Jumat, 02 Juli 2021

Cubung dan Melati (cerita Rakyat)

Sinopsis:

Budaya bertutur yang dulu pernah diparaktikkan ibunda penulis, sampai detik ini masih melekat dalam ingatan. Cerita rakyat berjudul Cubung Melati ini telah menanamkan karakter baik bagi Penulis. Melalui lomba Cerita Rakyat ini, semoga cerita Cubung Melati bisa sampai ke masyarakat kembali untuk dituturkan kepada anak-anak Indonesia.

Melati, seorang anak yang terlunta-lunta oleh keegoisan ibu dan saudara tuanya, Cubung. Melati menanggung semua pekerjaan rumah tangga. Suatu hari ia mencari barang cuciannya yang hanyut. Barang tersebut ditemukan di rumah Nini Putih dan pulang membawa jeruk bali kecil yang berisi perhiasan emas. Cubung iri dan ikut menghanyutkan barang. Namun, jerukya berisi ular dan kalajengking. Melati memaafkan ibu dan kakaknya. Cubung Melati, sebuah cerita turun-temurun masyarakat Jogjakarta-Jawa Tengah.

Cerita yang mengajarkan kasih sayang dalam keluarga. Teladan karakter pada tokoh Melati sangat patut ditiru oleh anak-anak Indonesia, yaitu: kerja keras, tanggung jawab, tidak serakah, tidak dendam, sopan, dan bertutur kata lembut. Selain itu ada juga pesan cinta lingkungan. Semangat berwirausaha menjadi penutup cerita ini.

Khusunya budaya sopan santun bertegur sapa perlu ditanamkan kepada anak-anak Indonesia. Apalagi zaman modern seperti sekarang ini. Anak-anak Indonesia sudah menjadi “korban” gadget sehingga budaya bertegur sapa dan hormat kepada yang lebih tua mulai menipis.

Salam untuk anak-anak Indonesia.* 

**Naskah ini juara harapan I Lomba Cerita Rakyat Tingkat Nasional Universitas Indrasprasta PGRI (Juli 2020)

_________

Paman-paman

Paman sing ngguyang sapii

Riku wau onten popok beruk keli? 

Beruke cengkir gadhing kir-ukiran 

Popoke lurik abang kemlandingan

 

Suara Melati lembut mendayu menandakan kesopanannya dalam bertutur kata. Sebuah pertanyaan ia ajukan kepada seorang lelaki dewasa yang ia hormati dengan sapaan Paman. Inilah arti selengkapnya tembang atau lagu Jawa itu.

Paman-paman

Paman yang sedang memandikan sapi

Apakah di situ ada popok (kain) dan beruk, wadah (semacam mangkuk), yang hanyut di kali?

Beruknya dari tempurung kelapa gading dengan ukiran Popoknya lurik merah corak petai cina.

 

Melati adalah seorang gadis desa yang lembut perangainya, cantik parasnya, baik budi dan bahasanya. Nada suara yang lembut tidak pernah meninggi. Pandangannya selalu tertunduk tanda hormat. Langkah kakinya terjaga tidak pernah mengentak. Namun, sebaliknya dengan gerak kerjanya. Seluruh pekerjaan rumah tangga menjadi bagiannya. Dari pagi sampai pagi lagi, ia selesaikan tanpa keluh kesah. Ia curahkan segenap tenaganya untuk memberikan pelayanan terbaik meskipun dia bukan pelayan.

Setiap mata memandang akan merasakan keteduhan. Setiap orang yang diajak berbicara akan merasakan betapa Melati menghargainya. Setiap orang yang mengenalnya, tidak ada kata lain kecuali menaruh simpati dan membalasnya dengan kasih sayang. Itulah mengapa Melati tidak pernah menemui kesulitan karena bantuan selalu menghampiri dengan mudah tatkala Melati membutuhkannya.


 

Melati, bukan kesalahan dia lahir dalam kondisi yang kurang menyenangkan. Namun, ia menanggung akibat dari ketidaknyamanan ibu kandungnya yang mendadak menjadi janda setelah melahirkan Melati.

Sebenarnya Melati terlahir dari keluarga yang kaya raya. Bapaknya yang seorang juragan beras, tidak pernah mengalami kekurangan uang. Kehidupan berkecukupan dirasakan oleh ibu dan kakak perempuannya, Cubung namanya. Cubung dan Melati, dua anak perempuan dengan nama-nama bunga.

Suatu malam, hujan turun sangat deras. Petir menyambar bersautan. kilat menyala begitu terang dan menyilaukan. Suasana mencekam dirasakan penghuni rumah besar yang sedang ditinggal pergi kepala keluarganya. Bapak masih melakukan perjalanan mengirim beras ke kota. Segerobak penuh beras yang ditarik satu ekor sapi gemuk. Seperti biasanya, perjalanannya memakan waktu dua hari semalam.

Dini hari, hujan mereda. Menjelang subuh, ketenangan kembali dirasakan warga desa. Satu dua orang sudah mulai menjalankan kewajibannya. Kokok ayam membuka pagi, bersamaan dengan jeritan Ibu yang merasakan hendak melahirkan bayi Melati.

Ibu berjuang keras menahan sakitnya hendak melahirkan. Ia dibantu dukun bayi. Di atas tempat tidur, ibunya menahan sakit tanpa suami di dekatnya. Dia meronta dan menjerit ditemani seorang bibi yang biasa membantu pekerjaan dri rumah.

Melati kecil lahir bersamaan merekahnya mentari pagi. Sebuah harapan dan semangat baru bagi ibu yang kini memiliki dua putri di dalam rumahnya yang besar dan megah. Melati kecil, tampak cantik dan sehat karena melimpahnya harta membuat ibu tidak kekurangan gizi selama mengandung Melati.

Raja siang mulai bergeser sedikit ke barat. Tiba-tiba, seorang lelaki datang dan mengabarkan bahwa gerobak Bapak terguling dan masuk jurang. Nyawa juragan beras itu tidak tertolong bersama kusir dan sapinya. Gerobak tergelincir karena licinnya jalan yang diguyur hujan semalaman.

Melati lahir bersamaan perginya sang Bapak. Kondisi yang membuat perubahan mencolok pada kehidupan sehari-hari mereka. Sampai Cubung dan Melati tumbuh menjadi gadis desa yang cantik dan rupawan. Bedanya, Cubung pernah merasakan kehidupan yang serba kecukupan dengan kasih sayang penuh dari ibu bapaknya. Sedangkan Melati, sejak


 

lahir sudah menanggung akibat terguncangnya hati ibu ditinggal suami. Kekesalan Ibu ditumpahkan kepada Melati yang dianggap sebagai penyebab petaka. Satu persatu bibi- bibinya berhenti kerja. Satu persatu harta perhiasannya berkurang dan menipis. Sepetak demi sepetak sawahnya pun lepas.

Kini, seluruh pekerjaan rumah tangga ditimpakan kepada Melati. Sejak kecil Melati sudah terampil mencuci, memasak, menyapu halaman, dan belanja ke pasar. Sedangkan Ibu dan Cubung tidak pernah ikut mengurusi rumah tangga. Mereka hidup enak tinggal makan dan tidur tanpa ikut merasakan lelahnya menyiapkan makanan. Tanpa ikut merasakan berbasah-basah mencuci pakaian di kali atau sungai.

Di tengah desa, mengalir sebuah sungai dari kaki Gunung Merapi. Sungai dengan air jernih. Air yang menjadi tumpuan harapan para petani dan seluruh penduduk desa. Dari sungai ini mengalirlah air membasahi sawah-sawah. Di sungai ini pula kehidupan pagi menjadi pemandangan yang indah. Banyak wanita mencuci pakaian. Sebagian mereka mencuci peralatan rumah tangga. Beberapa jarak dari mereka, banyak pria memandikan sapi atau kerbaunya. Sementara itu, anak laki-laki bermain air dan berlarian di atas batu besar tampak sangat gembira.

Di sungai inilah Melati turut mencuci pakaian dan peralatan dapur setiap pagi. Mencuci pakaiannya, pakain Cubung, dan pakaian Ibu. Dengan berkain batik dan baju kebaya rumahan khas orang Jawa dulu, tangan dan kaki Melati lincah melangkahkan kaki menuju sungai. Tangan kirinya memeluk keranjang bambu berisi pakaian dan tangan kanannya menjinjing ember berisi peralatan dapur.

“Baru datang, Melati?” tanya seorang ibu yang sudah asyik menggilas kain-kainnya di atas batu besar.

“Iya, Ibu. Ibu sudah lama?” balas Melati dengan lembut. “Sudah, Nak. Ayo, segera cuci pakaianmu!”

“Iya, Bu.”

“Ibumu ke mana, Nduk. Kok, bukan ibumu yang mencuci?” tanya wanita yang lain. “Ibu  di  rumah,  Biyung. Tidak apa-apa, saya  senang melakukannya,”  jawab  Melati

kepada wanita setengah tua. Tetangga belakang rumah yang sudah seperti mbahnya sendiri.

“Pinter, kamu, Nduk,” kata Biyung yang selalu kagum dengan jawaban Melati.


 

Begitu sapaan tiap pagi para wanita di pinggir sungai kepada Melati. Mereka iba sekaligus bangga melihat Melati yang cantik dan rajin.

Suatu pagi yang cerah. Melati bangun dan lebih semangat dari hari-hari biasanya. Dia pergi mencuci, tetapi sungai masih sepi. Airnya lebih banyak dan deras. Sejenak dia menikmati segarnya air sungai. Ia basuh mukanya. Sesekali melihat wajahnya yang ayu di atas air. Sisa-sisa cayaha bulan terpantul di air sungai yang tenang.

Melati tidak pernah menghiraukan tangannya yang kasar. Kedua telapak kakinya pecah-pecah karena kerasnya ia bekerja, berjalan ke sana ke mari tanpa alas kaki.  Wajahnya yang selalu kena debu dan asap dapur tidak mengurangi kecantikannya. Juga keringat yang selalu bercucuran telah menjadi bukti pengabdiannya kepada Ibu dan saudara tuanya.

Tanpa ia sadari, selembar kain (jarit) dan beruk terjatuh dari atas batu. Ketika ia mau melangkah meninggalkan sungai, Melati baru sadar ada yang kurang. Segera ia berlari dan meninggalkan keranjang cuciannya.

Ia berlari di sepanjang tepian sungai. Tak ia hirukan tajam-tajamnya batu, licinnya tanah, ranting-ranting di tanah bahkan daun-daun bambu ia terjang. Pandangannya tertuju ke aliran sungai.

Sampailah ia di dekat seorang nini, wanita tua yang sedang mencuci peralatan dapur.

Ni Nini

Nini sing ngasahi

Riku wau onten popok beruk keli? Beruke cengkir gadhing kir-ukiran Popoke lurik abang kemlandinn

 

Ia katakana kain dengan sebutan popok karena untuk merendahkan arti. Padahal popok itu biasa untuk alas atau pengganti celana bayi. Demikianlah orang Jawa dalam bersantun kata.

Karena tutur bahasanya yang lembut, pertanyaan itu Melati lantunkan layaknya nembang atau menyanyikan lagu. Ia telah menunjukkan kesantunannya dan tidak terburu- buru saat berbicara kepada orang lain. Apalagi berbicara kepada yang lebih tua.


 

Ora-ora, Nduk. Aku ora weruh.

Coba takon karo paman kae, sing lagi ngguyang sapi.

 

 

“Tidak, Nak. Aku tidak melihatnya. Coba kamu tanyakan pada paman itu, di sana

yang sedang memandikan sapi!”

“Inggih, Ni. Matur nuwun.” Melati menjawab iya dan terima kasih.

 

 

Beberapa meter kemudian. Melati mendekati Paman yang sedang memandikan sapinya. Dengan halus, kembali Melati bertanya.

Paman-paman

Paman sing ngguyang sapi

Riku wau onten popok beruk keli Beruke cengkir gadhing kir-ukiran Popoke lurik abang kemlandingan

 

Mendengar tutur lembut Melati, paman menghentikan pekerjaannya. Lelaki yang bertelanjang dada ini iba melihat Melati yang tampak bersusah payah mengejar kainnya yang hanyut. Namun, dari tadi ia hanya menggosok badan sapi, jadi tidak melihat ada kain hanyut.

“Ora, Nduk. Aku ora weruh. Coba takon karo ibu-ibu kae sing lagi ngumbahi!”

“Tidak, Nak. Aku tidak melihat. Coba kamu tanyakan kepada ibu-ibu itu, yang sedang mencuci!” kata Paman mengarahkan.

“Iya, Paman. Terima kasih.”

Meski lelah, Melati tidak peduli. Ia lebih peduli agar kain Cubung dan beruk ibunya bisa dibawa pulang. Ia tahu betul bagaimana saudara dan ibunya sangat menyayangi barang-barang. Tidak pernah ada kata maaf untuk barang yang rusak apalagi hilang. Terlebih, kain lurik merah itu jarit kesayangan Cubung. Kain penutup badan bagian bawah. Kain yang masih baru. Beruk itu milik Ibu peninggalan Bapak. Maka,sejauh apa pun, Melati kejar sampai barang-barang itu kembali ke tangan.

Sampailah Melati di depan para wanita yang sedang mencuci pakaian.


 

Bu Ibu

Ibu sing ngumbahi

Riku wau onten popok beruk keli? Beruke cengkir gadhing kir-ukiran Popoke lurik abang kemlandingan

Para wanita itu pun tertegun dengan kelembutan kata dari mulut Melati. Mereka ingin membantu, tetapi memang tidak melihat ada benda hanyut. Apalagi pagi masih agak gelap.

“Ora, Nduk aku ora weruh. Coba takon karo Nini Putih kae ning pucuk kali!”

“Tidak, Nak. Aku tidak melihat. Coba kamu tanyakan pada Nini Putih, nenek berambut putih di ujung sungai!”

“Iya, Bu. Terima kasih.”

Ujung sungai karena rumah Nini Putih berada di ujung desa. Kanan kiri sungai rimbun oleh pohon bambu, gelap, dan jarang dijamah orang. Apalagi anak-anak, tidak ada yang berani mendekat. Namun, anehnya setiap ada orang yang mencari barang hanyut, selalu di tempat ini akan mendapatkan jawaban.

Ya, Nini Putih biasa orang desa menyebutnya. Nenek tua yang berambut putih selalu senang membantu orang. Rumah Nini Putih di pinggir sungai. Meski hidup sendirian. Nini Putih senggup merawat rumah dan halamannya yang luas. Tampak di depan rumah aneka pohon buah-buahan. Ada pohon pisang, jambu, rambutan, dan jeruk bali. Di belakang rumah ada kandang bebek dan kandang ayam yang tidak begitu besar. Ya, halaman dan pekarangan bersih yang menandakan selalu disapu dan dipelihara.

Yang bagi sebagian besar orang sungkan untuk menandatangi Nini Putih, tetapi tidak bagi Melati. Melati pun melantunkan pertanyaan dengan lembut seperti sebelumnya. Di depan Nini Putih, nenek yang sering berdiri di tepi sungai ini, Melati bertanya.

Nini-Nini

Nini-Nini Putih

Riku wau onten popok beruk keli Beruke cengkir gadhing kir-ukiran Popoke lurik abang kemlandingan


 

Senyum Nini Putih tidak bisa dibohongi. Dari sekian banyak orang yang datang meminta bantuan Nini, baru kali ini Nini seperti melihat ada wajah bercahaya. Nini orang pintar. Ia bisa melihat orang seperti apa yang mendatanginya.

“Ayo, Nduk ayu melu aku!”

“Ayo, anak cantik ikut aku!” ajak Nini sambil meraih tangan Melati.

Tangan Nini Putih keriput, tetapi lembut. Melati rasakan sentuhan hangat itu. Sekian lamanya tidak ada tangan yang menyentuh kulitnya sedemikian hangat dengan kasih. Sejenak ia berusaha membayangkan wajah Bapak. Namun, selalu gagal menemukan seperti apa rupa bapaknya.

Ia diajak masuk rumah. Di sepanjang jalan menuju rumah, ayam, bebek, kucing, bahkan burung-burung bersautan menyambut dan menyapa Melati. Nini pun tidak heran dan paham arti sambutan hewan-hewan piaraannya itu.

“Kamu mencari ini, Nak?” tanya Nini sambil menunjukkan kebaya merah dan beruk cengkir gadhing.

“Benar, Nini. Terima kasih, Nini sudah membantu saya. Saya bisa pulang dengan tenang membawa barang-barang ini.” Melati berulang-ulang mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Nini. Senyum tulusnya tidak putus-putus menghiasi bibir mungilnya.

“Mohon izin pulang, Nini. Terima kasih, semoga Nini sehat selalu.” “Pulanglah, Nak. Gusti Allah menjagamu,” kata Nini.

“Terima kasih, Nini,” Melati pamit dan mencium tangan Nini.

“Oya, bawalah buah-buahan dari Nini. Petik sendiri. Itu jeruk bali ada yang tidak terlalu tinggi. Kamu bisa mengambil langsung tanpa tangga atau galah.”

Melati menuruti perintah Nini. Dia memetik sebuah jeruk yang paling dekat dan kecil. Di dalam pikirannya hanya ingin segera pulang dan melanjutkan pekerjaannya, menjemur dan memasak. Ia khawatir ibunya menunggu kedatangannya yang terlambat.

Nini tersenyum melepas Melati pulang. Dia bersyukur bisa membantu Melati. Nini tidak salah. Nini mengangguk-anggukkan kepalanya dan tersenyum.

Sampai di rumah, Melati sudah disambut Ibu dengan pasang badan berkacak pinggang. Di belakangnya, Cubung ikut berkacak pinggang dengan sorot mata yang tidak


 

kalah tajam. Bagai serigala yang siap menerkam mangsa. Layaknya elang yang tidak mau kehilangan sasaran mangsanya.

Melati pun menerima aneka umpatan dan caci makian dari ibu kandungnya. Tanpa kata dan suara, Melati memilih diam di hadapan Ibu dan saudara tuanya. Jawaban dan sanggahan hanya akan memperpanjang amarah mereka.

“Maafkan, saya mencari kain dan beruk yang hanyut.” Hanya satu kalimat

jawabannya kemudian ia langsung melanjutkan pekerjaan. “Itu apa hijau-hijau di keranjang?” tanya Cubung. “Jeruk pemberian Nini Putih.”

“Sini, buat aku.” Cubung merebut dan langsung membelahnya. Apalagi jeruk itu ada semburat kuning, sudah tua. Tampaknya segar dan manis.

Bukan watak Melati melawan Cubung. Apa yang menjadi bagiannya, ketika diminta Cubung, selalu diberikan. Tak ada sedikit pun marah apalagi dendam.

Tiba-tiba, Cubung berteriak.

“Ibu, ibu… ini apa?” teriak Cubung. “Cepat, Bu, lihat ini!” teriak Cubung lagi.

“Ha, emas? Ini cincin dan kalung. Anting juga ada!” girangnya Ibu. “Buat aku, Bu. Ini punyaku!” teriak Cubung.

“Ini buat Ibu. Sudah lama ibu tidak memakai kalung!” sela Ibu tidak mau kalah.

Mereka berdua berebut perhiasan emas yang muncul dari dalam jeruk.

Dari tempat menjemur pakaian, Melati ikut mendengar. Ia kaget juga, tetapi tidak berani mendekat. Perhiasan di dalam jeruk yang aku bawa? Melati dalam hati sangat heran. Namun, ia hanya ingin pekerjaannya lekas selesai.

“Melati! Melati, sini cepat!” panggil Cubung. Melati pun segera mendekat. Ibu dan Cubung bertanya panjang lebar dari mana jeruk tadi berasal. Melati pun menceritakan apa adanya. Sangat jelas dan gamblang.

Nah, dari sini Ibu dan Cubung mulai mengatur siasat. Ia tidak mau kalah dengan Melati. Dalam pikiran mereka bedua, Cubung bisa mendapatkan perhiasan yang lebih banyak dengan cara mudah.

Esok paginya, Cubung hanya membawa kain dan beruk ke sungai. Dia tidak mencuci, tetapi langsung menghanyutkan kain dan beruknya.


 

Melewati nini-nini yang mencuci perkakas, Cubung hanya diam. Ketika ditanya, Cubung menjawab ketus dan berpura-pura tidak mencari apa-apa. Nini yang melihat hanya geleng-geleng kepala.

Melewati paman yang sedang memandikan sapi, Cubung tidak berucap kata satu pun.

Paman menggelengkan kepala heran.

Kini Cubung melewati ibu-ibu yang sedang mencuci baju. Wajah yang dingin dan angkuh itu pun sebenarnya diam tanpa kata. Karena berkali-kali ditanya, terpaksa ia menjawab.

“Aku mencari kain yang hanyut,” jawab Cubung tanpa senyum. Karena kesombongannya bahkan ia tidak bertanya di mana dan ke mana harus menemukan kain dan beruknya. Cubung merasa sudah tahu harus ke mana.

Ibu-ibu yang sedang mencuci pun hanya mengurut dada dan menggelengkan kepala. Sampailah Cubung di depan Nini Putih.

“Ni, aku mencari kain dan beruk yang hanyut,” kata Cubung tanpa basa basi. Nini heran melihat Cubung dari ujung rambut sampai ujung kaki. Badan dan pakaiannya tampak jelas bukan seperti orang yang sedang mencuci di kali. Ah, Nini sudah paham. Ia langsung mengajak Cubung ke rumah.

Di sepanjang jalan masuk rumah, sambutan hewan-hewan berbeda jauh. Mereka seperti menunjukkan amarahnya kepada Cubung. Nini sudah mengira.

Sementara itu, pandangan mata Cubung sudah tertuju pada pohon juruk bali. Di sana menggantung banyak jeruk, besar-besar. Bahkan, metanya menyelidik letak jeruk yang paling besar.

“Ini yang kamu cari, Nduk?”

“Iya, Ni,” jawab Cubung datar. Raut mukanya tidak menampakkan senang karena barang yang dicarinya ketemu. Namun, memang yang sebenarnya dia cari bukan kain dan beruk melainkan buah jeruk berisi perhiasan.

Mulut Cubung terkunci. Kata terima kasih pun tidak terucap. Ia tidak segera beranjak pulang. Nini mengerti maksudnya.

Nini berjalan ke arah pintu keluar. Pandangannya tertuju pada pohon jeruk bali.


 

“Pulanglah, Nduk. Bawalah buah jaruk. Petik sendiri di pohon!” perintah Nini tanpa senyum dengan masih memandang pohon jeruk.

Mendengar perintah itu, wajah Cubung merona. Ia tampak girang dan segera meninggalkan kursi jati yang dari tadi ia duduki. Bahkan kain dan beruknya ia tinggalkan begitu saja di atas meja.

“Buah jeruk? Iya saya akan memetiknya sendiri. Boleh dua?” “Satu saja,” jawab Nini Putih pelan, tetapi tegas.

Cubung tidak peduli dengan raut muka Nini, Dia pun memetik jeruk yang paling besar. Andai boleh, ia ingin memetik dua atau tiga. Bayangannya sudah beraneka macam. Ia bakal mendapatkan lebih banyak lagi perhiasan emas.

Cubung memetik jeruk besar terus pulang tanda pamit, berterima kasih pun tidak. Ia tidak terbiasa berterima kasih kepada orang. Kepergiannya diantarkan oleh sautan kasar hewan-hewan peliharaan Nini Putih.

Sampailah Cubung di rumah.

“Ibu, Ibu, aku datang.” Tidak terlihat kapan Cubung datang, tiba-tiba sudah di dalam rumah dan langsung menutup pintu. Melati yang dari tadi menunduk sedang menyapu halaman, hanya menoleh sebentar.

Beberapa saat isi rumah hening. Namun, tiba-tiba terdengar dari dalam rumah suara Cubung dan Ibu.

“Tolong, tolong…!” suara Cubung dan Ibu bersautan. “Tolong, tolong…!”

Kali ini, Melati langsung melempar sapunya dan mendekati mereka. Namun, karena pintu dikunci, Melati memutar lewat pintu belakang.

“Duh Gusti Allah…, apa arti semua ini?” tanya Melati lirih. Puluhan ular hampir melilit tangan dan kaki Ibu. Kalajengking, kaki seribu, dan aneka hewan melata menjijikkan mengerubungi Cubung. Kedua ibu anak itu pinsan.

Melati dalam hati meminta pertolongan kepada yang memberikan kehidupan. Saat Melati mendekat, hewan-hewan itu menyingkir. Menepi dan hilang sendiri. Melati tidak peduli ke mana hewan-hewan itu pergi.

Cubung dan Ibu telah sadar. Cubung menjerit karena mengira masih ada ular di sekitarnya.


 

“Semua sudah menghilang,” kata Melati.

“Sudah menghilang, pergi?” tanya Cubung kaget. Dia lari masuk kamar kemudian

kembali lagi.

“Tapi perhiasan ini tidak menghilang, masih ada, Melati!” teriaknya heran. Cubung segera memeluk Melati dan menciuminya. Setelah sekian tahun kakak beradik ini jarang bersentuhan. Cubung merasakan ada aliran darah kehangatan dan kedamaian dalam tubuhnya saat memeluk adiknya. Terasa nyaman dan hangat. Bahkan ada perasaan lega yang luar biasa, bagai kekeringan setahun yang tersiram air hujan.

Melihat kedua anaknya berpelukan, Ibu mendekat. Meski ragu, akhirnya memeluk erat kedua anaknya itu. Keharuan menyelimuti mereka bertiga. Tiba-tiba ibut teringat awal kenangan pahit kabar meninggalnya bapak dari anak-anak itu. Awal terputusnya kasih sayang untuk Melati yang semestinya awal limpahan kasih sayang untuk anak yang baru ia lahirkan. Wanita itu seakan mendapatkan bisikan agar menerima kenyataan takdir meninggalnya sang suami dengan ikhlas dan lapang dada. Selama ini bisikan itu tidak pernah sampai ke dalam relung hatinya.

Cubung segera melepas pelukan mereka. Cubung membagikan kalung, cincing, dan anting. Ternyata semua rata menedapatkan. Namun, ada gelang, satu-satunya dan berukuran besar.

Gelang itu dibawa ke pasar. Kali ini mereka untuk pertama kalinya pergi bertiga. Semua tampak senang dan rukun. Para tetangga yang melihat pun ikut senang. Hasil penjualan gelang untuk membuat kandang ayam dan membeli beberapa ekor ayam untuk dipelihara.

Kini, beban berat di pundak pekerjaan Melati ada yang membantu. Urusan memasak dipegang Ibu. Urusan peliharaan ayam dipegang Cubung, dan urusan bersih-bersih masih dipegang Melati. Indahnya kehidupan berbalut kasih sayang telah kembali lagi.* 


**Naskah ini juara harapan I Lomba Cerita Rakyat Tingkat Nasional Universitas Indrasprasta PGRI (2020)