Kamis, 23 Maret 2023

Menikmati Keseruan Film Ngeri-Ngeri Sedap (resensi film)

 

                                           (Pak Domu, Mak Domu, dan anak-anaknya)

Saya menonton film ini dalam ketidaksengajaan. Gara-gara saya mampir ke kamar anak gadis saya, ia tengah asyik nonton film berlatar belakang Batak ini. Saya pun spontan ikut menikmatinya. Lima menit, sepuluh menit, lo… kok seru. Film berdurasi 114 menit dan disutradarai Bene Dion Rajagukguk ini pun kami tonton sampai habis. Biasanya saya tidak terlalu kepo dengan tontonan yang dipantengin anak saya lewat tabletnya.

Biasanya, tokoh dengan karakter suku Batak atau suku lainnya hanyalah menjadi bagian dari karakter keseluruhan tokoh dalam film yang sifatnya umum. Ini, ternyata semuanya, bukan cuma karakter tokoh yang berasal dari Batak dengan logat kental Bataknya, tetapi latar tempatnya lengkap dengan Danau Toba yang sangat menawan sebagai latar belakang rumah besar pasangan Pak Domu dan Mak Domu yang diperankan oleh Artis Arswensy Bening Swara dan Tika Panggabean ini. Bahkan, budaya dan kehidupan masyarakat Batak menjadi latar utama film ini. Film yang jarang saya temui.

Seperti halnya film Bene Dion sebelumnya, Cek Toko Sebelah, atau film-film Raditya Dika sesama komika, selalu asyik dinikmati. Film dengan alur cerita yang tidak terlalu berat karena bergenre drama komedi, tetapi tetap membawa pesan.

Film yang dirilis tanggal 2 Juni 2022 ini menceritakan tentang kedua orangtua yang berasal dari Batak (keluarga Domu). Pak Domu dan Mak Domu tinggal bersama anak ketiga, perempuan, bernama Sarma. Ketiga anak lainnya, laki-laki semua, berada di perantauan. Domu, Gabe, dan Sahat.

Mereka pura-pura bertengkar agar anaknya mudik, pulang dari perantauan. Orangtua tersebut sangat ingin ketiga anaknya pulang agar bisa menghadiri acara adat. Namun, ketiganya menolak karena hubungan mereka tidak harmonis dengan ayahnya. Nah, agar keinginan mereka tercapai, suami istri itu membuat cerita bohongan yang ngeri-ngeri sedap, yaitu ingin bercerai.

“Apa maksudmu? Kau mau pisah?”

“Kalau iya, kenapa?”

“Ya, sudah. Ceraikan aku!”

Demikian cuplikan pertengkaran setingan mereka di dalam kamar. Sarma pun kaget mendengarnya.

Keempat anaknya pun mempercayai perselisihan kedua orangtuanya. Namun, penyelesaian tidak kunjung tiba. Terus diulur sampai datangnya acara adat. Keluarga mereka bisa hadir lengkap. Tampak bagaikan keluarga harmonis dan sukses semua keempat anaknya.

Sampai pada suatu, keempat anaknya saling mencurahkan isi hati mereka. Mengenang ketidakdemokratisnya sang ayah. Ayah yang kolot dan keras, tidak bisa menerima perbedaan pendapat. Semua menjadi korban atas pendidikan keras ayah mereka.

Salah satunya Sarma yang masih perawan, batal menikah karena dipaksa harus dengan orang Batak, tidak boleh bersuamikan orang Jawa. Tambah lagi, Sarma harus mengubur mimpinya menjadi chef demi mewujudkan keinginan ayahnya Sarma menjadi PNS di kecamatan dan harus tinggal menemani orangtuanya di rumah.   

Hari berikutnya, rahasia drama pertengkaran itu pun terbongkar. Semua saling meluapkan emosinya, termasuk Mak Domu. Ketegangan ini berujung pada ketiga anak laki-lakinya kembali lagi ke perantauan, yaitu ke Jogjakarta, Bandung, dan Jakarta membawa kekesalan masing-masing. Tidak ketinggalan, Mak Domu. Awalnya drama keinginan bercerai berubah menjadi keinginan sungguhan. Mak Domu kembali ke rumah orangtuanya dan mengajak Sarma. Pak Domu tinggal sendiri di rumah dengan merenungi sikapnya.

Meskipun genre film ini drama komedi, emosi haru penonton tidak bisa dibendung. Bagian akhir saat Pak Domu merendahkan egonya dan menjemput istrinya untuk kembali ke rumah. Namun, Mak Domu menlak dan meminta dijemput Bersama ketiga anak laki-lakinya.

Untuk itu, Pak Domu mendatangi satu per satu anak-anaknya di perantauan. Ini sangat keren. Pak Domu mendapatkan pembelajaran dan akhirnya menyadari kekeliruannya. Pak Domu akhirnya memberikan dukungan kepada Domu yang ingin menikahi gadis Sunda. Ia juga memberikan dukungan kepada Gabe yang menjadi komedian di Jakarta, bahkanhadir secara live dalam acara Gabe sebagai bintang tamu.

Terakhir, Pak Domu ngobrol langsung dengan Pak Bromo, ayah angkat Sahat sejak Sahat KKN di Jogja. Ayah yang lebih dipilih Sahat karena mau mendengarkan Sahat dibanding Pak Domu. Di sana, ternyata Sahat banyak membantu warga dalam Bertani dan mengajarkan cara menjual hasil pertanian. Warga setempat sangat menerima Sahat. Pak Domu sangat bangga mendengarnya.  

Film yang memberikan banyak pelajaran hidup ini berakhir dengan kembalinya keluarga mereka dalam kebersamaan dan kebahagiaan.

Film yang diperankan para komika ibu kota ini tidak menonjolkan komedinya, tetapi kental dengan dinamika permasalahan keluarga yang menguras emosi penonton. Sutradara dan sebagian pemeran dari Batak menjadikan penjiwaan film ini sangat terasa.  Film ini pun berhasil menyajikan gambaran nyata dan apik tentang dinamika keluarga yang terikat dengan adat istiadat suku Batak. Yang membuat saya makin tertarik adalah hebatnya Tika Panggabean yang sebenarnya masih lajang, tetapi sukses memerankan ibu empat anak.

Film ini didukung dengan pemilihan lokasi bibir Danau Toba sebagai ikon Sumatera Barat dan musik Batak sangat mendukung penggambaran suku Batak. Penonton bisa mengetahui kehidupan sehari-hari masyarakat Batak, apalagi memunculkan salah satu acara adat yang kental dengan penggunaan kain adat, warna dan aturan pemakaiannya masih terjaga untuk dipatuhi.

Film ini bisa menjadi pemancing lahirnya film-film lain yang mengangkat kentalnya adat budaya di Indonesia. Penonton akan lebih mengenal budaya Indonesia dalam sajian film yang menarilk. Film ini layak ditonton semua kalangan, terutama anak muda agar menyadari pentingnya kebersamaan dalam keluarga dan ikut merawat budaya daerahnya masing-masing.* 

Sutradara, penulis skenario dan cerita: Bene Dion Rajagukguk

Produser: Dipa Andika

Pemeran: Arswendy Beningawara Nasution, Tika Panggabean, Boris Bokir Manullang, Gita Bhebhita Butarbutar, Lolok, dan Indra Jegel

Penata Musik: Viky Sianipar

Sinematografer: Padri Jusria

Penyunting: Aline Jusria

Perusahaan produksi: Imajinari Visionari Film Fund

 

Purwokerto, 23 Maret 2023

 

Biodata Penulis Resensi

Sumintarsih

Kelahiran Kulon Progo, DIY, tahun 1971. Mengajar di SMP Al Irsyad Purwokerto sejak  tahun 2000 dan tinggal di Perumahan Griya Satria Mandalatama, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah. Senang belajar menulis dan mengajak orang lain menulis. Alhamdulillah sudah mempunyai 5 buku solo. Penerbit Mediaguru 2018: Perjalanan Menuju Sekolah Unggulan (profil sekolah) dan Ada Bisokop di Sekolah (memoir). Penerbit SIP Publishing 2019: Awas Ada Macan (cerpen anak) dan Kado Istimewa untuk Remaja (motivasi untuk remaja) serta tahun 2022: Anakku Investasi Masa Depanku, Sehimpun Tulisan tentang Parenting. Selain buku solo, ia juga sudah mengumpulkan beberapa buku antologi dari berbagai komunitas dan pelatihan.

IG: sumintarsih_24

Email: sumintarsihpurwokerto@gmail.com

WA: 085540261198