Sinopsis:
Budaya bertutur yang dulu pernah diparaktikkan ibunda
penulis, sampai detik ini masih melekat dalam ingatan. Cerita rakyat berjudul
Cubung Melati ini telah menanamkan karakter baik bagi Penulis. Melalui lomba
Cerita Rakyat ini, semoga cerita Cubung Melati bisa sampai ke masyarakat
kembali untuk dituturkan kepada anak-anak Indonesia.
Melati, seorang anak yang terlunta-lunta oleh keegoisan ibu
dan saudara tuanya, Cubung. Melati
menanggung semua pekerjaan rumah tangga. Suatu hari ia mencari barang cuciannya
yang hanyut. Barang tersebut ditemukan di rumah
Nini Putih dan pulang membawa jeruk bali kecil yang berisi perhiasan emas.
Cubung iri dan ikut menghanyutkan barang. Namun, jerukya berisi ular dan
kalajengking. Melati memaafkan ibu dan kakaknya. Cubung Melati, sebuah cerita turun-temurun masyarakat
Jogjakarta-Jawa Tengah.
Cerita
yang mengajarkan kasih sayang dalam keluarga. Teladan karakter pada tokoh
Melati sangat patut ditiru oleh anak-anak Indonesia, yaitu: kerja keras,
tanggung jawab, tidak serakah, tidak dendam, sopan, dan bertutur kata lembut.
Selain itu ada juga pesan cinta lingkungan. Semangat berwirausaha menjadi
penutup cerita ini.
Khusunya budaya sopan santun bertegur sapa perlu ditanamkan
kepada anak-anak Indonesia. Apalagi zaman modern seperti sekarang ini.
Anak-anak Indonesia sudah menjadi “korban” gadget sehingga budaya bertegur sapa
dan hormat kepada yang lebih tua mulai menipis.
Salam untuk anak-anak Indonesia.*
**Naskah ini juara harapan I Lomba Cerita Rakyat Tingkat Nasional Universitas Indrasprasta PGRI (Juli 2020)
_________
Paman-paman
Paman sing ngguyang sapii
Riku wau onten popok beruk keli?
Beruke cengkir gadhing kir-ukiran
Popoke lurik abang kemlandingan
Suara Melati lembut mendayu menandakan kesopanannya dalam
bertutur kata. Sebuah pertanyaan ia ajukan kepada seorang lelaki dewasa yang ia
hormati dengan sapaan Paman. Inilah arti selengkapnya tembang atau lagu Jawa
itu.
Paman-paman
Paman yang sedang
memandikan sapi
Apakah di situ ada popok (kain) dan
beruk, wadah (semacam mangkuk), yang hanyut di kali?
Beruknya dari tempurung kelapa
gading dengan ukiran Popoknya lurik merah corak petai cina.
Melati adalah seorang gadis desa yang lembut perangainya,
cantik parasnya, baik budi dan bahasanya. Nada suara yang lembut tidak pernah
meninggi. Pandangannya selalu tertunduk tanda hormat. Langkah kakinya terjaga
tidak pernah mengentak. Namun, sebaliknya dengan gerak kerjanya. Seluruh
pekerjaan rumah tangga menjadi bagiannya. Dari pagi sampai pagi lagi, ia
selesaikan tanpa keluh kesah. Ia curahkan segenap tenaganya untuk memberikan
pelayanan terbaik meskipun dia bukan pelayan.
Setiap mata memandang akan merasakan keteduhan. Setiap
orang yang diajak berbicara akan merasakan betapa Melati menghargainya. Setiap
orang yang mengenalnya, tidak ada kata lain kecuali menaruh simpati dan
membalasnya dengan kasih sayang. Itulah mengapa Melati tidak pernah menemui
kesulitan karena bantuan selalu menghampiri dengan mudah tatkala Melati
membutuhkannya.
Melati, bukan kesalahan dia lahir dalam kondisi yang kurang
menyenangkan. Namun, ia menanggung akibat dari ketidaknyamanan ibu kandungnya
yang mendadak menjadi janda setelah melahirkan
Melati.
Sebenarnya Melati terlahir dari keluarga yang kaya raya.
Bapaknya yang seorang juragan beras, tidak pernah mengalami kekurangan uang.
Kehidupan berkecukupan dirasakan oleh ibu dan kakak perempuannya, Cubung
namanya. Cubung dan Melati, dua anak perempuan dengan nama-nama bunga.
Suatu malam, hujan turun sangat deras. Petir menyambar
bersautan. kilat menyala begitu terang dan menyilaukan. Suasana mencekam
dirasakan penghuni rumah besar yang sedang ditinggal pergi kepala keluarganya.
Bapak masih melakukan perjalanan mengirim beras ke kota. Segerobak penuh beras
yang ditarik satu ekor sapi gemuk. Seperti biasanya, perjalanannya memakan
waktu dua hari semalam.
Dini hari, hujan mereda. Menjelang subuh, ketenangan
kembali dirasakan warga desa. Satu dua orang sudah mulai menjalankan
kewajibannya. Kokok ayam membuka pagi, bersamaan dengan jeritan Ibu yang
merasakan hendak melahirkan bayi Melati.
Ibu berjuang keras menahan sakitnya hendak melahirkan. Ia
dibantu dukun bayi. Di atas tempat tidur, ibunya menahan sakit tanpa suami di
dekatnya. Dia meronta dan menjerit ditemani seorang bibi yang biasa membantu
pekerjaan dri rumah.
Melati kecil lahir bersamaan merekahnya mentari pagi.
Sebuah harapan dan semangat baru bagi ibu yang kini memiliki dua putri di dalam
rumahnya yang besar dan megah. Melati kecil, tampak cantik dan sehat karena melimpahnya
harta membuat ibu tidak kekurangan gizi selama mengandung Melati.
Raja siang mulai bergeser sedikit ke barat. Tiba-tiba,
seorang lelaki datang dan mengabarkan bahwa gerobak Bapak terguling dan masuk
jurang. Nyawa juragan beras itu tidak tertolong bersama kusir dan sapinya.
Gerobak tergelincir karena licinnya jalan yang diguyur hujan semalaman.
Melati lahir bersamaan perginya sang Bapak. Kondisi yang
membuat perubahan mencolok pada kehidupan sehari-hari mereka. Sampai Cubung dan
Melati tumbuh menjadi gadis desa yang cantik dan rupawan. Bedanya, Cubung
pernah merasakan kehidupan yang serba kecukupan dengan kasih sayang penuh dari
ibu bapaknya. Sedangkan Melati, sejak
lahir
sudah menanggung akibat terguncangnya hati ibu ditinggal suami. Kekesalan Ibu
ditumpahkan kepada Melati yang dianggap sebagai penyebab petaka. Satu persatu
bibi- bibinya berhenti kerja. Satu persatu harta perhiasannya berkurang dan
menipis. Sepetak demi sepetak sawahnya pun lepas.
Kini, seluruh pekerjaan rumah tangga ditimpakan kepada
Melati. Sejak kecil Melati sudah terampil mencuci, memasak, menyapu halaman,
dan belanja ke pasar. Sedangkan Ibu dan Cubung tidak pernah ikut mengurusi
rumah tangga. Mereka hidup enak tinggal makan dan tidur tanpa ikut merasakan
lelahnya menyiapkan makanan. Tanpa ikut merasakan berbasah-basah mencuci
pakaian di kali atau sungai.
Di tengah desa, mengalir sebuah sungai dari kaki Gunung
Merapi. Sungai dengan air jernih. Air yang menjadi tumpuan harapan para petani
dan seluruh penduduk desa. Dari sungai ini mengalirlah air membasahi
sawah-sawah. Di sungai ini pula kehidupan pagi menjadi pemandangan yang indah.
Banyak wanita mencuci pakaian. Sebagian mereka mencuci peralatan rumah tangga.
Beberapa jarak dari mereka, banyak pria memandikan sapi atau kerbaunya.
Sementara itu, anak laki-laki bermain air dan berlarian di atas batu besar tampak
sangat gembira.
Di sungai inilah Melati turut mencuci pakaian dan peralatan
dapur setiap pagi. Mencuci pakaiannya, pakain Cubung, dan pakaian Ibu. Dengan
berkain batik dan baju kebaya rumahan khas orang Jawa dulu, tangan dan kaki
Melati lincah melangkahkan kaki menuju sungai. Tangan kirinya memeluk keranjang
bambu berisi pakaian dan tangan kanannya menjinjing ember berisi peralatan
dapur.
“Baru datang, Melati?” tanya seorang ibu yang sudah asyik
menggilas kain-kainnya di atas batu besar.
“Iya, Ibu. Ibu sudah lama?” balas Melati dengan
lembut. “Sudah, Nak. Ayo, segera cuci pakaianmu!”
“Iya, Bu.”
“Ibumu ke mana, Nduk. Kok, bukan ibumu yang mencuci?” tanya wanita yang lain.
“Ibu di
rumah, Biyung. Tidak apa-apa, saya
senang melakukannya,” jawab Melati
kepada wanita setengah tua.
Tetangga belakang rumah yang sudah seperti mbahnya sendiri.
“Pinter, kamu, Nduk,” kata Biyung yang selalu kagum dengan jawaban
Melati.
Begitu sapaan tiap pagi para wanita di pinggir sungai
kepada Melati. Mereka iba sekaligus bangga melihat Melati yang cantik dan
rajin.
Suatu pagi yang cerah. Melati bangun dan lebih semangat
dari hari-hari biasanya. Dia pergi mencuci, tetapi sungai masih sepi. Airnya
lebih banyak dan deras. Sejenak dia menikmati segarnya air sungai. Ia basuh
mukanya. Sesekali melihat wajahnya yang ayu di atas air. Sisa-sisa cayaha bulan
terpantul di air sungai yang tenang.
Melati tidak pernah menghiraukan tangannya yang kasar.
Kedua telapak kakinya pecah-pecah karena kerasnya ia bekerja, berjalan ke sana
ke mari tanpa alas kaki. Wajahnya yang
selalu kena debu dan asap dapur tidak mengurangi kecantikannya. Juga keringat
yang selalu bercucuran telah menjadi bukti pengabdiannya kepada Ibu dan saudara
tuanya.
Tanpa ia sadari, selembar kain (jarit) dan beruk terjatuh
dari atas batu. Ketika ia mau melangkah meninggalkan sungai, Melati baru sadar
ada yang kurang. Segera ia berlari dan meninggalkan keranjang cuciannya.
Ia berlari di sepanjang tepian sungai. Tak ia hirukan
tajam-tajamnya batu, licinnya tanah, ranting-ranting di tanah bahkan daun-daun
bambu ia terjang. Pandangannya tertuju ke aliran sungai.
Sampailah ia di
dekat seorang nini, wanita tua yang sedang mencuci peralatan dapur.
Ni Nini
Nini sing ngasahi
Riku wau onten popok beruk
keli? Beruke cengkir gadhing kir-ukiran Popoke lurik abang kemlandinn
Ia katakana kain dengan sebutan popok karena untuk
merendahkan arti. Padahal popok itu biasa untuk alas atau pengganti celana
bayi. Demikianlah orang Jawa dalam bersantun kata.
Karena tutur bahasanya yang lembut, pertanyaan itu Melati
lantunkan layaknya nembang atau
menyanyikan lagu. Ia telah menunjukkan kesantunannya dan tidak terburu- buru
saat berbicara kepada orang lain. Apalagi berbicara kepada yang lebih tua.
Ora-ora, Nduk. Aku
ora weruh.
Coba takon karo
paman kae, sing lagi ngguyang sapi.
“Tidak, Nak. Aku tidak melihatnya. Coba kamu tanyakan pada paman itu,
di sana
yang sedang memandikan sapi!”
“Inggih, Ni. Matur
nuwun.” Melati menjawab iya dan terima kasih.
Beberapa meter kemudian.
Melati mendekati Paman yang sedang memandikan sapinya. Dengan halus, kembali
Melati bertanya.
Paman-paman
Paman sing ngguyang
sapi
Riku wau onten popok beruk keli
Beruke cengkir gadhing kir-ukiran Popoke lurik abang kemlandingan
Mendengar tutur lembut Melati, paman menghentikan
pekerjaannya. Lelaki yang bertelanjang dada ini iba melihat Melati yang tampak
bersusah payah mengejar kainnya yang hanyut. Namun, dari tadi ia hanya
menggosok badan sapi, jadi tidak melihat ada kain hanyut.
“Ora, Nduk. Aku ora weruh. Coba takon karo ibu-ibu
kae sing lagi ngumbahi!”
“Tidak, Nak. Aku tidak melihat. Coba kamu tanyakan kepada
ibu-ibu itu, yang sedang mencuci!” kata Paman
mengarahkan.
“Iya, Paman. Terima kasih.”
Meski lelah, Melati tidak peduli. Ia lebih peduli agar kain
Cubung dan beruk ibunya bisa dibawa pulang. Ia tahu betul bagaimana saudara dan
ibunya sangat menyayangi barang-barang. Tidak pernah ada kata maaf untuk barang
yang rusak apalagi hilang. Terlebih, kain lurik merah itu jarit kesayangan
Cubung. Kain penutup badan bagian bawah. Kain yang masih baru. Beruk itu milik
Ibu peninggalan Bapak. Maka,sejauh apa pun, Melati kejar sampai barang-barang
itu kembali ke tangan.
Sampailah Melati di depan para wanita yang sedang
mencuci pakaian.
Bu Ibu
Ibu sing ngumbahi
Riku wau onten popok beruk
keli? Beruke cengkir gadhing kir-ukiran Popoke lurik abang kemlandingan
Para wanita itu pun tertegun dengan kelembutan kata dari
mulut Melati. Mereka ingin membantu, tetapi memang tidak melihat ada benda
hanyut. Apalagi pagi masih agak gelap.
“Ora, Nduk aku ora weruh. Coba takon karo Nini Putih
kae ning pucuk kali!”
“Tidak, Nak. Aku tidak melihat. Coba kamu tanyakan pada
Nini Putih, nenek berambut putih di ujung sungai!”
“Iya, Bu. Terima kasih.”
Ujung sungai karena rumah Nini Putih berada di ujung desa.
Kanan kiri sungai rimbun oleh pohon bambu, gelap, dan jarang dijamah orang.
Apalagi anak-anak, tidak ada yang berani mendekat. Namun, anehnya setiap ada
orang yang mencari barang hanyut, selalu di tempat ini akan mendapatkan jawaban.
Ya, Nini Putih biasa orang desa menyebutnya. Nenek tua yang
berambut putih selalu senang membantu orang. Rumah Nini Putih di pinggir
sungai. Meski hidup sendirian. Nini Putih senggup merawat rumah dan halamannya
yang luas. Tampak di depan rumah aneka pohon buah-buahan. Ada pohon pisang,
jambu, rambutan, dan jeruk bali. Di belakang rumah ada kandang bebek dan
kandang ayam yang tidak begitu besar. Ya, halaman dan pekarangan bersih yang
menandakan selalu disapu dan dipelihara.
Yang bagi sebagian besar orang sungkan untuk menandatangi
Nini Putih, tetapi tidak bagi Melati. Melati pun melantunkan pertanyaan dengan
lembut seperti sebelumnya. Di depan Nini Putih, nenek yang sering berdiri di
tepi sungai ini, Melati bertanya.
Nini-Nini
Nini-Nini
Putih
Riku wau onten popok beruk keli
Beruke cengkir gadhing kir-ukiran Popoke lurik abang kemlandingan
Senyum Nini Putih tidak bisa dibohongi. Dari sekian banyak
orang yang datang meminta bantuan Nini, baru kali ini Nini seperti melihat ada
wajah bercahaya. Nini orang pintar. Ia bisa melihat orang seperti apa yang
mendatanginya.
“Ayo, Nduk ayu melu aku!”
“Ayo, anak cantik
ikut aku!” ajak Nini sambil meraih tangan Melati.
Tangan Nini Putih keriput, tetapi lembut. Melati rasakan
sentuhan hangat itu. Sekian lamanya tidak ada tangan yang menyentuh kulitnya
sedemikian hangat dengan kasih. Sejenak ia berusaha membayangkan wajah Bapak.
Namun, selalu gagal menemukan seperti apa rupa bapaknya.
Ia diajak masuk rumah. Di sepanjang jalan menuju rumah,
ayam, bebek, kucing, bahkan burung-burung bersautan menyambut dan menyapa
Melati. Nini pun tidak heran dan paham arti sambutan hewan-hewan piaraannya itu.
“Kamu mencari ini, Nak?” tanya Nini sambil menunjukkan
kebaya merah dan beruk cengkir gadhing.
“Benar, Nini. Terima kasih, Nini sudah membantu saya. Saya
bisa pulang dengan tenang membawa barang-barang ini.” Melati berulang-ulang
mengucapkan syukur dan terima kasih kepada Nini. Senyum tulusnya tidak
putus-putus menghiasi bibir mungilnya.
“Mohon
izin pulang, Nini. Terima kasih, semoga Nini sehat selalu.” “Pulanglah, Nak.
Gusti Allah menjagamu,” kata Nini.
“Terima kasih,
Nini,” Melati pamit dan mencium tangan Nini.
“Oya, bawalah buah-buahan dari Nini. Petik sendiri. Itu
jeruk bali ada yang tidak terlalu tinggi. Kamu bisa mengambil langsung tanpa
tangga atau galah.”
Melati menuruti perintah Nini. Dia memetik sebuah jeruk
yang paling dekat dan kecil. Di dalam pikirannya hanya ingin segera pulang dan
melanjutkan pekerjaannya, menjemur dan memasak. Ia khawatir ibunya menunggu
kedatangannya yang terlambat.
Nini tersenyum melepas Melati pulang. Dia bersyukur bisa
membantu Melati. Nini tidak salah. Nini mengangguk-anggukkan kepalanya dan
tersenyum.
Sampai di rumah, Melati sudah disambut Ibu dengan pasang
badan berkacak pinggang. Di belakangnya, Cubung ikut berkacak pinggang dengan
sorot mata yang tidak
kalah
tajam. Bagai serigala yang siap menerkam mangsa. Layaknya elang yang tidak mau
kehilangan sasaran mangsanya.
Melati pun menerima aneka umpatan dan caci makian dari ibu
kandungnya. Tanpa kata dan suara, Melati memilih diam di hadapan Ibu dan
saudara tuanya. Jawaban dan sanggahan hanya akan memperpanjang amarah mereka.
“Maafkan, saya
mencari kain dan beruk yang hanyut.” Hanya satu kalimat
jawabannya kemudian ia
langsung melanjutkan pekerjaan. “Itu apa hijau-hijau di keranjang?” tanya
Cubung. “Jeruk pemberian Nini Putih.”
“Sini, buat aku.” Cubung
merebut dan langsung membelahnya. Apalagi jeruk itu ada semburat kuning, sudah
tua. Tampaknya segar dan manis.
Bukan watak Melati melawan
Cubung. Apa yang menjadi bagiannya, ketika diminta Cubung, selalu diberikan.
Tak ada sedikit pun marah apalagi dendam.
Tiba-tiba, Cubung berteriak.
“Ibu, ibu… ini apa?” teriak Cubung. “Cepat, Bu, lihat ini!” teriak
Cubung lagi.
“Ha, emas? Ini cincin dan kalung. Anting juga
ada!” girangnya Ibu. “Buat aku, Bu. Ini punyaku!” teriak Cubung.
“Ini buat Ibu. Sudah lama ibu tidak memakai kalung!” sela Ibu tidak mau
kalah.
Mereka berdua berebut perhiasan emas yang muncul dari dalam jeruk.
Dari tempat menjemur pakaian, Melati ikut mendengar. Ia
kaget juga, tetapi tidak berani mendekat. Perhiasan
di dalam jeruk yang aku bawa? Melati dalam hati sangat heran. Namun, ia
hanya ingin pekerjaannya lekas selesai.
“Melati! Melati, sini cepat!” panggil Cubung. Melati pun
segera mendekat. Ibu dan Cubung bertanya panjang lebar dari mana jeruk tadi
berasal. Melati pun menceritakan apa adanya. Sangat jelas dan gamblang.
Nah, dari sini Ibu dan Cubung mulai mengatur siasat. Ia
tidak mau kalah dengan Melati. Dalam pikiran mereka bedua, Cubung bisa
mendapatkan perhiasan yang lebih banyak dengan cara mudah.
Esok paginya, Cubung hanya membawa kain dan beruk ke
sungai. Dia tidak mencuci, tetapi langsung menghanyutkan kain dan beruknya.
Melewati nini-nini yang mencuci perkakas, Cubung hanya
diam. Ketika ditanya, Cubung menjawab ketus dan berpura-pura tidak mencari
apa-apa. Nini yang melihat hanya geleng-geleng kepala.
Melewati paman yang
sedang memandikan sapi, Cubung tidak berucap kata satu pun.
Paman menggelengkan
kepala heran.
Kini Cubung melewati ibu-ibu yang sedang mencuci baju.
Wajah yang dingin dan angkuh itu pun sebenarnya diam tanpa kata. Karena
berkali-kali ditanya, terpaksa ia menjawab.
“Aku mencari kain yang hanyut,” jawab Cubung tanpa senyum. Karena
kesombongannya bahkan ia tidak bertanya di mana dan ke mana harus menemukan
kain dan beruknya. Cubung merasa sudah tahu harus ke mana.
Ibu-ibu
yang sedang mencuci pun hanya mengurut dada dan menggelengkan kepala. Sampailah
Cubung di depan Nini Putih.
“Ni, aku mencari kain dan beruk yang hanyut,” kata Cubung
tanpa basa basi. Nini heran melihat Cubung dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Badan dan pakaiannya tampak jelas bukan seperti orang yang sedang mencuci di
kali. Ah, Nini sudah paham. Ia langsung mengajak Cubung ke rumah.
Di sepanjang jalan masuk rumah, sambutan hewan-hewan
berbeda jauh. Mereka seperti menunjukkan amarahnya kepada Cubung. Nini sudah
mengira.
Sementara itu, pandangan mata Cubung sudah tertuju pada
pohon juruk bali. Di sana menggantung banyak jeruk, besar-besar. Bahkan,
metanya menyelidik letak jeruk yang paling besar.
“Ini yang kamu cari, Nduk?”
“Iya, Ni,” jawab Cubung datar. Raut mukanya tidak
menampakkan senang karena barang yang dicarinya ketemu. Namun, memang yang
sebenarnya dia cari bukan kain dan beruk melainkan buah jeruk berisi perhiasan.
Mulut Cubung terkunci. Kata terima kasih pun tidak terucap.
Ia tidak segera beranjak pulang. Nini mengerti maksudnya.
Nini berjalan ke arah pintu keluar. Pandangannya tertuju
pada pohon jeruk bali.
“Pulanglah, Nduk.
Bawalah buah jaruk. Petik sendiri di pohon!” perintah Nini tanpa senyum dengan
masih memandang pohon jeruk.
Mendengar perintah itu, wajah Cubung merona. Ia tampak
girang dan segera meninggalkan kursi jati yang dari tadi ia duduki. Bahkan kain
dan beruknya ia tinggalkan begitu saja di atas meja.
“Buah
jeruk? Iya saya akan memetiknya sendiri. Boleh dua?” “Satu saja,” jawab Nini
Putih pelan, tetapi tegas.
Cubung tidak peduli dengan raut muka Nini, Dia pun memetik
jeruk yang paling besar. Andai boleh, ia ingin memetik dua atau tiga.
Bayangannya sudah beraneka macam. Ia bakal mendapatkan lebih banyak lagi
perhiasan emas.
Cubung memetik jeruk besar terus pulang tanda pamit,
berterima kasih pun tidak. Ia tidak terbiasa berterima kasih kepada orang.
Kepergiannya diantarkan oleh sautan kasar hewan-hewan peliharaan Nini Putih.
Sampailah Cubung di
rumah.
“Ibu, Ibu, aku datang.” Tidak terlihat kapan Cubung datang,
tiba-tiba sudah di dalam rumah dan langsung menutup pintu. Melati yang dari
tadi menunduk sedang menyapu halaman, hanya menoleh sebentar.
Beberapa saat isi rumah hening. Namun, tiba-tiba terdengar
dari dalam rumah suara Cubung dan Ibu.
“Tolong,
tolong…!” suara Cubung dan Ibu bersautan. “Tolong, tolong…!”
Kali ini, Melati langsung melempar sapunya dan mendekati
mereka. Namun, karena pintu dikunci, Melati memutar lewat pintu belakang.
“Duh Gusti Allah…, apa arti semua ini?” tanya Melati lirih.
Puluhan ular hampir melilit tangan dan kaki Ibu. Kalajengking, kaki seribu, dan
aneka hewan melata menjijikkan mengerubungi Cubung. Kedua ibu anak itu pinsan.
Melati dalam hati meminta pertolongan kepada yang
memberikan kehidupan. Saat Melati mendekat, hewan-hewan itu menyingkir. Menepi
dan hilang sendiri. Melati tidak peduli ke mana hewan-hewan itu pergi.
Cubung dan Ibu telah sadar. Cubung menjerit karena mengira
masih ada ular di sekitarnya.
“Semua sudah
menghilang,” kata Melati.
“Sudah menghilang,
pergi?” tanya Cubung kaget. Dia lari masuk kamar kemudian
kembali lagi.
“Tapi perhiasan ini tidak menghilang, masih ada, Melati!”
teriaknya heran. Cubung segera memeluk Melati dan menciuminya. Setelah sekian
tahun kakak beradik ini jarang bersentuhan. Cubung merasakan ada aliran darah
kehangatan dan kedamaian dalam tubuhnya saat memeluk adiknya. Terasa nyaman dan
hangat. Bahkan ada perasaan lega yang luar biasa, bagai kekeringan setahun yang
tersiram air hujan.
Melihat kedua anaknya berpelukan, Ibu mendekat. Meski ragu,
akhirnya memeluk erat kedua anaknya itu. Keharuan menyelimuti mereka bertiga.
Tiba-tiba ibut teringat awal kenangan pahit kabar meninggalnya bapak dari
anak-anak itu. Awal terputusnya kasih sayang untuk Melati yang semestinya awal
limpahan kasih sayang untuk anak yang baru ia lahirkan. Wanita itu seakan
mendapatkan bisikan agar menerima kenyataan takdir meninggalnya sang suami
dengan ikhlas dan lapang dada. Selama ini bisikan itu tidak pernah sampai ke
dalam relung hatinya.
Cubung segera melepas pelukan mereka. Cubung membagikan
kalung, cincing, dan anting. Ternyata semua rata menedapatkan. Namun, ada
gelang, satu-satunya dan berukuran besar.
Gelang itu dibawa ke pasar. Kali ini mereka untuk pertama
kalinya pergi bertiga. Semua tampak senang dan rukun. Para tetangga yang
melihat pun ikut senang. Hasil penjualan gelang untuk membuat kandang ayam dan
membeli beberapa ekor ayam untuk dipelihara.
Kini, beban berat di pundak pekerjaan Melati ada yang membantu. Urusan memasak dipegang Ibu. Urusan peliharaan ayam dipegang Cubung, dan urusan bersih-bersih masih dipegang Melati. Indahnya kehidupan berbalut kasih sayang telah kembali lagi.*
**Naskah ini juara harapan I Lomba Cerita Rakyat Tingkat Nasional Universitas Indrasprasta PGRI (2020)