lain adalah hal yang penting. Anak bisa belajar mengalah dan tidak egois. Dari sini anak pun belajar nilai-nilai sosial. Dia belajar tidak menang sendiri. Kadang dia mengalah dan mau berbagi. Dia bisa membagi kasih sayangnya.


Purwokerto, 22 Maret 2021


Foto: google

Sabtu, 13 Maret 2021

Outdoor Virtual ke Peternakan Sapi




Walau dalam keterbatasan karena pandemi, sekolah tetap berusaha menjalankan programnya. Salah satunya adalah outdoor study. Outdoor study kali ini untuk level 7 SMP Al Irsyad Purwokerto (10 kelas) pada Sabtu, 13 Maret 2021. Outdoor virtual dilaksanakan di BBPTU Baturraden (Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul), Kabupaten Banyumas. Kegiatan kali ini bertujuan untuk mengetahui tentang sapi perah.

Dengan jas khusus warna biru dan sepatu boot kuning, Ustaz Putih, salah satu guru berada di peternakan sapi mengawali video layaknya acara-acara di tv sebagai reporter, dibantu Ustazah Ifah dan Ustazah Ella di balik layar. Reporter mendatangi dua narasumber yaitu petugas kandang dan dokter hewan.

Di depan puluhan sapi yang sedang makan di kandang, seorang penjaga kandang menjelaskan seputar cara perawatan sapi dan proses produksi susu, termasuk pemerahan susu yang sudah menggunakan alat modern.  “Untuk menghasilkan susu yang berkualitas, sapi harus dibuat bahagia,” tambah drh. Apsari Kumalajati, dokter hewan koordinator medik veteriner, Dengan demikian, sapi tidak hanya di dalam kandang, tetapi ada area luas untuk sapi bergerak bebas. Karena itulah BPPTU menyediakan Farm Manggala seluas 100 hektare di ketinggian 750 MDPL. Lokasi ini tidak jauh dari objek wisata Baturraden.
  
Semua siswa kelas 7 menyimak video yang telah dibuat oleh tim guru pada akhir Februari ini kemudian dengan zoom meeting mereka mengikuti diskusi. Siswa antusias mengirimkan jawaban dari reporter di penghujung video.

Purwokerto, 14 Maret 2021


https://youtu.be/Ywg60tA8lFM

Sarang Laba-Laba

 “Ibu, hobinya ngumpulin resep, tapi ga pernah masak,” kata anakku dulu. Bahasanya hiperbola banget, ya? Tapi memang begitu adanya. Sebelum ramai penggunaan gadget, aku termasuk rajin membuat kliping menu masakan. Tentu saja aku berharap, suatu saat bisa praktik memasak.

Harapan tinggal harapan, sampai kliping _buluken,_ aku jarang membuat masakan seperti menu yang aku kumpulkan. Jarang, artinya sekali-kali ya  masaklah, membuat makanan yang tidak ribet.

Sejak semua orang memegang gadget, orang berbagi ilmu semakin gencar, para youtuber bertebaran dengan konten-konten kreatifnya, bahkan sudah tidak berlaku lagi pedoman “rahasia perusahaan”. Namun, aku masih seperti yang dulu, menyimak konten masak dan hanya menyimpannya. Hehe…. Berbeda dengan anak gadisku. Sejak kos dan bekerja di luar kota, dia sering membuat camilan untuk dimakan sendiri.  Kini di rumah pun, sesekali dia membuat camilan lagi.

Nah, siang ini lumayan berbeda. Aku yang mempunyai keinginan membuat makanan. Anakku ikutan nimbrung. Suami lewat hanya komen-komen kecil. Jadilah masak bersama di dapur membuat sarang laba-laba. Bahannya mirip bahan leker. Hasilnya belum seperti ekspektasi, tapi sambil ngobrol di dapur dengan anak gadisku, sudah lumayan menikmati kebersamaa.


Purwokerto, 13 Maret 2021


Foto: koleksi pribadi


Jumat, 12 Maret 2021

Tidak Sendiri lagi (ODOJ)


Bekerja di sekolah Islam, guru dan karyawan mendapatkan tantangan yang lumayan. Tak pantas memang bila menyuruh  murid, tetapi guru tidak menjalankan. Begitulah di sekolah tempat saya mengajar. Kalau terlalu berat untuk menjadi qudwah atau teladan, minimal guru karyawan merasakan berjuang bersama para murid, khususnya dalam ibadah harian.

Setiap orang tadarus one day one juz Alhamdulillah terjangkau di bulan Ramadan. Namun, tidak demikian di bulan-bulan lain. Untuk itu guru karyawan hanya ditarget 3 halaman per hari, terutama selain guru Al-Qur'an. Dalam kelompok halaqah yang beranggotakan  16 orang, kami dibagi dalam 3 kelompok kecil. Tiap kelompok membuat target individu yang per orang minimal 3 halaman, sekaligus  dijadikan target 1 juz per hari dipikul bersama. Bila ada yang berhalangan, jumlah bacaan ditambahkan ke anggota lain.

Awal kegiatan ini berlangsung, semua kelompok pernah mengalami bahwa 5 – 6 orang, hanya 1 yang tadarus karena yang lain  berhalangan. Dengan demikian, 1 orang ini dalam 4 – 5 hari ODOJ padahal sekolah full day. Anehnya, dari 3 kelompok, benar-benar kondisi seperti itu hanya terjadi 1 kali. Seterusnya tidak pernah sendirian lagi. Sungguh Allah Mahasayang. 

Oya maaf, tulisan ini dibaca kaum hawa saja, ya? Hehe….


Purwokerto, 12 Maret 2021

Gambar: google


Rabu, 10 Maret 2021

Bisakah Jakarta Tanpa Polisi?

Membaca tulisan Pak Khoiri, penulis- dosen Unesa Surabaya, tanggal 3 Maret 2021 dalam komunitas penulis berjudul “Tour de Europe (2): Di Praha Tiga Hari Tak Ketemu Polisi” membuatku berpikir. Betepa kota Praha sebagai ibu kota Republik Ceko telah sukses membangun karakter disiplin warganya sehingga tidak perlu pengawasan polisi. Apakah hal ini mustahil di Indonesia?

Berbicara soal kedisiplinan memang menjadikan kita agak pesimis. Kedisiplinan umumnya dipandang sebagai sesuatu yang sangat berat dan mahal. Perlu dibayar dengan kerja keras, bahkan entah sampai kapan terwujud. Kalau dipikir, berapa menteri sudah berganti di negara ini, khususnya menteri pendidikan, faktanya para guru ditunjang masyarakat belum sukses menanamkan karakter disiplin. Konon, melihat karakter suatu negara, cukup terwakili bagaimana warganya dalam berlalu lintas.

Namun, kita bisa melihat Jakarta berhasil menduduki urutan ke-17 kota tersehat dunia versi survei institusi asal Inggris, YouGov (Maret 2021). Hal ini sekaligus Jakarta peringkat ke-4 kota paling sehat di Asia. Seakan tidak percaya karena menjadikan Jakarta bersih seperti hal yang sangat mustahil. Jakarta dulu identik dengan pemandangan sungai kotor, bau, dan penuh sampah seta beberapa sudut kota yang kumuh. Kini, sudah disulap sedemikian rupa.

Jakarta telah berkomitmen untuk memajukan ibu kota dengan program “Jakarta City Regeneration” yang meliputi pembaruan paradigma, fisik, serta sosial budaya. (Jakarta Smart City, April 2020) Ini artinya  bahwa pemerintah dan warganya menjalin kemitraan yang bagus.

Kembali ke kota Praha yang tanpa polisi, rupaya tidak mustahil juga bisa diterapkan di Jakarta.

Pak Anies…, halo Pak. Ini ada tantangan baru.

 


Purwokerto, 10 Maret 2021

Minggu, 07 Maret 2021

Sepeda Baru dan Foto Rontgen (Parenting #7)




Ayah Bunda pernah menyaksikan putra putrinya mengalami kecelakaan? Bagaimana perasaan Ayah Bunda jika kecelakaan itu saat Ananda bersama kita? Seperti kejadian berikut ini.

“Ika, minum obat, yuk?” ajak saya kepada Ika.

“Tidak mau. Obatnya pahit, Bu,” jawabnya.

“Supaya sehat. Buka mulutnya, ak…ak…. pintar.” Dalam sekejap, cairan merah satu sendok sudah masuk ke perut anak saya. Ya, obat berbentuk puyer yang disenduh di sendok. Obat apa lagi kalau bukan obat sakit setip.

Salah satu jenis penyakit yang dialami sebagian besar anak kecil. Obat yang harus diminum setiap hari ini tidak boleh terlewat sehari pun. Demikian juga yang dialami anak saya. Saat dia berusia dua tahun, menjadi rutinitas baginya minum obat sekitar 3 bulan.

Sebagai langkah pengecekan, dia saya bawa ke klinik rontgen.

“Ibu, nanti fotonya aku bergaya seperti ini, ya Bu.” katanya sambal berkacak pinggang. Menebar senyum dan dimiringkan sediit kepalanyaa.

“Wah cantik, anak Ibu pinter bergaya,” tambah saya. Dalam hati saya kasihan. Anak sekecil ini disuruh mengonsumsi obat setiap hari. Kamu mau foto rontgen, kok, Nak. Batin saya.

Saat umurnya beranjak 6 tahun kami mengajaknya membeli sepeda. Sabtu siang itu, dia memilih sepeda mini merah lengkap dengan dua roda kecil penyangga  di kanan dan kiri roda belakang. Baru satu sore  dia latihan, kejadian tidak diduga menghentikan kegembirannya bersepeda.

Sebagai guru wali kelas, saya menjalankan tugas sekolah home visit. Bersilaturahmi ke rumah para siswa. Setiap siswa dalam satu tahun harus terkunjungi. Kegiatan ini untuk berssilaturahmi dan mengetahui kondisi siswa dan agar lebih dekat dengan keluarga siswa. Kedekatan yang terwujud untuk memudahkan pendampingan pendidikan siswa. Kerja sama sekolah dan keluarga bisa terlaksana dengan baik.

Dengan sepeda kayuh, sering kami namai sepeda jengki, saya pulang home visit bersama anak saya. Dia saya boncengkan di belakang. Tiba-tiba….

“Ibu… Ibu…, sakit. Huhu…,” teriah anak saya diikuti suara orang di pinggir jalan yang melihat saya.

“Stop Mbak. Stop. Anaknya keruji.” Beberapa orang mendekat. Satu orang memegang anak saya. Dua orang memegang sepeda, dua orang memegang kaki dan ban sepeda belakang.

Ternyata salah satu kaki anak saya masuk roda. Dua ruji patah, kaki anak saya berdarah. Kulit seputar mata kaki terkelupas. Tangis anak saya menjadi. Saya pun panik dan merasa bersalah. Hancur dan bingung. Waktu itu posisi suami bekerja di luar kota. Belum ada model hp juga. Serba bingung dan kasihan melihat anak saya seperti itu.

“Hati-hati, Pak. Ini kakinya masuk terjepit ruji,” kata salah satu Abang Becak.

“Iya, ini dilepas dulu rujinya. Yang lain tolong carikan obat merah!” Bergotong royong mereka membantu saya.

“Mbak, dibawa ke klinik saja, 5 menit ke selatan dari sini. Ayo, naik becak saya. Sepeda ditinggal di sini.”

Saya ikuti saran bapak berkaus putih itu. Satu per satu kepanikan terurai. Meskipun di kepala ini masih saja menuntut jawab. Mengapa bisa terjadi? Mungkin harusnya saya ikat kaki anak saya. Atau karena tadi anak saya mengantuk sehingga kakinya tidak membuka dan akhirnya masuk roda. Ah, semua sudah takdir. Perasaan bersalah dan istighfar saya di sepanjang perjalanan pulang. Saya amati kaki kirinya tertutup perban. Di atas becak, saya dekap dan ciumi anak saya.

Besok paginya suami pulang. Sambil memangku anak saya, suami menghibur. Namun saya kok terindir, ya.

“Tidak jadi naik sepeda, ya Dik? Sepeda baru sehari di rumah, malah kaki keruji. Besok kalau kaki sudah sembuh, latihan naik sepeda sama bapak, ya?”

“Iya,” jawab anak saya lemas.

Sehari kemudian, saya bawa anak foto rontgen lagi. Khawatir kalau ada apa-apa. Alhamdulillah aman. Luka di kaki tidak sampai mengganggu tulang kakinya.

Kini, anak samata wayangku sudah dewasa. Tahun 2021 adalah tahun kedua dia bekerja sebagai radiographer. Tidak disangka, waktu kecil punya pengalaman dengan dunia rontgen, kini rontgen menjadi dunia kerjanya.

Dari sini, saya sebagai orang tua merasa dulu kurang hati-hati. Selain takdir Allah, kehati-hatian tetap harus diutamakan oleh para orang tua dalam membersamai anaknya.

 

Purwokerto, 8 Maret 2021


Foto: google        

 

Bim Salabim Kopdaris RVL


Bim salabim, tidak disangka tidak diduga, acara spontan yang berkesan. Kopi daring tipis keluarga Rumah Virus Literasi. Acara ini bermula dari pertanyaan Pak Yudi tentang plagiasi di grup RVL pada Jumat lagi, 5 Maret 2021. Setelah itu bergulir wacana kumpul-kumpul virtual. Bukti semangat menjawab pertanyaan Pak Yudi, Pak Khoiri langsung menembak, "Nanti malam bagaimana?" Pak Dhofar dan Bu Milla minta acara ditunda karena masih mendampingi anak belajar. Diubahlah ke malam Ahad, Setelah dibuatkan lis, ada 7 peminat.

Sampai Jumat pukul 11.06 tiba-tiba Pak Khoiri meralat karena malam Ahad akan menjemput putranya yang dari Jakarta. Acara pun ditawarkan untuk diundur ke Sabtu atau Ahad. Yang menanggapi baru Bu Astuti Om Jay, Pak Yudi, dan saya.  Kembali sepi tanggapan. Mungkin Ibu bapak masih sibuk dengan kegiatan yang lain.

Sabtu pagi 07.06 Bu Lina menyambung mendaftarkan namanya, tetapi  masih tertulis acara malam Ahad. Setelah Bu Lina menanyakan kepastian wkatu pelasanaan, pukul delapan Pak Khori membuat lis  baru untuk agenda Sabtu pukul 10.00-12.00.  Setelah itu nama-nama lain mulai bermunculan sampai 17 orang.

Alhamdulillah, banyak yang minat. Faktanya yang hadir sampai 19 orang. Ini bukti adanya kerinduan bersilaturahmi di antara anggota keluarga RVL. Peserta mendapatkan materi luar biasa seputar plagiarisme dan self plagiarisme serta rencana penyusunan buku antologi. Pesan dahsyat dari Pak Khoiri agarvsetipa anggota bisa menjadi virus literasi di lingkungannya. 


"Grup ini paling aktif di antara grup penulis yang lain." Begitu Pak Khoiri memberikan apresiasi kepada para anggota menjadikan semangat menulis semakin meningkat. Terlebih, setelah pekan lalu ada pancingan hadiah bakal dibagikan kepada penulis terbanyak. Antusias menulis luar biasa membuat Bu Milla kerja ekstra melakukan pendataan.

Di tv Soimah pernah menyanyikan lagu "Pokoke njoget...pokoke njoget", di grup RVL akan terjaga semangat "Pokoke nulis... pokoke nulis."

Purwokerto, 7 Maret 2021


*Kopdaris RVL*
hadir: Ibu Bapak
1. Khoiri
2. Sumintarsih
3. Milla
4. Yudi
5. Rita
6.Panca Luki
7. Chamim R.I.
8. Sri Rahayu
9. Omjay
10. Lina
11. Nuraini
12. Sri Sugiastuti
13. Muhammad Arif
14. Hernawati
15. Slamet Widodo
16. Abdullah makhrus
17. Sugiarti
18. Wafiroh
19. Slamet Yuliono


(Semoga tidak salah catat)

Sabtu, 06 Maret 2021

Stop Ajari Anak Meminta-minta (Parenting#6, tips menjelang lenbaran)



“Ayo kita hitung uangnya. Aku dapat banyak…. Hore..., aku mau beli sepatu baru dan tas baru!” kata Mira senang.

“Masih banyak punyaku, nih lihat!” balas Tina sambil mengibas-ngibaskan semua lembaran uangnya

“Terang aja, om dan tantemu banyak. Semua memberimu angpau. Beda dengan aku.”

 

Anak saya dan dua ponakan tampak gembira sekali. Mereka menghitung jumlah angpau, lembaran uang berwarna warni.

Tiba-tiba saya teringat kenangan masa kecil. Sekitar tahun 1980-an, saya menerima uang dari para tetangga. Ternyata budaya membagi-bagikan uang kepada anak-anak saat lebaran sudah ada sejak dulu. Waktu itu saya menerima Rp100, Rp200, atau Rp300. Biasanya dua sampai lima anak seumuran SD (tanpa orang tua), bersilaturahmi ke tetangga dari rumah ke rumah mengucapkan selamat lebaran dan meminta maaf (sungkeman). Anak-anak pun sangat senang bisa menikmati aneka jajanan dan minuman yang tiap rumah tentu berbeda. Nah, pulangnya, mereka mendapatkan uang walaupun tidak semua rumah memberi. Uang recehan, tetapi waktu itu bernilai tinggi.

   

“Kamu dapat dari siapa saja? Pade Satria memberi kamu tidak? Kepala Sekolah  ibuku,” tanya keponakan kepada anak saya.

“Ya tidak. Kamu kan sama Bude ke sana. Aku tidak ikut, ya.”

“Pantesan jumlah uangku lebih banyak. Haha….”

Sore hari, suasana agak sepi. Tidak ada tamu. Ponakan sebagian sudah pulang. Di pojok ruang tamu, anak saya tampak murung. Budenya datang.

“Kamu ada apa, Syifa?”

“Bude, uangku tidak sebanyak uang Ari. Uang Ari tebal sekali. Uangku cuma dikit,”  keluhnya.

“Bude senang Syifa mudik setiap lebaran. Menengok Simbah dan Bude. Tujuannya silaturahmi dan menengok Simbah, kan? Apalagi Simbah sudah tua. Jadi jangan sedih!” kata Bude yang saya dengarkan dari dalam.

“Iya, Bude.”

“Yang dari Bude sudah?”

“Sudah Bude.”

“Ya, sudah. Itu juga sudah banyak, kan?” tambah Bude menghibur.

  Saya mendekat dan bertanya.

“Syifa, Ibu lupa angpaumu belum. Ini untukmu.” Aku serahkan angpau seperti yang saya serahkan untuk para ponakan.

“Hore, tambah lagi.”

“Wah, banyak juga, ya? Kamu dikasih apa minta?”

“Ya dikasih, Bu.”

“Kalau ada Om atau Tante tidak memberi, kamu minta tidak?”

“Tidak, malu.”

“Bagus. Kalau diberi, Syifa terima. Kalau tidak diberi?”

“Tidak usah meminta-minta,” jawabnya. Syifa paham dengan yang saya pesankan.

Setelah ditenangkan Budenya dan saya tambah angpau, Syifa lebih tenang. Ada kekhawatiran bagi saya kalau uang menjadi ukuran Syifa menikmati libur lebarannya. 

“Syifa, siap-siap balik, yuk! Mudiknya sudah cukup.”

“Besok pagi, ya Bu?

“Iya. Oya, besok kita mampir beli apa, ya? Ibu pingin dawet ireng yang di pinggir sawah. Sepertinya seger minum di sana.”

“Pakai uangku ya , Bu. Syifa juga yang menyiapkan uang receh untuk parkir atau yang lain,” katanya bangga.

“Boleh. Terima kasih, Nak.”   

 

Dunia anak-anak sampai dewasa, tidak bisa dipisahkan dari budaya bagi-bagi angpau lebaran. Budaya yang sudah turun-temurun ini bahkan kadang menjadi pembeda status seseorang. Status seseorang anak-anak, dewasa, pemberi, atau penerima angpau. Pemberi angpau adalah yang sudah bekerja meskipun belum berumah tangga. Sedangkan yang belum bekerja, statusnya masih penerima. Terutama di lingkungan keluarga besar.

Budaya ini bisa mengakrabkan dan sebagai sarana berbagi. Namun, tidak disadari, ada bahaya mengancam di balik budaya membagi-bagi angpau lebaran.   Yaitu, budaya semangat menerima pemberian apalagi sampai menjurus kepada budaya meminta-minta. Misalnya, ketika ada tamu atau saudara datang, orang tua akan membisikkan ke telinga anak, “Sana minta angpau kepada om dan tante!” Walaupun, awalnya seperti ini bisa sekadar bercanda.

Selain senang menerima, anak-anak perlu belajar memberi. Orang tua perlu menyiapkan mental anak terhadap budaya angpau lebaran ini.*

 

Purwokerto, 6 Maret 2021


Foto: google


Hehe.... lebaharan masih jauh, tak apalah ya....?

Jumat, 05 Maret 2021

Ujian Berlapis Selama Pjj



Meskipun tahun ini tidak ada ujian nasional, seperti halnya tahun lalu, kegiatan belajar intensif tetap dilaksanakan mulai semester 2 ini dinsebagian besar sekolah,termasuk baginkelas 9 SMP. Misalnya jam tambahan belajar, banyak latihan soal, dan tryout ujian sekolah. 

Berbeda dengan pelaksanaan tryout pada tahun-tahun sebelumnya, tryout selama PJJ ini sekaligus ujian yang berlapis-lapis bagi para siswa. Mengapa? Mereka tidak hanya menghadapi ujian materi pelajaran, tetapi juga ujian hal lain. Apakah itu?


Pertama, materi tryout tidak hanya empat mapel seperti materi ujian nasional, yaitu bahasa Indonesia, matematika, IPA, dan bahasa Inggris. Namun, ada beberapa mapel tambahan, seperti Pendidikan Agama Islam, PKN, dan IPS, Dampak yang jelas terasa adalah waktu semakin panjang.


Kedua, ujian kemandirian. Tidak sedikit selama PJJ siswa benar-benar sendirian di rumah. Kedua orang tua bekerja dan tidak ada saudara lain, ini contohnya. Bila menjumpai kendala teknis, siswa dituntut bisa mengatasi sendiri. Kendala teknis seperti mendadak kuota habis, sinyal lemah, atau wifi bermasalah, ini di luar kuasa mereka. Namun, kepanikan muncul saat penggunaan aplikasi yang belum familier. Misalnya, sekolah menggunakan aplikasi edulastic, padahal biasanya hanya google form. Dalam waktu yang sempit, solusinya hanya mengandalkan komunikasi dengan guru atau teman.


Ketiga dan ujian yang paling berat adalah ujian kejujuran. Dibandingkan ujian yang dilaksanakan secara langsung, ujian selama PJJ sangat berbeda. Ujian dalam kondisi normal, siswa akan datang ke sekolah dan ujian di dalam ruangan ditunggui pengawas. Dengan nyaman siswa mengikuti ujian sampai waktu habis. Kelas bisa dikondisikan, siswa mengerjakan ujian dengan jujur. Namun, selama PJJ ini, siswa mengikuti ujian di rumah bahkan di dalam kamar dengan alat yang terhubung langsung dengan internet. Sekali klik, semua informasi otomatis keluar dengan cepat. Padalah ujian diminta closebook.


Di sinilah ujian berat bagi mereka. Bisakah benar-benar closebook dan closegoogle meskipun diminta menulis ulang kalimat “Saya melaksanakan ujian dengan jujur”? Seberapa mereka kuat menahan godaan untuk tidak mencari jawaban dari sumber lain atau malah _phone a friend?_  Atau supaya sama-sama enak, ujian dibuat model openbook dan opengoogle saja?*


Purwokerto, 5 Maret 2021

Kamis, 04 Maret 2021

Teori Makan Bakso



(Edisi belajar menulis pentigraf, cerpen 3 paragraf)


Jam istirahat di halaman sekolah. Seorang teman guru pernah berkelakar bahwa bedanya makan kacang dan makan bakso adalah dalam memilih ukuran. Kalau makan kacang orang mencari yang besar dulu, tapi kalau makan bakso mencari yang kecil dulu. Semua yang mendengarkan tertawa dan dalam hati mengiyakan.


"Tidak usah menyangkal, ini teori asli temuanku," katanya sambil tertawa dan mengusap rambutnya yang selalu klimis. Bahkan, guru humoris ini  berani menantang kepada siapa yang tidak mau mengakui.


Anehnya, setiap aku makan bakso, tidak pernah ingat teorinya. Pas butir bakso terakhir di dalam mangkuk, aku baru sadar. Sungguh ingin mematahkan teorinya, tetapi aku selalu gagal. Hehe....


Purwokerto, 4 Maret 2021


Salam untuk Ust Andi M.


Foto: google

Senin, 01 Maret 2021

Bila Antrean Anak Diserobot Temannya (Parenting #5)


 Marching band di TK tempat Rani sekolah adalah ekskul unggulan. Latihan demi latihan Rani ikuti untuk mempersiapkan pertunjukan terdekat. Lomba tahunan marching band menjadi ajang bergengsi mempertahankan prestasi TK.

 

Dengan kostum yang selalu baru pada setiap tahun, jelas perlu pemikian yang sangat matang. Untuk itu, kerja sama sekolah dengan komite menjadi salah satu solusinya.

Ika mendapatkan tugas memegang belira. Dia sudah menghafal not beberapa lagu. Dengan kostum kombinasi krem, merah, dan biru menyala, dia tampak menarik dan menggemaskan.

 

“Ayo anak-anak, dirapikan kerudungnya,” kata ustazah Nisa.

“Ya, Ustazah,” jawab anak-anak.

“Ayo gentian, mengantre untuk make up. Biar tampak segar, tidak pucat.”

“Aku… aku…,” anak-anak berebut berdiri di depan.

Dari kejauhan, Mama Sita, mamanya Rani mengamati gerak gerik anakny. Oya, berhubung Lomba Marching Band antar-TK dilaksanakan hari Minggu, Mama Sita bisa menemani Rani berkegiatan. Ini sangat jarang. Hari ini, Rani tampak lebih semangat.

 

Rani berdiri di urutan keempat. Menunggu tiga anak lagi, masuk glirannya dimake up. Namun, tiba-tiba temannya yang hitam manis menyerobot di urutam dua. Dia tampak gesit, banyak gerak dan banyak suara.

 

“Kok kamu tidak antre. Sana antre di belakang!” kata anak yang di urutan tiga.

“Iya,” kata Rani lirih. Dia melirik ke arah mamanya. Mungkin dia bermaksud mengadukan.

“Tidak apa-apa,” ucap mamanya sambil senyum. Meski tidak terdengar jelas, tampaknya Rani paham. Tidak perlu memprotes atas sikap temannya tadi.

 

Memakai kostum sudah, make up sudah, dilanjutkan mengenakan sepatu but. Sepatu putih mengilat menambah kegagahan tim Marching Band yang siap beradu ini.   Tidak lupa topi berbentu tabung yang lengkap dengan bulu lebat menjuntai ke atas. Pin sekolah warna perak menyala di bawah bulu menambah lengkap identitas mereka.

 

Saatnya berfoto bersama. Mulai dari tim simbal, tim poliguard, dan yang lain. Giliran Rani, masuk di tim pianika.

 

“Aku depan aku depan,” kata temannya.

“Aku tengah aku tengah,” kata yang lain tidak mau kalah. Rani tampak ingin bertahan di posisinya, tetapi dia urungkan.

 

Lomba pun selesai. Semua anak pulang tampak riang di balik peluh keringat selepas berjuang. Mereka membawa cerita masing-masing.

 

“Ma, tadi teman Rani menyerobot waktu Rani mau di-make up. Rani tidak suka.”

“Mengapa kamu tidak melarangnya?”

“Anak itu sukanya nyerobot, Ma. Kalau dia nyerobot, yang lain ingin marah. Tapi anak itu langsung melawan.”

“Kamu suka nyerobot juga?”

“Tidak, ya. Biar yang lain nyerobot. Rani tidak mau.”

“Mengapa?”

“Tidak mau seperti Luli, dibenci sama teman-teman.”

“Mama suka melihat tadi Rani tidak marah ketika anrean diserobot. Tapi bagusnya Si Luli diingatkan.”

“Sering, Ma. Ustazah juga sudah menasihati Luli.”

 

Mendengar jawabannya, Mama Sita terdiam sejenak. Rani tidak begitu reaktif ketika haknya diserobot teman karena mengalah, sabar, atau takut dibenci teman? Atau gabungan semuanya?

 

Mamanya bersyukur, senang melihat anaknya sudah bisa menganalisis sebuah sebab akibat. Sanksi sosial dari teman-teman yang terzolimi kepada anak yang suka menyerobot adalah kesan negatif. Akibat tidak disukai teman adalah kondisi yang tidak disukai anak pada umumnya.

 

Mengajak diskusi atau merefleksi sebuah kejadian yang dialami anak rupanya bisa menjadi sarana belajar anak. Orang tua bisa memberikan apresiasi terhadap sikap anak bila sudah benar.        

 

Purwokerto, 1 Maret 2021


sumber foto: google