(Pak Domu, Mak Domu, dan anak-anaknya)
Saya menonton film ini dalam
ketidaksengajaan. Gara-gara saya mampir ke kamar anak gadis saya, ia tengah
asyik nonton film berlatar belakang Batak ini. Saya pun spontan ikut
menikmatinya. Lima menit, sepuluh menit, lo… kok seru. Film berdurasi 114 menit
dan disutradarai Bene Dion
Rajagukguk ini pun kami tonton sampai habis. Biasanya saya tidak terlalu
kepo dengan tontonan yang dipantengin anak saya lewat tabletnya.
Biasanya, tokoh dengan karakter suku Batak
atau suku lainnya hanyalah menjadi bagian dari karakter keseluruhan tokoh dalam
film yang sifatnya umum. Ini, ternyata semuanya, bukan cuma karakter tokoh yang
berasal dari Batak dengan logat kental Bataknya, tetapi latar tempatnya lengkap
dengan Danau Toba yang sangat menawan sebagai latar belakang rumah besar
pasangan Pak Domu dan Mak Domu yang diperankan oleh Artis Arswensy Bening Swara
dan Tika Panggabean ini. Bahkan, budaya dan kehidupan masyarakat Batak menjadi
latar utama film ini. Film yang jarang saya temui.
Seperti halnya film Bene Dion sebelumnya, Cek
Toko Sebelah, atau film-film Raditya Dika sesama komika, selalu asyik
dinikmati. Film dengan alur cerita yang tidak terlalu berat karena bergenre drama
komedi, tetapi tetap membawa pesan.
Film yang dirilis tanggal 2 Juni 2022 ini
menceritakan tentang kedua orangtua yang berasal dari Batak (keluarga Domu). Pak
Domu dan Mak Domu tinggal bersama anak ketiga, perempuan, bernama Sarma. Ketiga
anak lainnya, laki-laki semua, berada di perantauan. Domu, Gabe, dan Sahat.
Mereka pura-pura bertengkar agar anaknya
mudik, pulang dari perantauan. Orangtua tersebut sangat ingin ketiga anaknya
pulang agar bisa menghadiri acara adat. Namun, ketiganya menolak karena hubungan
mereka tidak harmonis dengan ayahnya. Nah, agar keinginan mereka tercapai,
suami istri itu membuat cerita bohongan yang ngeri-ngeri sedap, yaitu ingin
bercerai.
“Apa maksudmu? Kau mau pisah?”
“Kalau iya, kenapa?”
“Ya, sudah. Ceraikan aku!”
Demikian cuplikan pertengkaran setingan
mereka di dalam kamar. Sarma pun kaget mendengarnya.
Keempat anaknya pun mempercayai
perselisihan kedua orangtuanya. Namun, penyelesaian tidak kunjung tiba. Terus
diulur sampai datangnya acara adat. Keluarga mereka bisa hadir lengkap. Tampak
bagaikan keluarga harmonis dan sukses semua keempat anaknya.
Sampai pada suatu, keempat anaknya saling
mencurahkan isi hati mereka. Mengenang ketidakdemokratisnya sang ayah. Ayah
yang kolot dan keras, tidak bisa menerima perbedaan pendapat. Semua menjadi
korban atas pendidikan keras ayah mereka.
Salah satunya Sarma yang masih perawan,
batal menikah karena dipaksa harus dengan orang Batak, tidak boleh bersuamikan
orang Jawa. Tambah lagi, Sarma harus mengubur mimpinya menjadi chef demi mewujudkan
keinginan ayahnya Sarma menjadi PNS di kecamatan dan harus tinggal menemani orangtuanya
di rumah.
Hari berikutnya, rahasia drama
pertengkaran itu pun terbongkar. Semua saling meluapkan emosinya, termasuk Mak
Domu. Ketegangan ini berujung pada ketiga anak laki-lakinya kembali lagi ke
perantauan, yaitu ke Jogjakarta, Bandung, dan Jakarta membawa kekesalan
masing-masing. Tidak ketinggalan, Mak Domu. Awalnya drama keinginan bercerai
berubah menjadi keinginan sungguhan. Mak Domu kembali ke rumah orangtuanya dan mengajak
Sarma. Pak Domu tinggal sendiri di rumah dengan merenungi sikapnya.
Meskipun genre film ini drama komedi,
emosi haru penonton tidak bisa dibendung. Bagian akhir saat Pak Domu
merendahkan egonya dan menjemput istrinya untuk kembali ke rumah. Namun, Mak
Domu menlak dan meminta dijemput Bersama ketiga anak laki-lakinya.
Untuk itu, Pak Domu mendatangi satu per
satu anak-anaknya di perantauan. Ini sangat keren. Pak Domu mendapatkan
pembelajaran dan akhirnya menyadari kekeliruannya. Pak Domu akhirnya memberikan
dukungan kepada Domu yang ingin menikahi gadis Sunda. Ia juga memberikan
dukungan kepada Gabe yang menjadi komedian di Jakarta, bahkanhadir secara live
dalam acara Gabe sebagai bintang tamu.
Terakhir, Pak Domu ngobrol langsung dengan
Pak Bromo, ayah angkat Sahat sejak Sahat KKN di Jogja. Ayah yang lebih dipilih
Sahat karena mau mendengarkan Sahat dibanding Pak Domu. Di sana, ternyata Sahat
banyak membantu warga dalam Bertani dan mengajarkan cara menjual hasil pertanian.
Warga setempat sangat menerima Sahat. Pak Domu sangat bangga mendengarnya.
Film yang memberikan banyak pelajaran hidup
ini berakhir dengan kembalinya keluarga mereka dalam kebersamaan dan
kebahagiaan.
Film yang diperankan para komika ibu kota
ini tidak menonjolkan komedinya, tetapi kental dengan dinamika permasalahan
keluarga yang menguras emosi penonton. Sutradara dan sebagian pemeran dari
Batak menjadikan penjiwaan film ini sangat terasa. Film ini pun berhasil menyajikan gambaran nyata dan apik tentang dinamika
keluarga yang terikat dengan adat istiadat suku Batak. Yang membuat saya
makin tertarik adalah hebatnya Tika Panggabean yang sebenarnya masih lajang,
tetapi sukses memerankan ibu empat anak.
Film ini didukung dengan pemilihan lokasi bibir
Danau Toba sebagai ikon Sumatera Barat dan musik Batak sangat mendukung penggambaran
suku Batak. Penonton bisa mengetahui kehidupan sehari-hari masyarakat Batak,
apalagi memunculkan salah satu acara adat yang kental dengan penggunaan kain adat,
warna dan aturan pemakaiannya masih terjaga untuk dipatuhi.
Film ini bisa menjadi pemancing lahirnya film-film lain yang mengangkat kentalnya adat budaya di Indonesia. Penonton akan lebih mengenal budaya Indonesia dalam sajian film yang menarilk. Film ini layak ditonton semua kalangan, terutama anak muda agar menyadari pentingnya kebersamaan dalam keluarga dan ikut merawat budaya daerahnya masing-masing.*
Sutradara,
penulis skenario dan cerita: Bene Dion Rajagukguk
Produser:
Dipa Andika
Pemeran:
Arswendy Beningawara Nasution, Tika Panggabean, Boris Bokir Manullang, Gita
Bhebhita Butarbutar, Lolok, dan Indra Jegel
Penata
Musik: Viky Sianipar
Sinematografer:
Padri Jusria
Penyunting:
Aline Jusria
Perusahaan
produksi: Imajinari Visionari Film Fund
Purwokerto,
23 Maret 2023
Biodata Penulis Resensi
Sumintarsih
Kelahiran Kulon Progo, DIY, tahun 1971. Mengajar di SMP Al Irsyad Purwokerto sejak tahun 2000 dan tinggal di Perumahan Griya Satria Mandalatama, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Senang belajar menulis dan mengajak orang lain menulis. Alhamdulillah sudah mempunyai 5 buku solo. Penerbit Mediaguru 2018: Perjalanan Menuju Sekolah Unggulan (profil sekolah) dan Ada Bisokop di Sekolah (memoir). Penerbit SIP Publishing 2019: Awas Ada Macan (cerpen anak) dan Kado Istimewa untuk Remaja (motivasi untuk remaja) serta tahun 2022: Anakku Investasi Masa Depanku, Sehimpun Tulisan tentang Parenting. Selain buku solo, ia juga sudah mengumpulkan beberapa buku antologi dari berbagai komunitas dan pelatihan.
IG: sumintarsih_24
Email: sumintarsihpurwokerto@gmail.com
WA: 085540261198