Senin, 26 April 2021

Belajar Naik Sepeda (Parenting)

Nining, gadis kecil yang umurnya belum TK, hampir setiap hari menghabiskan waktunya dengan bermain sepeda. Lebih tepatnya belajar naik sepeda. Dia berusaha bisa naik sepeda dengan sepeda mininya.

Dulu belum ada sepeda kecil roda empat. Dua roda kecil penyangga di samping kanan kiri roda belakang, memang membantu anak tidak jatuh saat bersepeda. Anak-anak kecil pun berlatih sepeda dengan sepeda seadanya. Bahkan, tahun-tahun sebelumnya sangat jarang sepeda mini.

Hampir setiap anak kecil berlatih naik sepeda menggunakan sepeda orang dewasa. Hebatnya lagi ada yang menggunakan sepeda onthel model laki, yang ada plantangannya, besi penghubung bawah stang dengan bawah sedel. Anak-anak pun memasukkan kaki kanan di bawah besi itu supaya bisa menggenjot pedal bagian kanan.

“Ayo, Ning,  latihan lagi!” ajak Evi teman sebayanya yang sudah siap dengan sepeda merahnya.

“Iya, aku ambil sepedaku dulu, ya,” jawabnya dengan semangat. Mereka pun membawa sepeda masing-masing. Sepede Ning warna biru kusam yang dibelikan ayahnya, memang bukan sepeda baru. Namun, tidak membuatnya malu. Yang penting dia ingin bisa naik sepeda.

Sehari, dua hari, begitu seterusnya. Kadang kakak-kakaknya mengamati Ning bersepeda, tetapi lebih sering dia sendiri bersama Evi juga teman-teman main lainnya di tanah lapang.

Sampai pada suatu sore, terdengar tangisan mendekat rumah.

“Huhu…. sakit…,” suara Ning memelas. Air matanya bercucuran sambil menuntun sepedanya.

“Ada apa, Ning?” tanya ibu dan kakak-kakaknya. Semua mata tertuju pada sepeda dan wajah Ning yang penuh peluh juga tanah, celemotan. Rambut kucir satunya pun sudah tak berbentuk.

“Kakiku sakit, jatuh nabrak pohon, huhu…,” tambahnya.

“Ya Allah, jempolmu kenapa?” tanya ibu.

“Kukunya lepas, Ning?” tanya Mbak Ina panik. “Darahnya… darahnya keluar banyak.” Mbak Ina semakin gugup.

“Tadi aku hampir bisa naik sepeda, huhu….”

Yang mendengar malah jadi tertawa karena Ning tidak peduli dengan lukanya. Dia seakan sedang merayakan keberhasilannya yang hampir bisa naik sepeda sendiri.

“Hebat kamu Ning, besok latihan lagi kalau kakimu sudah sembuh, ya!” puji Ibu. Senyum Ning mengembang di balik celemotan wajah dan gigi-giginya yang gupis, hitam-hitam dan lepas sebagian. Ning pun segera dibersihkan dan kakinya diobati.

Berapa hari kemudian, setelah luka di kakinya mengering, Ning kembali berlatih sepeda. Akhirnya latihannya berbuah manis. Usia sebelum TK sudah bisa naik sepeda. Sepeda mini waktu itu berukuran besar dibanding badan anak lima tahun.

Sementara itu, ada teman lain yang takut tidak berani naik sepeda. Dia tidak mau latihan karena takut jatuh. Sampai dewasa, dia tetap saja tidak bisa naik sepeda.

Ayah Bunda, pengorbanan anak untuk bisa naik sepeda adalah salah satu bukti semangat juang yang dimilikinya. Dengan fasilitas seadanya justru memberikan tantangan yang lebih besar. Motivasi dari dalam diri anak dan dukungan orang tua akan memberikan pengaruh yang luar biasa. Apalagi semakin berkembangnya zaman, kemudahan anak menggunakan fasilitas yang semakin modern kini terbuka lebar.

Hendaklah orang tua tidak malah menjadi penyebab anak bertahan dengan rasa takutnya. Anak tidak berani mencoba, takut jatuh, atau takut gagal, apalagi orang tua tidak tega melihat anaknya terluka. Luka hari ini adalah pembuka suksesnya di masa depan. Jangan sampai kegagalan anak karena orang tua yang terlalu sayang sehingga tidak memberi kesempatan bagi anak menguji nyalinya.  

 

Purwokerto, 27 April 2021

 

 

Rabu, 21 April 2021

Terima Kasih Kartini-Kartiniku


Acara yang membuatku sulit tidur beberapa hari ini, kelar sudah. Rasa syukur dan banggaku masih menyelimuti hati. Apresiasi dan dukungan orang tua luar biasa dalam acara Kelas Inspiratif  9E SMP Al Irsyad Purwokerto dan doa bersama orang tua siswa menjelang ujian sekolah 2021.

Pagi tadi, sebelum 6.30 aku sudah berada di sekolah. Undangan acara direncanakan pukul 7.15. Aku mengajak panitia masuk google meet lebih dulu pukul 07.00. Ini bagian dari ilmu yang aku tularkan, bahwa menjadi panitia itu melayani. Lima belas menit sebelum peserta hadir, panitia melakukan pengecekan dan doa bersama. Meskipun acara virtual, aku mebagikan tugas ada MC, penerima tamu, pembaca Ayat suci Al Quran dan terjemahan, moderator, pencatat kehadiran, pemandu kuis, pembaca permintaan maaf, bahkan fotografer dengan cara schreenshoot.


Lima belas menit selanjutnya menunggu peserta berdatangan karena link sudah dikirim ke grup WA anak dan grup orang tua. Baru sepuluh menit berlalu, aku meminta MC membuka acara karena peserta sudah banyak. Ini aneh, biasanya acara terlambat mulai, acara tadi pagi malah mulai lebih awal.


Setelah MC membuka acara, berurutan acara standar adalah sambutan ketua kelas dan sambutanku sebagai wali kelas. Sebelum pembicara menyampaikan materinya, ada pemutaran video pesan kesan orang tua. Power poin yang aku lembur semalam sukses ditayangkan.


Alhamdulillah Allah menunjukkan jalan tepat bagiku memilih dr. Anton sebagai pembicara. Ayah dari Asri dengan nama dan gelarnya Dr. dr. Anton Budhi Darmawan, Sp. THT-KL (K), menyampaikan pengalaman nyata kisah hidupnya. Dari tema yang ditentukan panitia, yaitu Rida Ayah Bunda Pengantar Suksesku, dr. Anton tepat sekali menularkan pentingnya menggapai rida orang tua. Hal yang sepertinya tidak mungkin, mudah bagi Allah bila Allah rida. Allah rida bila orang tua juga rida.   


Sebagai selingan, acar kuis tebak gambar ternyata sertu. Peserta antusias menebak gambar nama buah-buahan yang diambilkan dari youtube. Supaya praktis, peserta menebak dengan cara menuliskan di kolom chat. Pemenang tentunya yang jawaban benar dan tercepat.  Bahkan ada sesi rebutan antara anak dan orang tua.


Acara inti selain mendengarkan cerita inspiratif adalah doa bersama. Acara ini diawali dengan penyampaian permohonan maaf oleh Asri, salah satu panitia. Pembacaan yang penuh penghayatan, didukung alunan musik lembut, telah menghipnotis peserta hanyut dalam emosi. Tampak sebagian siswa dan para bunda menitikkan air mata. Meskipun acara virtual, keheningan bisa terbangun dengan mudah.


Permohonan maaf ini dsambut oleh Ketua Komite dengan pemberian maaf dan doa restu untuk para siswa. Siswa yang ditemani ayah bunda di rumah bisa langsung mencium tangan minta maaf serta minta doa dan memeluknya.  


Alhamdulillah, bertepatan dengan tanggal 21 April 2021 ini, pengurus kelas menunjukkan  kerja cerdasnya, sukses mengelola acara yang dihadiri 31 siswa dan 22 orang tua siswa. Meskipun masih SMP, mereka sudah lancar menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab. Terima kasih Kartini-Kartiniku. Aku bangga padamu.

 

Purwokerto, 21 April 2021

Senin, 19 April 2021

Kabar Alumni

Di antara bukti seorang guru sudah tidak muda lagi adalah hadirnya undangan pernikahan dari murid-muridnya. Terutama guru yang mengajar di SMP apalagi SD.  Ya, hal ini bisa dikatakan bahwa guru tersebut sudah melampaui putaran sekian waktu.

 

Undangan itu silih berganti saya terima, sedangkan rekan guru yang lain tidak. Memang bagi sekolah swasta pergantian guru lumayan terasa sehingga bisa dihitung, hanya guru-guru lama yang menerima undangan pernikahan alumni.

 

Seiring berjalannya waktu, dengan dunia maya yang semakin mudah diikuti, kini memasuki episode berikutnya. Satu-persatu di medsos bermunculan wajah murid-murid yang sedang menggandeng dan menggendong anak-anak mereka. Tandanya usia saya pun semakin menua. Perasaan apa lagi bagi guru kalau bukan ikut gembira.

 

Lain halnya dengan berita duka. Di antara kabar suka cita para murid, sesekali mampir juga kabar tidak enak. Seperti beberapa hari yang lalu. Salah satu dari murid saya berpulang karena sakit. Kabarnya sudah lama sakit, tetapi beberapa hari terakhir yang terasa berat penyakitnya ia rasakan. Karena itu, kepada sesama guru lama, saya langsung memberi kabar dan janjian untuk taziah.

 

Kemudahan saya bertaziah karena adanya progam home visit. Ya, kewajiban wali kelas untuk mengunjungi rumah siswanya menjadikan silaturahmi dengan orang tua siswa semakin dekat.  Cuma satu kali dulu berkunjung saat dia kelas 3 SMP, saya masih paham betul alamatnya.

 

Kami disambut oleh orang tuanya yang masih tampak terpukul. Apalagi almarhumah adalah anak tunggal. Bersyukur ia sudah mempunyai dua anak yang sehat-sehat. Tampak juga sebagian teman semasa sekolah dari almarhum.

 

Allah telah memberikan peringatan kapada saya melewati berita-berita alumni, baik kabar suka maupun duka. Mesti apa lagi kalau tidak kita memanfaatkan umur yang tersisa dengan memperbanyak bekal. Bekal untuk menuju kampung akhirat.

 

Purwokerto, 19 April 2021 

Kamis, 08 April 2021

TEMANKU YANG ANEH (cerpen)

 

             Siang hari begitu menyengat. Kepulanganku jalan kaki dari kampus siang ini memaksaku untuk mampir ke lapak minuman kesukaanku, es cappuccino cincau. Namun, tidak bagi Mila. Mila temanku satu jurusan dan satu kos. Ia sering menunjukkan senyum khasnya melebarkan bibir ke kanan dan ke kiri, tanpa satu gigi pun tampak.  Ini tandanya ada yang berbeda di antara kami berdua. Ia mempunyai maksud tertentu.

“Mau apa?” tanyaku.

“Aku beli dawet sebelah saja, ya?”

“Iya, sana!” jawabku.

Es kesukaanku sudah di tangan. Penghapus dahaga segelas plastik besar penuh lengkap dengan sedotan besar dan kresek mini. Aku tidak sabar menyedotnya. Sejenak aku lirik Mila yang masih menimang-nimang gelas kaca berisi setengah es dawet. Dia dengan santai meminumnya sampai habis. Pikirku, dia akan membeli segelas untuk dibawa pulang. Ini keanehannya yang pertama.

Sepuluh meter dari kos kami, ada sebuah warung nasi rames langganan anak kos. Tak terkecuali aku dan Mila.

“Ibu, nasi rames setunggal ngagem telur goreng,” katanya dengan bahasa Jawa halus. Kadang yang dia ucapkan adalah kata-kata sudah terlalu usang yang tidak aku mengerti.  Ini keanehan kedua.

“Inggih, Mbak Mila manis,” jawab Bu Darti  dengan senyum dan lembut pula.

“Kamu kenapa pakai bahasa halus seperti itu? Kurang praktis, kelamaan!” kataku meninggi. Dia hanya tersenyum khas. Kini giliran aku yang pesan nasi. “Bu, rames satu, biasa.”

“Beres, Mbak Tina cantik,” jawab Bu Darti.

“Bu, ampun nganggem sterofom!” sela Mila, mengagetkan. “Ngagem daun, wonten mboten? Nopo kertas daun mawon.”

“Iya, Mbak. Siap,” jawab Bu Darti. Apapun permintaan pembeli, Bu Darti siap melayani. Kembali ke Mila. Aku sudah mengumpulkan, keanehan ke berapa tadi, ya? Oh, ya. Ini keanehan ketiga.

Sambil menunggu bungkusan nasi remes selesai, aku membunuh waktu dengan membuka hp. Begitu juga Mila. Aku membuka status teman-teman, IG, atau tik tok, sedangkan Mila? Coba tebak, apa yang dilakukan?

“Assalaumualaikum, Ibu,” katanya lembut kepada seseorang di dalam hp.

“Waalaikum salam, Mila. Sehat, Nduk?” jawab seseorang dengan bahasa Jawa juga. Setelah aku numpang nguping sedikit, rupanya Mila sedang ngobrol dengan ibunya di kampung. Ya, itulah temanku. Sama-sama kami membuka hp, tetapi beda yang kami lakukan. Dalam sehari, dia bisa mengabsen semua anggota keluarganya.  Menurut kalian, ini aneh tidak?

Hmm….

Senyumnya melebar lagi, kali ini dengan sedikit suara pengganti minta maaf mungkin. Maaf karena berisik berbicara di hp sampai Bu Darti selesai membungkus dua nasi. Ini keanehan berikutnya. Ya, keempat. Mungkin Mila memang tidak mengenal game di hp dan jarang melihat status orang.

“Matur nuwun, Bu Darti,” pamit Mila.

“Nggih, Mbak, sami-sami.”

Kami hampir sampai rumah. Dari warung Bu Darti sampai kos kami melewati jembatan di atas selokan.

“Selokan kok penuh sterofom dan plastik!” gerutuku sambil menutup hidung.

“Setidaknya, bukan sampahku.”

Deg, aku tersentak dengan jawaban Mila. Apakah ini jawaban dari keanehan-keanehannya? Aku malu pada diri sendiri. Setiap hari aku turut andil dalam memproduksi sampah plastik.

Setelah makan, aku santai sejenak. Tiba-tiba hp ku berbunyi.

“Ya, Ma. Ada apa?” tanyaku kepada Mama. Selain tanya kabar, Mama memintaku untuk pulang akhir pekan ini.

“Pulang ya, Tina. Tante Lita sekeluarga mau mampir dan kita akan foto bersama,” pinta Mamaku. Tante Lita adalah sahabat karib mamaku waktu SMA. Mereka mengadakan reuni seangkatan dan akan mampir ke rumah. Cita-cita mereka ingin foto bareng dua keluarga. Bahkan dulu sempat terucap mau besanan.

“Aku tidak mau pulang, Mama. Aku ada kegiatan main bareng teman. Sudah janjian.”

“Ini kesempatan langka, Sayang. Pulang, ya Nak!”

“Mama jangan maksa-maksa aku. Aku tidak mau dijodohkan, titik!” suaraku meninggi. Mila sampai keluar dari kamarnya, melongokkan kepalanya. Aku masih terus berdebat dengan Mama.

“Siapa bilang Mama mau menjodohkan kamu, Mila,” bela Mama. “Tante Lita tamu jauh dari Medan, apa kamu tidak bisa pulang sebentar. Perjalanan pulang cuma dua jam. Satu jam kamu di rumah dan bisa balik lagi. Silakan bermain dengan teman-temanmu.”

Dan seterusnya seakan kami saling meluncurkan peluru-peluru tajam pembelaan. Argumen yang dianggap paling benar untuk memenangkan perdebatan. Suaraku pun masih bisa meninggi. Kalau sudah seperti ini, aku hanya lemas dan aku tutup dengan minum dua gelas air putih. Ini cukup untuk membendung air mataku.

Entah mengapa aku langsung teringat Mila yang selalu halus dan lembut saat bertelepon.

“Mila…!” panggilku keras kepada Mila.  “Eh, maaf. Nada tinggiku masih tersisa.”

“Ada apa, Tina?”

“Benar kamu tidak pernah bertengkar dengan ibumu? Aku tidak pernah mendengar suaramu tinggi  di telepon?”

 “Bagaimana aku bertengkar, ibuku tidak pernah mengajariku untuk aku meninggikan suara?”

“Apakah kamu kesulitan berdebat kalau menggunakan bahasa Jawa?” selidikku.

“Aku bertahan berbahasa Jawa adalah permintaan ibuku agar aku mengerti kepada siapa aku berbicara.”

“Kamu tidak pernah berbeda pendapat?”

“Siapa pun pasti pernah beda pendapat. Cuma, aku tidak pernah merasa harus menang. Perbedaan pendapat bukan sebuah perlombaan. Ibu juga kadang mengikuti pendapatku bila itu dirasa lebih baik,” jawab Mila tenang.

“Aneh!”

“Apanya yang aneh?” tanya Mila.

“Aneh karena kamu tidak pernah bertengkar dengan orang tuamu.”

“Biarkan aku dalam keanehan-keanehan, yang penting aku merasa nyaman dan tidak mengganggu orang lain. Kali ini Mila seperti protes karena sering aku katakan aneh.

  Dalam hati aku membenarkan jawaban Mila. Dia memang tidak pernah mengganggu orang lain. Justru dia tengah berjuang melawan kerasnya zaman. Zaman serbaplastik, zaman serbamodern, zaman serbaindividualis, dan zamannya bahasa daerah mulai ditinggalkan.  

Kami dalam keheningan. Mila belum meninggalkanku yang dari tadi terduduk lemas di ruang tamu.

“Kamu akan mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anakmu kelak?” tanyaku penasaran.

“Akan aku upayakan. Kita sudah banyak kehilangan hutan. Jangan sampai kehilangan bahasa Jawa. Eh, maaf. Tidak ada hubungannya, ya?”

Tiba-tiba Mila melucu. Kelucuan yang datar nenurutku. Ya, lucu. Namun, aku belum bisa tertawa. Aku hanya melempar bantal kursi ke arahnya.

“Bagiku yang orang Jawa dan tinggal di Jawa, bahasa Jawa adalah bahasa ibu yang ibuku kenalkan kepadaku. Aku bersyukur keluargaku menularkan bahasa Jawa kepadaku,” tambahnya.

“Aku juga orang Jawa yang tinggal di Jawa. Sama seperti kamu. Namun, dari kecil aku bebahasa Indonesia. Apakah aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya?” tanyaku tiba-tiba setelah memahami maksud Mila.

“Iya, iya benar!” teriak Mila. Kemudian dia berlenggak-lenggok di depanku layaknya anak ayam kebingungan dan sempoyongan.

Piyik… piyik… piyik….

“Mana indukku? Mana emakku?” ledeknya kepadaku.

Piyik….piyik…piyik….

Aku lempar bantal lagi dia. Mila lari dan aku kejar dia. Kami tertawa terpingkal-pingkal.*

 (Cerpen ini pernah dikirimkan dalam lomba cerpen tema bahasa ibu, belum menang)

Rabu, 07 April 2021

Sehari tentang Buya Hamka


Kemarin siang saya membaca postingan Pak Moch. Khoiri berjudul serial Write or Die (8): menulis mewarnai peradaban. Menurut beliau membaca dan menulis harus dilakukan oleh suatu bangsa dalam membangun kebudayaan dan peradaban karena membaca dan menulis merupakan literasi teks yang memberikan peluang besar untuk diturunkan dari generasi ke generasi.

Tokoh Patih Gajah Mada yang terkenal gagah berani berhasil menaklukkan wilayah barat hingga Tumasik semasa Tri Bhuwana Tunggadewi dan wilayah timur hingga Filipina Selatan semasa Hayam Wuruk. Sayang sekali Gajah Mada tidak meninggalkan jejak literasi sehingga sepak terjangnya dipandang sebagai misteri yang rawan didistorsi.

Pak Khoiri mengajak pembaca untuk mencontoh agamawan yang penulis seperti Buya Hamka yang karyanya lebih dari 100 judul atau mencontoh negarawan yang penulis seperti Soekarno dan Mahatma Gandhi.

 

Tiba-tiba pagi ini ada postingan cerita inspirasi di salah satu grup WA sekolah yang bersumber dari buku karya Buya Hamka. Sebuah nasihat menjelang bulan Ramadan yang dianalogikan dengan cerita Raja Iskandar Zulkarnain dengan 3 golongan prajurit. Iskandar Zulkarnain memerintahkan pasukannya yang nanti malam akan melewati sungai agar mengambil benda-benda yang diinjaknya di sungai.

 

Golongan pertama tidak mengambil apa pun karena mereka hanya menginjak batu-batu. Golongan kedua mengambil sedikit batu sekadar menjalankan perintah.  Adapun golongan ketiga mengambil sebanyak-banyaknya batu  sehingga kepayahan dalam membawanya.

 

Pagi harinya, Iskandar Zulkarnain bertanya tentang benda apa yang pasukannya ambil. Ternyata, para prajurit mendapati intan berlian. Tentu saja kelompok ketiga yang paling bersyukur tanpa sedikit pun penyesalan karena mereka sungguh-sungguh dalam mengambil.

 

Demikianlah hendaknya kita dalam menjalankan ibadah Ramadan. Mengambil keberkahan dari bulan Ramadan dengan bersungguh-sungguh memparbanyak ibadah dan amal kebaikan tentu akan lebih menguntungkan.

 

Saya masih merenung dengan kebetulan tentang Buya Hamka. Namun, sebagai umat Islam kita tidak pantass mengatakan “kebetulan” karena yang ada adalah kadarullah. Atas kehendak Allah, saya diingatkan pentingnya berliterasi mencontoh Buya Hamka melalui postingan Pak Khoiri dan teman di sekolah. Benar sekali bahwa kita bisa merasakan hadirnya nasihat Buya Hamka dari buku-buku peninggalannya. 

 

Insyaallah, saya optimis dari bersusah-susahnya kita terutama para pendidik yang sekarang mulai menekuni literasi, akan ada generasi selanjutnya yang juga peduli berliterasi.

 

Purwokerto, 7 April 2021

 

Senin, 05 April 2021

Memaksimalkan Penilaian Performa selama PJJ


Salah satu kompetensi lulusan yang akan dicapai dari peserta didik menurut kurikulum 2013 adalah KI 4 yaitu keterampilan. Ciri khas keterampilan yang diujikan dari pembelajaran bahasa adalah adanya tes performa atau penilaian praktik berbahasa. Dengan penilaian performa, pembelajaran bahasa dikatakan telah memberikan penilaian yang autentik. Misalnya materi teks pidato persuasif kelas 9 SMP. Peserta didik akan dikatakan memenuhi standar kompetensi bila mampu mempraktikkan teks pidato persuasif dalam ragam tulis berupa menyusun teks pidato persuasif dan praktik berpidato. Keduanya harus memenuhi struktur dan kaidah kebahasaan yang ditentukan. 

Ujang Suparman dalam bukunya Penilian dalam Pelajaran Bahasa (2016) mengatakan bahwa tes performa diperlukan agar guru dapat mengungkapkan kemampuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki peserta didik secara menyeluruh. Dalam hal ini bukan semata tes fisik, tetapi juga tes keterampilan mental. 

Namun, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) selama pandemi covid 19 menjadikan tes performa berbicara tidak maksimal. Praktik berbicara yang biasanya dilakukan di depan kelas, terpaksa diganti dengan hanya mengirimkan video.  

Perbedaan PJJ peserta didik tingkat TK dan SD dibandingkan dengan tingkat SMP atau SMA adalah keterlibatan orang tua. Bagi tingkat TK SD orang tua sangat berperan membantu, minimal mendampingi, sedangkan tingkat SMP SMA peserta didik cenderung mandiri. Selain sudah bisa mandiri, tidak semua peserta didik percaya diri bila dilihat orang lain walaupun anggota keluarga, lrang tua, kakak, atau om tante. Biasanya peserta didik tes performa di dalam kamar, merekam sendiri, kemudian dikirimkan kepada guru. Bila diunggah ke youtube, itu pun tidak untuk dilihat publik. Dengan demikian, penilaian tes performa nyaris tidak bisa maksimal. Jangankan untuk mencapai standar kompetensi, sebagian hanya untuk menggugurkan kewajiban. 

Bagaimana sebaiknya pemberian tes performa dalam penilian pembelajaran khususnya bahasa Indonesia selama PJJ agar mencapai standar kompetensi? 

Dalam hal ini, ada empat hal yang perlu diperhatikan guru dalam penilaian tes performa pembelajaran bahasa Indonesia khususnya praktik berbicara selama PJJ: 1) memodifikasi tugas; 2) meminta peserta didik mempersiapkan tugas bersama keluarga; 3) meminta peserta didik performa di depan penonton; 4) meminta peserta didik memublikasikan video di YouTube untuk dilihat umum.

Memodifikasi Tugas

Guru perlu merancang tes performa dengan modifikasi tugas pengantar. Misalnya melibatkan orang lain dengan berdiskusi tentang tema, menemukan referensi, dan cara menyusun naskah. Kebersamaan dengan anggota keluarga di dalam rumah selama pandemi sangat menguntungkan untuk teman diskusi. Keberanian berdiskusi pun bisa dilatih dengan anggota keluarga. Hal ini sebagai pengganti peserta didik diskusi kelompok di kelas atau konsultasi intensif dengan guru.

Modifikasi tugas di sini termasuk melibatkan orang tua untuk mengamati perkembangan peserta didik. Seberapa jauh peserta didik memahami dan peduli terhadap permasalahan di lingkungan sekitar atau berita terkini. Dengan berdiskusi, selain wawasan bertambah, kedekatan dengan orang tua dan keluarga akan meningkat. Terlebih kemampuan performa yang diujikan. Hal ini senada dengan pendapat psikolog anak dan keluarga, Agustina Twinky Indrawati. Menurutnya, selama PJJ sebaiknya anak tidak melulu mengerjakan tugas di kertas, laptop, atau gawai. Guru bisa memberikan tugas berupa kegiatan interaktif selama di rumah bersama keluarga. (Berita Satu: 15 November 2020)

Meminta Peserta Didik Mempersiapkan Tugas Bersama Keluarga

Guru meminta peserta didik agar tes performa dijadikan proyek keluarga. Setelah merancang bersama keluarga, persiapan praktik juga perlu dibicarakan. Misalnya akan rekamana di mana, siapa yang merekam, menggunakan pakaian yang bagaimana, dan lain-lain. Bila dikerjakan bersama orang dewasa, proyek ini akan lebih bagus hasilnya. 

Latihan sebelum pembuatan video juga perlu. Dengan pendampingan orang tua, latihan yang dilakukan tentu akan sungguh-sungguh. Seandainya kesibukan orang tua menjadi kendala, solusi lain pasti ada. Minimal komunikasi dengan orang tua berjalan lancar.

Adapun dalam pembuatan video, meskipun generasi milenial melek IT, bimbingan dari orang tua masih diperlukan. Mislanya dari praktik public speakingnya atau dari sisi estetika penampilan.

Meminta Peserta Didik Performa di Depan Penonton

Praktik berbicara akan lebih bermakna bila peserta didik berbicara di depan orang lain sebagai pengganti teman dan guru di dalam kelas. Bukankah salah satu tujuan tes performa menurut penjelasan di atas adalah untuk melatih keterampilan mental? Dengan demikian, keberadaan penonton menjadi tantangan bagi peserta didik akan tampil maskimal. 

Kehadiran penonton juga bisa memberikan masukan berupa kritik dan saran. Peserta didik sekaligus belajar mendengarkan kritik dan saran. Bila perlu proyek ini dikemas layaknya acara pemilihan bakat di tv-tv, tentu akan lebih menarik.

Meminta Peserta Didik Memublikasikan Video

Perintah agar mengunggah video ke youtube untuk umum menjadi dorongan kuat bagi peseta didik untuk menampilkan yang terbaik. Video yang diunggah adalah yang terbaik dan sepengetahuan orang tua. Selain itu, peserta didik akan mendapatkan respon langsung dari penonton, minimal dari kenalan dan kerabat dekat. Hal ini biasa dengan pengumpulan respon like atau komentar. 

Dengan menjadikan tes performa sebagai proyek bersama, hasilnya akan lemik maksimal. Hal ini karena orang tua akan memberikan bimbingan, masukan, dan arahan. Tentu saja pihak anak juga siap menerima dan maju bekerja sama.

Berdasarkan uraian di atas, memaksimalkan penilaian performa dalam pembelajaran selama PJJ perlu diuapayakan oleh para guru. Guru perlu mengoptimalkan kreativitasnya dalam memodifikasi tugas. Selain itu, guru perlu melibatkan orang tua atau orang dewasa lainnya di rumah dari perencanaan, pembuatan, sampai publikasi video. Dengan demikian, PJJ bukan menjadi kendala untuk mendapatkan pencapaian kompetensi peserta didik seperti yang diharapkan. *


(Sumintarsih, mengajar di SMP Al Irsyad Purwokerto) 

Minggu, 04 April 2021

Kebone Lemu-Lemu




Isuk mau aku mlaku-mlaku karo Mas bojo sakjane yo ora mlaku-mlaku, wong sikilku nangkring ing duwur motor. Basa umume pancen mlaku-mlaku. Mula-mulane kur nganter laundry-an terus baline pingin nggolek enceng gondok ing sawah mburi perumahan. 


Ceritane aku lagi dadi korban YouTube. Korban sing bener. La wong dadi tambah ilmune.  Jare YouTube enceng gondok iso nggo pakan lele. Iki arep masang disik ing kolem lele ben akeh. Nek wis akeh, enceng gondok dipanen terus nggo pakan lele. Lelene bisa swapakan. Intine ben ngirit pelet ngono wae.  


Aku nurut ratan pinggir sawah boncengan motor kok ora nemu-nemu. Padahal mbiyen akeh banget enceng gondok kuwi. Nurut terus pinggir kali, nganti weruh blumbange uwong. “Pak, kulo bade nyuwun enceng gondok ten blumbang niku nggih?” Nembung wong sing cerak blumbang, njupuk, terus bali. 


Ndilalah baline weruh kebo lagi  nggaru sawah. Untung wae nggowo hp. Iseng-iseng jeprat-jepret iso nggo cerita nek aku bar melaku-melaku.


Sing tak gumuni kok kebone lemu-lemu. “Nek ora lemu tenagane ora ono kanggo nggaru sawah,” jare Mas Bojo. La iyo, wong niat nyambut gawe yo kudu tenanan. Kebone kon kerjo yo dipakani nganti lemu. 


Eh, kok aku kelingan kebiasaan wong nulis. Piye bisa nulis nek ora seneng moco. Ora nduwe wawasan, kurang modal. Aku nyindir awakku dewe iki. Gara-gara weruh kebo lemu, mugo-mugo bisa praktik nulis cepet, moco cepet. Koyo dawuhe Romo Dosen, Mr Emcho (Unesa Surabaya).


Purwokerto, 4 April 202