Sabtu, 27 Januari 2024

Om Adit

*Om Adit*
(Sumintarsih)

Menjelang magrib Bu Adit belanja. Ia mengambil beberapa barang kebutuhan sehari-hari. Kebiasaan ini ia jalankan sudah beberapa tahun terakhir, ia berpikir lebih baik belanja di toko tetangga daripada di supermarket.

Tiba-tiba ia mendengar suara Bu Yani tetangga 1 RT. Bu Yani mengambil sesuatu sambil mengatakan  bahwa itu kopi susu dan kacang kesukaan Om Adit,  nanti malam dia mau datang.  Bu Adit balik kanan dan melirik kopi susu dan kacang yang Bu Yani ambil, sama dengan kesukaan suaminya. Tambah kaget kok sama malam-malam suaminya sering keluar rumah kadang pamit ronda kadang ga jelas pamitnya. 

"Rupanya ini ya yang membuat suamiku sering keluar malam-malam?!" kata Bu Adit setengah melebarkan matanya memecah keheningan toko. Bu Yani kaget bersamaan datangnya seorang pemuda gagah masuk toko. "Itu, itu... Om Adit, ponakan saya datang dari luar kota," jawab Bu Yani sambil nyengir bibir naik sebelah plus suara, "Sorry, ye.... Sorry, ye...!" Ucapan Bu Yani diiyakan Om Adit yang datang ke warung mau beli es krim kesukaan anak Bu Yani.

Purwokerto, 12 Januari 2024

Gara-Gara Jembatan Rusak

Pentigraf

*Gara-gara Jembatan Rusak*
Sumintarsih

Menjelang asar, Bian pulang kerja sekalian menjemput anaknya. Seperti biasa mereka dengan motor maticnya menyusuri jalanan sebuah kecamatan. Sembari ngobrol sedikit -sedikit seputar kegiatan Rio di sekolah, anak Bian yang masih kelas 5 SD itu, bapak anak ini menikmati perjalanan mereka. Angin sore merambat lembut mengantarkan mereka kembali berkumpul dengan keluarga kecilnya.

Hujan deras semalaman telah membuat beberapa tempat tergenang air, bahkan kerusakan beberapa persawahan. Termasuk jembatan rusak di dekat pasar 500 meter dari rumah Bian. Inilah yang membuat perjalanan Bian memutar lumayan beberapa menit.

"Anak ibu sudah sampai. Muter, jadi lebih sore ya, Nak? Sampai Bapak wajahnya manyun begitu?" tanya Ibu Rio dengan bercanda. "Bukan jalannya yang muter jadi jauh, Bu. Tapi, Bapak jadi ga bisa lihat senyum Dik Yuli. Penjual dawet pinggir pasar," sergah Rio menirukan bisik-bisik bapaknya di jalanan tadi. Ibunya Rio melotot disambut Bian meloncat dari motor dan secepat kilat menuju kamar mandi.

Purwokerto, 18 Januari 2024

Sembrono

*Sembrono*
(Sumintarsih)

Senin siang, setelah jam istirahat  pertama, Bu Lia menyempatkan diri untuk ke apotek guna membeli obat. Hal ini sebagai bukti perhatiannya kepada kesehatan diri. Sesibuk apa pun guru harus meluangkan waktunya untuk merawat diri, apalagi yang sedang ditimpa penyakit.

Setelah mendapatkan obat, Bu Lia pun bersegera menuju sekolah mengingat ada 2 kelas hari ini, jadwalnya mengajar. Namun, beberapa saat ia kesulitan menyalakan motornya. Bukan motornya, sih. Ia tadi meminjam motor Bu Aan yang katanya motor beat merah. Keringat mulai bersarang di dahinya membasahi tepian kerudung. Ia terus merayu dan berusaha menyalakan motor.

Karena kehilangan kesabaran, tepatnya kehabisan tenaga, Bu Lia menanyakan perihal macetnya motor tersebut kepada Bu Aan. Entah ada apa pakai acara menyebutkan berbagai ciri motor yang dipinjamnya. "Itu bukan motorku, Bu. Berarti motor orang lain. Bagai disambar petir ia menyadari kecerobohannya, ia telah sembrono. Ingatan tajamnya jatuh ke pilihan nama guru lain, sepertinya itu motor Bu Mira, ia ingat betul warna helmnya. Namun, kenapa tadi bisa jalan dan sekarang macet?  

Purwokerto, 22 Januari  2024

Bisikan Lembut

Bu Wanti seperti biasa, pukul 7.30 pagi asyik memilih sayuran di gerobak Mang Udin. Dari memegang bayam, tempe, tahu, bawang, sampai memilih ikan. Menyusul Bu  Asti yang selalu rapi dengan kerudung dan baju panjangnya mendekati gerobak sayur.

Saling sapa sebentar kemudian Bu Asti pun mulai memilih ikan. Seperti tidak mau kalah, Bu Wanti mencomot udang dan berucap bahwa udang lebih berprotein karena lebih mahal. Bu Asti hanya tersenyum memindahkan tangannya yang semula mau mengambil satu-satunya udang basah seperempatan kilo. Dirasa sudah cukup, Bu Asti menyodorkan uang sesuai hitungan Mang Udin kemudian pamit meninggalkan Bu Wanti dan Mang Udin. Balasan Bu Wanti pun seperti biasa, senyum asimetris dengan sedikit goyangan kepala.

Hitungan selesai, Mang Udin memberesi belanjaan Bu Wanti bersamaan mengalir bisikan lembut ke telinga Mang Udin. "Utang kemarin belum dibayar, Bu. Bagaimana nanti saya belanja untuk jualan besok?" Suara Mang Udin meninggi membuat Bu Asti memutar sedikit lehernya hanya karena kaget. Bu Wanti pun melotot kemudian kabur setelah meremas seikat bayam sampai hancur sehancur-hancurnya.

Purwokerto, 27 Januari 2024
#pentigraf

Selasa, 09 Januari 2024

Di Bawah Langit Jakarta

Tidak berkedip kedua mata Tina memandangi Ryan. Lelaki yang siang malam kini selalu bersamanya.  Tangan-tangan Ryan terampil menyiapkan nasi dan lauknya yang baru saja dibeli di warung ujung gang. Sayangnya, santap malam kali ini tidak seindah hari-hari awal mereka hidup bersama. Makan malam sepasang pengantin yang belum genap lima bulan. Namun, mereka tidak duduk berdampingan, apalagi saling menyuapi. Tina di dalam kamar, Ryan di ruang depan. Sesuap demi sesuap, mereka makan di tempat terpisah, hanya bisa saling memandang dari kejauhan.

Satu suapan masuk mulut, Tina mengenang masa lalunya yang pernah indah. Ingin rasanya ia mengusir bayangan itu jauh-jauh. Entah mengapa seperti barisan video, satu per satu antre bermunculan. Dulu ia mengenal laki-laki yang hampir akan ia jadikan tempat bergantung. Waktu itu ia merasa indahnya menjalani hari-hari dengan selalu ada bayangan nama Seto. Hidupnya selalu ada gairah dan harapan masa depan cerah.

Saking sayang dan setianya, Tina rela memberikan yang Seto minta. Hormatnya Tina kepada Ibunda Seto, membuatnya lupa bahwa mereka belum sebagai suami istri dan ibunda Seto belumlah sebagai mertua. Jangankan untuk kebutuhan Ibu Seto berobat, untuk membeli oleh-oleh atau hadiah, Tina dengan mudahnya mengeluarkan rupiah demi rupiah. Semua terasa ringan. Nasihat dari keluarga Tina agar tidak berlebihan, tidak dihiraukannya.

Lumayan lama, Tina baru tersadar. Bukan masalah materi yang keluar tidak ada hitungan. Namun, ia mencium ada yang kurang beres pada pribadi Seto. Tina yang diberikan jalan mudah mendapatkan rezeki, tidak masalah berbagi. Namun, untuk calon pendamping hidup, rupanya tidak cocok disandang Seto. Usaha demi usaha tidak ada wujudnya. Modal yang sering didapatkan dari Tina, entah bagaimana ia mengelolanya. Ia pun memutuskan meninggalkan Seto.  Seto tidak lebih hanya memanfaatkan keberlimpahan isi dompet Tina.

Belum juga nasi tertelan pada suapan kedua, sekelebatan hadir nama Bani dalam ingatan Tina. Lelaki gagah, tampan, dan menjadi rebutan para wanita. Setahun bersama Bani, hampir saja Tina memutuskan untuk ke jenjang yang lebih serius. Rupanya Bani tidak lebih baik dari Seto. Perayu ulung ini, sehari bisa-bisanya mendekati 3 wanita sekaligus. Terbongkarnya kabar ini lantaran ketiga wanita itu adalah kenalan Tina semua. Allah masih sayang dan melindungi Tina.

Suapan ketiga, ia mengenang pertemuan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kedua teman SD mengunjunginya, Isna dan Mia. Obrolan mereka lumayan kaku karena lebih dari 30 tahun  terpisah jarak. Ngobrol sana sini dilengkapi dengan santap siang di kios bakso depan rumah Tina.

Masih bernostalgia mengulang cerita-cerita masa lalu dan sesekali cerita kesibukan sekarang. Ketika yang lain dalam usia hampir punya menantu, Tina belum menemukan jodohnya. Sampailah seorang teman, Isna, menyampaikan sebuah pertanyaan.

“Kapan kami diundang nih, sudah ada calon belum?’”

Tanpa diduga pula, Tina menyampaikan jawabannya.

“Orang itu punya jalan hidup masing-masing. Allah sudah menakdirkan aku sendiri sampai hari ini. Memang aku tidak seberuntung kalian yang sudah berkeluarga.  Sepertinya pertanyaan seperti itu tidak perlu ditanyakan lagi.” Kata-kata Tina panjang kali lebar dengan lancer meluncur dari bibirnya.

Mendadak suasana menghening bening. Tanpa suara dan ucapan mengikutinya. Daging bakso di dalam mulut Isna dan Mia seakan bingung mau maju atau mundur. Setelah beberapa saat, Tina sadar dengan sikapnya. Ia mencoba mencairkan kembali suasana siang itu.

“Ayo, silakan! Ini masih tempe dan tahu gorengnya. Atau mau kerupuk, silakan.”

***

Dia kembali tersenyum sambil terus mengunyah makanannya. Ada rasa sesal telah berkata agak kasar kepada teman-teman lamanya siang itu. Meski mulut ingin menolak, ia paksakan nasinya sampai lambung.  Suapan demi suapan berikutnya seakan mengundang cerita demi cerita masa lalu.

Hadirlah sosok Ryan dalam kehidupannya. Ini juga serba tidak sengaja. Lantaran Mia ingin mengenalkan Tina dengan Daffa teman sekelas Mia dan Tina juga waktu SMP. Daffa ternyata masih sendiri. Mendadak Mia ingat bahwa sepupunya juga ada yang masih sendiri, usia dua tahun di atas Tina.

Gayung bersambut. Semua serbamulus layaknya jalan tol. Tanpa sepengetahuan Mia, Tina dan Ryan sudah saling bertegur sapa. Medsos membuatnya mudah saling berkirim kabar.

Pagi, awal Agustus, 2020. Sebuah pesan masuk ke hp Mia.

“Kenapa secepat ini, Mia?”

“Itu tandanya Allah memberikan kemudahan. Jalani saja!” Mia menjawab sekenanya karena memang sudah mengetahui rencana Tina akan menikah.

“Besok pagi akad nikah.”

“Wa, hebat….selamat ya….!”

Sorenya Mia baru sadar bahwa dipercepatnya acara Tina karena Jakarta akan lockdown. Artinya, akan sulit bergerak dari Jakarta ke Solo atau sebaliknya. Lockdown yang akan diberlakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta entah sampai kapan, tidak ada jaminan persis. Bisa seperti yang direncanakan atau bakal diperpanjang.

Keluarga memutuskan untuk mempercepat pernikahan Tina dan Ryan. Bahkan beberapa kali obrolan hanya lewat chat WA dan video call. Ijab kabul, pernah diusulkan secara virtual jarak jauh, tetapi batal. 

Panik dan kalang kabut, jelas. Baju pengantin yang dipesan Tina bahkan belum jadi. Ya, baju impian semua calon pengantin. Baju impian Tina bertahun-tahun batal dikenakan untuk duduk bersanding layaknya raja dan permaisuri sehari. Kandas sudah. Batal semua. Katering yang sudah proses pesan pun tidak luput dari pembatalan. Ratusan suvenir bertuliskan Tina dan Ryan hanya dibagi-bagikan begitu saja dan masih menumpuk sebagian di pojok kamar.

“Biarlah kandas rencana pernikahanku, asal jangan kandas lagi cintaku,” kata Tina menghibur diri.

Dengan gamis sederhana warna biru muda, pernikahan di KUA telah meresmikan hubungan kedua anak manusia, Tina dan Ryan. Hanya keluarga dekat yang mengantarkan. Hanya berfoto berdiri dan duduk dengan latar hiasan darurat yang disediakan di kantor KUA. Bukan gedung dengan dekorasi lampu dan bunga-bunga indah, megah, kemerlapan, seperti pada umumnya.   

Setelah menikah beberapa hari, Tina mengikuti Ryan ke Jakarta, sebelum Jakarta benar-benar ditutup. Silaturahmi demi silaturahmi di seputar Jakarta tidak bisa dihindari.  Virus covid pun menyapa Tina, entah dari mana didapatkannya. Antara tidak percaya, lemas, galau, campur aduk. Dunia seakan runtuh, gelap, dan panik melebihi kepanikan saat membatalkan pesta pernikahannya.

Tina tidak ingin dirawat di rumah sakit. Ia trauma. Apalagi, saudara sekampung yang tinggal di Jakarta baru saja meninggal menjadi korban covid. Budenya Ryan juga sama. Tina mengisolasi diri dengan perawatan mandiri. Waktu itu belum ada istilah ‘isoman’. Yang penting mengurung diri dan merawat sendiri di rumah, mengisolasi diri tanpa sepengetahuan tetangga.

Tak terasa air mata mengalir di sela-sela Tina memasukkan nasi gerakhirnya ke mulutnya. Deras sederas hadirnya rangkaian masa lalu kisah hidupnya yang tiada akhir. 

“Tidak mengapa kamu menangis, tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kita akan melewati ujian ini dengan selamat. Kamu harus yakin! Seberat dan sebesar apa pun ujian yang kita hadapi, kita punya Allah yang Mahabesar,” kata Ryan setelah menyelesaikan makannya.

“Iya Mas. Terima kasih sudah hadir di dalam hidupku,” jawab Tina dengan tersenyum yang agak berat dari bibirnya.

**

Sepekan kemudian, di depan mata kepalanya sendiri, untuk pertama kali Tina menyaksikan Ryan berbicara sambil air matanya bercucuran.

“Tina, aku merasakan seperti yang kamu rasakan. Aku terkena covid juga.”

“Beneran, Mas?” jantung Tina seperti mau copot. “Kalau memang benar, apakah ini teguran dari Allah? Dulu Mas Ryan pernah tidak percaya adanya covid.”

“Iya, maafkan aku, Sayang. Sekarang, kita harus menyiapkan segala kemungkinan yang bakal terjadi. Dengan terus berikhtiar, kita merawat dan berobat mandiri. Makan dan terus menjaga fisik, jangan sampai berpikir negatif supaya tidak stres. Kalau stres imun akan turun.”

“Aku paham, Mas. Mas juga harus kuat agar bisa merawatku!”

“Kalau ada salah satu dari kita yang dipanggil Allah, ….”

Kalimat itu yang membuat air mata Tina semakin deras. Ia menyimak ucapan suaminya. Dengan berderai air mata dan kalimat yang terbata-bata, masih terdengar ketegasan suaminya. Bagaikan komandan yang menyampaikan strategi perang. Bahkan, ia mengatur siasat bila salah satu gugur.

Percetakan yang dirintis Ryan sedang berkembang pesat menjelang pandemi. Ryan optimis akan pulih kembali. Ia menyebutkan hal-hal seputar operasional kantor dan nama-nama pihak yang penting dihubungi, ia rinci di sebuah kertas. Bahkan catatan keuangan dan orderan yang sudah masuk. Ya, mereka seperti saling berpamitan. Suara tangis mereka bersautan, tetapi setengah ditahan agar tidak terdengar oleh tetangga.  

 Malam ini terasa amat panjang. Kedua mata Tina tidak mau dipejamkan. Tina masih sering berpikir atas semua perjalanan hidupnya. Seperti mimpi, seperti dalam film. Dua kado indah sekaligus dari Allah, seorang suami dan covid di usianya yang sudah memasuki kepala 5. Ia menghela napas dan tengah berusaha bisa istirahat meskipun sekujur tubuhnya merasakan serbatidak enak.

Angin malam mulai menyelimuti rumah-rumah. Langit Jakarta tampak bersih dan mengajak warganya agar di rumah saja bersama keluarga. Tina masih menatap langit-langit rumahnya. Dalam untaian doa di hatinya, ia dengan kesunguhan hati menyerahkan diri kepada Yang Mahatinggi. Adanya keyakinan dan harapan sembuh serta kepasrahan yang membuatnya lebih tenang.

Ryan berdiri di depan pintu hendak menutup kamar tidur. Ia masih ingin berjaga. Tatapan kedua pasang mata suami istri ini mengisyaratkan belaian sayang selamat malam. Berharap mimpi indah mereka bisa mengurangi beban yang mereka rasakan. Hari-hari panjang yang penuh perjuangan ini. *

 

*Cerpen ini dimuat dalam buku antologi berjudul:  Merenda Bianglala




Pantun Penulis RVL


Buah ranum siap dimakan
Pakel buahnya dan sambal petis
Assalamualaikum saya ucapkan
Di RVL rumahnya para penulis

Ada yakut penjualnya geulis
Main tenis kena pukulan 
Siapa takut belajar menulis
Aneka jenis bakal dimunculkan

Ada buaya memainkan tali
Buaya lain mengejar ikan
Enaknya belajar dengan yang ahli
Semua saling menggerakkan

Makan lupis campur kelapa
Ada kupat dan sambal terasi
Belajar menulis dan saling sapa
Bersama merawat semangat literasi 

Purwokerto, 1 Januari 2024

Puisi P.2.0

*PASAR*
(Sumintarsih)

penuh berdesak
aneka penjuru
beradu
hasrat
disambut sigap

harapan berbunga
redup 
telah digariskan
terus melaju
dalam syukur 


*TIMBANGAN*

teman setia
menakar
mengukur
hasrat laknat
sekelebat merapat
dipermainkan
lala

ingat sang pencatat
luruskan hati


*PELANGGAN*

dinanti
dipuji
dirawat
dititipkan harapan

kesetiaan 
selalu diuji
raja dan pelayan

dalam kerendahan
merenda sabar

Purwokerto, 4 Januari 2024
Puisi 2.0

Makan Durian

Awali semester 2 tahun ini seluruh guru karyawan mengikuti sinergy building di Kebun Cikalan. Sebuah cafe taman di desa bawah Baturaden, Banyumas. Kegiatan yang ini diikuti tidak kurang dari 60 orang, termasuk Ria, guru sejarah.

Setelah menempuh kurang lebih 30 menit perjalanan dengan 4 mobil yayasan dan 3 mobil pribadi, peserta kumpul di pendopo mengikuti pembukaan dan pengarahan dari panitia. Berikutnya ada game bersama dan game per pos. Keseruan semakin tampak ketika peserta dibagi menjadi 3 kelompok putra dan 4 kelompok putri. Pemenang game bersama berangkat lebih awal. Berharap segera finis supaya bisa makan durian lebih awal. Kegiatan akan ditutup setelah makan siang dan salat duhur. 

Ria, meskipun kelompok yang finis duluan, ia tidak segera makan durian. Ia sibuk mencari tas atau tali untuk menenteng 1 buah durian bagiannya. Ia makin bingung melihat yang lain makan di tempat. "Bu Ria, ngapain durian dibawa pulang, ayo dimakan di sini. Aku hampir habis, nih 1 _gluntung,"_ kata Bu Sani, guru BK. Ria masih tidak habis pikir, kok tega durian dimakan semua. Mereka tidak ingin membawa pulang untuk keluarga dan apa perutnya kuat? Habis ini  makan siang. Setelah membuka hp, Ria baru paham. "Semua SDM tidak diizinkan membawa durian masuk mobil. Pengalaman unit sekolah lain, bau durian dalam mobil 2 pekan tidak hilang."

Purwokerto, 7 Januari 2024

Anggota Grup Baru Grup WA

alah satu kepuasan saya dalam berliterasi adalah sukses menjadikan seorang petugas kebersihan sekolah menerbitkan buku perdananya.  Bahkan, satu-satunya buku bergenre novel dari 41 buku yang kami luncurkan pada tahun 2019.

Ustadz Abdul _ semua SDM di sekolah saya dipanggil ustaz-ustazah _ sebagai penulis buku sudah pindah tugas dari SMP Al Irsyad  reguler ke SMP SMA boarding Al Irsyad. Komunikasi masih kami jalin dan saya berusaha terus memotivasinya agar lanjut menulis buku.

Awal tahun 2024 ini saya mengajukan kepada kepala sekolah agar grup WA guru penulis di sekolah disinggung saat rapat kerja guru. Maksud saya agar mendapat penguatan dan keberadaan kami lebih diakui sehingga akan lebih PD bergerak. Terutama bila saya akan memberikan tantangan-tantangan menulis. Hal ini mengingat tugas guru yang sudah banyak. Namun, dengan minat yang sama dan saling menyemangati, insyaallah bisa dijalankan.

Akhirnya grup WA sejak tahun 2019 yang lebih sering sepi ini saya hidupkan kembali. Saya menawarkan jadwal menulis minimal 1 kali sebulan. Supaya tidak terjadi penumpukan, tiap orang memilih tanggal dan 1 tanggal maksimal diisi 2 orang untuk mengirim tulisan wajib. Kegiatan ini mirip di grup RVL. Hal spesial tahun ini adalah masuknya salah satu petugas kebersihan bernama Ustaz Ade untuk bergabung di grup WA yang beranggotakan 30 orang ini

Sudah 5 hari berjalan, sampai tadi pagi sudah masuk 4 tulisan wajib,  dan beberapa tulisan suka rela. Yang mengejutkan adalah Ustaz Ade sudah mengirimkan 2 tulisan: "Sekias, Seni Komunikasi  Ringkas" dan cerpen singkat.

Saya sudah memimpikan Ustaz Ade akan melanjutkan Ustaz Abdul untuk menulis buku solo.  Semoga terwujud. Amin.....

Purwokerto, 5 Januari 2024