Minggu, 30 Oktober 2022

Pendatang yang Melenggang

Aku dan Bu Ayu

Kopdar I RVL (Rumah Virus Literasi) sudah berlalu. Hajatan perdana Rumah Virus Literasi yang digawangi Pak Khoiri ini berlangsung di BBGP Yogyakarta atau Balai Besar Guru Penggerak dari 21 sampai 23 Oktober 2022, Jumat sampai Ahad. Masih teringat hangatnya suasana dalam beberapa kegiatan yaitu workshop, peluncuran buku, dan bazar buku. Workshop yang dibuka Prof. Nunuk, Plt. Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud ini membuat Kopdar I RVL sebagai kegiatan yang bernilai tinggi.

Kodarullah aku sekamar dengan Bu Ayu, panggilan akrab dari Wiyda Asmaningaju. Adalah kesempatan yang indah bagi saya bisa berbagi cerita dengan Bu Ayu. Takdir Allah mempertemukanku dengan seorang pendatang dalam dunia literasi. Bayangkan jika aku sekamar dengan yang sudah ahli. Di satu sisi aku akan banyak menimba ilmu dari beliau, tetapi kesempatan aku berbagi tidak banyak.

Bu Ayu, teman sekantor Bu Panca, sesama guru bahasa Inggris. Ya, Bu Panca Lukitasari. Anggota RVL spesialis cerita mistis. Dia sangat produktif menulis, bahkan sudah menerbitkan 3 buku dalam setahun. Aku tidak segesit Bu Panca meskipun keanggotaanku di RVL sudah lama.

Bu Panca pindah tugas di SMP 31 Surabaya tempat Bu Ayu tugas. Bagusnya Bu Panca, dia sudah sukses menebar virus menulis dan tidak tanggung-tanggung. Korban literasinya langsung diajak ikut Kopdar di Jogja.

Bu Ayu sebagai pendatang aku katakan langsung melenggang karena mendapatkan tempat yang indah. Aku saja sejak tahun 2018 mengenal Pak Khoiri, baru pertama kali ini bisa berjumpa darat. Demikian juga dengan Prof. Ngainun, Om Jay, Pak Marjuki, Pak Mukminin, Bu Rita, Bu Telly, dan yang lain. Kalau Bu Kanjeng, sebelumnya aku sudah tiga kali bertemu.


Bu Ayu, Bu Telly, Bu Yanti, dan aku


Selain bertemu langsung, Bu Ayu bisa mendapatkan ilmu yang sangat luar biasa. Apalagi berbagi cerita dalam suasana santai penuh keakraban. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan seperti ini. Contoh, hari Jumat ada malam ramah tamah bersama Pak Khoiri dan semua peserta yang sudah hadir. Saat ngobrol santai menutup Sabtu malam dengan Bu Kanjeng, Bu Yanti dari Ambarawa, dan Bu Dian dari Malang. Banyak pelajaran berharga yang dia dapatkan terutama dalam berliterasi. Demikian juga ngobrol santai dengan Bu Telly menjelang sarapan Ahad pagi.

Bagaimana denganku di kamar? Ini takdirku dan ini panggungku untuk menebar virus literasi meskipun sedikit. Sebelum Bu Ayu banyak bertanya, aku banyak bercerita tentang pengalaman di RVL dan belajar menulis, bahkan aku mengajaknya bergabung di kelas-kelas virtual untuk menambah bekalnya menulis. Meskipun belum mahir menulis, aku sangat bersemangat mengajak orang lain menulis.

Satu persatu aku tunjukkan contoh buku yang aku bawa. Bu Ayu, yang ternyata seumuran denganku, pun langsung menikmati dan membacanya. Semoga rasa syukur Bu Ayu akan dibuktikan dengan tulisan-tulisan yang akan dihasilkan. Dia sudah berniat untuk ikut maju membawa buku karyanya saat peluncuran buku pada Kopdar II. Semoga Allah mudahkan usahanya. Amin….


Purwokerto, 30 Oktober 2022

**

Bagi yang belum memiliki buku solo, Ibu Bapak bisa menengok dua buku saya di bawah ini.

1.       Buku profil sekolah, setiap sekolah perlu ada guru yang menulisnya.

buku Perjalanan Menuju Sekolah Unggulan

2.       Buku memoar, setiap orang memiliki pengalaman menarik yang perlu segera ditulis. Ide dan penulisannya sangat sederhana.

buku Ada Bioskop di Sekolah

Selamat berkarya. Salam Literasi.   


Bagaikan pohon pisang yang buahnya belum masak sudah beranak pinak. 

Tidak perlu menunggu punya karya hebat, tebarkan virus literasi di mana pun. 

Sabtu, 29 Oktober 2022

Saya Sih, Siapa? (Sebuah perenungan dan cerita perjalanan menuju Kopdar I RVL)

 


Saya Sih, Siapa?

(Sebuah perenungan dan cerita perjalanan menuju Kopdar I RVL)

Sumintarsih

 Ya, saya sih, siapa kok bisa berada di antara mereka?

Sabtu, 22 Oktober 2022 pukul 17.00-an di Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Yogyakarta. Melingkari meja resepsionis di depan aula Ki Hajar Dewantara, berlangsunglah obrolan evaluasi mengakhiri workshop dan Kopdar I RVL, kopi darat Rumah Virus Literasi. Hadir di sana Prof. Ngainun Naim, Om Jay, Pak Marjuki, Bunda Kanjeng, Bu Rita, Pak Mukminin, dan beberapa pegiat literasi lainnya. Tentu saja bersama Pak Khoiri, penggagas RVL dan penggerak hajatan kopdar ini.

Bersama penulis-penulis hebat, sebelum peluncuran buku


Kopdar perdana dengan menu acara workshop penulisan, peluncuran 185 buku dari 17 penulis anggota RVL, dan bazar buku ini berhasil menghadirkan Ibu Dirjen. Walaupun secara virtual, Prof. Nunuk, Plt. Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, membuka workshop siang itu. Ini artinya sebuah kesuksesan orang berpengaruh di RVL karena telah berhasil menghadirkan Prof. Nunuk.

Bagaikan mimpi. Saya merasa seperti mimpi bisa duduk bersama sederet artis literasi. Ya, mereka para artis literasi. Mereka sudah malang melintang dan mempunyai panggung literasi dengan berbagai karya yang sudah terakui. Sebutlah mereka adalah dosen, guru senior, penulis puluhan buku, blogger, motivator, Kepala Sekolah, owner penerbitan, dan lain-lain.

Evaluasi kegiatan di depan Aula Ki Hajar Dewantara

Saya, sih siapa? Berkali-kali pertanyaan itu yang muncul dalam hati. Saya bukan siapa-siapa dan tanpa karya berarti, tetapi bisa berada di antara mereka. Sebuah kesempatan yang sangat luar biasa, bahkan bukan sekadar peserta, saya ditarik sebagai panitia. Ini artinya saya intens terlibat dalam obrolan bersama orang-orang penting: Pak Khoiri, Bunda Telly, Bu Kanjeng, Pak Mukminin, Pak Makhrus, Bu Pudji, Bu Rita, Pak Amri, dan Bu Herna. Meskipun melalui zoom meeting, panitia telah menyiapkan pertemuan literasi bersejarah bagi RVL ini. 

Semoga terjepitnya saya di antara mereka akan memotivasi saya dalam berliterasi. Terus merawat semangat dalam menebarkan virus literasi. "Penulis harus naik kelas". Ini salah satu materi yang disampaikan Prof. Ngainun. Bila hal ini adalah harapan yang sangat tinggi bagi saya, setidaknya saya berada di kelas yang terus belajar, tidak membolos, apalagi berhenti belajar. 

Saya jadi teringat perjuangan keberangkatan saya sampai BBGP, pada Jumat 21 Oktober 2022.

Membaca chat di grup workshop dan RVL, hati saya sudah tidak tenang. Membayangkan senangnya saya sudah berada di lokasi bersama Bunda Telly, Bu Kanjeng, Pak Khoiri, dan Pak Mukminin. Mereka datang lebih awal. Namun, apa mau dikata, saya masih mengajar, masih ada berkas-berkas di sekolah yang harus saya cetak, bahkan menyimak calon guru baru mengajar di kelas. Padahal, Kamis malam saya sampai dini hari baru kelar menutup laptop untuk tugas sekolah.

Waktunya ikhlas meninggalkan sekolah. Eh, baru 300 m, saya teringat hp. Untung saya langsung mengecek isi tas dan benar, HP tertinggal di lantai 3. Motor balik arah dan saya setengah ngebut kembali ke sekolah.

Di perempatan Hotel Aston, seperti biasa dari timur bila mendapati lampu merah, saya belok kiri untuk kemudian langsung belok kanan, mencari jalan pintas. Namun, saya menunggu kira-kira dari selatan sudah ganti lampu merah. Ternyata di situ ada kecelakaan, dua motor dengan beberapa bagiannya pecah berserakan dan korban masih tergeletak di aspal. Innalillahi...., Allahu Akbar, apakah tadi cara Allah menghalangi langkahku dengan HP tertinggal? Tidak mustahil aku yang berada di posisi kedua orang itu, kan?

Sampai rumah, suami dan anak sudah tidak jelas wajah dan suaranya. Mereka heran saya baru datang. Koper dan rangsel yang saya siapkan tadi malam sudah di depan pintu. Saya hanya ganti baju dan mereka membereskan barang-barang saya yang sepertinya harus dibawa juga, salah satunya dompet.

Di atas motor, saya teringat cager HP. "Atikah, cager HP ibu dimasukkan?" Anak saya berkata "iya" dengan terus melajukan motornya. Alhamdulillah, kami masuk parkiran stasiun. Dia turun lebih dulu langsung ngeprint tiket. Saya masih melepas helm dan menarik-narik koper.

Masuklah saya melewati peron dan anak saya pamit. Apa yang terjadi? Ternyata kurang dari 5 menit menuju 11.13 kereta Fajar Utama muncul dari barat dengan tujuan Klaten. Ya, saya hampir terlambat naik kereta. Terlalu.

Di dalam kereta, saya masih terpikir betapa saya sangat keterlaluan. Kurang perhitungan, padahal surat izin tertulis Jumat - Sabtu. Saya hanya berpikir karena memang tugas-tugas itu harus saya selesaikan dan insyaallah saya masih bisa berangkat Jumat siang.

 

Namun, semua itu terpupus oleh harapan bakal saya temui para anggota RVL yang selama ini, sejak awal 2020 kami hanya berjumpa lewat tulisan di grup WA. Baru sekali kopdar virtual dengan 19 peserta pada 7 Maret 2021 serta satu kali Seri Berbagi RVL: Rahasia Menulis Pentigraf yang Memukau pada 5 September 2021. Selain anggota RVL, kopdar ini bahkan akan dihadiri saudara-saudara baru aktivis literasi dari berbagai penjuru daerah.

Mengenang chat sebelum Kopdar virtual. 


Kegiatan kedua RVL

Terlebih lagi, saya bakal menemui penulis-penulis hebat. Khususnya Mr. Emcho, panggilan akrab Much. Khoiri, yang telah banyak membimbing anggota RVL dan memberikan endorsment pada buku terbaru saya.*

 

Purwokerto, 29 Oktober 2022

 

 

Tentang Penulis

Sumintarsih, M.Pd. Kelahiran Wates, Kulon Progo, DIY, ini mengajar sejak tahun 2000 di SMP Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Menjadi bagian dalam peluncuran buku anggota RVL dengan buku kelimanya berjudul Anakku Investasi Masa Depanku (Sehimpun tulisan tentang parenting). Buku-buku lainnya adalah 2 judul bersama MediaGuru: Perjalanan Menuju Sekolah Unggulan (2018, profil sekolah) dan Ada Bioskop di Sekolah (2018, memoar). Dua buku lainnya diterbitkan SIP Publishing: Awas Ada Macan (2019, cerita untuk anak) dan Kado Istimewa untuk Remaja (2019, artikel untuk remaja), serta 29 buku antologi. Salam Literasi.

 

 

 

Senin, 24 Oktober 2022

TERLALU I & II (Catatan perjalanan pergi dan pulang dari Kopdar I RVL)



TERLALU (1) 

Membaca info di grup workshop dan RVL, hatiku sudah tidak tenang. Membayangkan aku sudah berada di lokasi bersama Bunda Telly, Bunda Sri, dan yang lain. Namun, apa mau dikata, masih mengajar, masih ada berkas-berkas di sekolah yang harus saya cetak, bahkan menyimak guru baru mengajar. Padahal, malamnya sampai dini hari baru kelar menutup laptop tugas sekolah. 

Waktunya ikhlas meninggalkan sekolah. Eh, baru 500 m, ingat hp. Untung saya cek di tas dan benar. HP tertinggal di lantai 3. Kluwer..., motor balik arah setengah ngebut. 

Di perempatan Hotel Aston, seperti biasa aku belok kiri untuk kemudian langsung belok kanan, cari jalan pintas. Namun, menunggu kira-kira dari selatan sudah ganti lampu merah. Ternyata di situ ada kecelakaan, dua motor dengan beberapa bagiannya pecah berserakan dan korban masih tergeletal. Innalillahi...., Allahu Akbar, apakah tadi cara Allah menghalangi langkahku dengan HP tertinggal? Tidak mustahil aku yang berada di posisi kedua orang itu, kan? 

Sampai rumah, suami dan anak sudah tidak jelas wajah dan suaranya. Mereka heran aku baru datang. Koper dan rangsel yang kusiapkan tadi malam sudah di depan pintu. Aku hanya ganti baju dan mereka memasukkan barang-barang lainnya yang sepertinya harus aku bawa, salah satunya dompet. 

Di atas motor, aku teringat cager HP. "Kah, cager HP ibu dimasukkan?" Anakku berkata "iya" dengan terus melajukan motornya. Alhamdulillah, masuk parkiran stasiun. Dia turun duluan langsung ngeprint tiket. Aku masih melepas helm dan menarik-narik koper. 

Masuklah aku melewati peron dan anakku pamit. Apa yang terjadi? Ternyata 5 menit tidak ada menuju 11.13 kereta Fajar Utama muncul dari barat dengan tujuan Klaten. Ya, aku hampir terlambat naik kereta. Terlalu. 

Jogjakarta.... Aku datang untuk Kopdar I RVL bertemu penulis dan saudara-saudara hebat dari penjuru negeri. Terlebih para master literasi (Much. Khoiri, Prof. Ngainun, Bunda Kanjeng, Om Jay, dll) 

GGBP Jogjakarta, Jumat, 21 Oktober 2022, 18.50 


TERLALU (2) 

Hari terakhir setelah penutupan pelatihan, apalagi dengan peserta dari lintas kota, grup WA akan diwarnai dengan saling kabar perjalanan pulang. Seperti halnya hari ini. Peluncuran Buku dan Workshop Kepenulisan yang diadakan RVL di Jogjakarta, tepatnya di Balai Besar Guru Penggerak (BBGP), menyisakan kenangan dan kekeluargaan yang sangat indah. Serasa enggan berpisah ditambah juga niat berpartisipasi menghangatkan grup dengan memberi dukungan kepada peserta dari jauh. Mereka masih menempuh perjalanan, sedangkan sebagian sudah berkumpul bersama keluarga. 

Aku sendiri, petang ini masih di atas kereta Logawa. Tepat 16.55 kereta masuk stasiun Wates, insyaallah sampai Purwokerto 19.35. Mengapa sampai petang? Tadi pagi singgah dulu di Wates ke rumah Kakak tertua. Alhamdulillah bertemu kakak tertua, keempat, adik, bahkan kakak ketiga yang pas mudik dari Jakarta. Tidak hanya itu, aku niatkan tadi siang ziarah ke kubur kedua orang tuaku. 

Kodarullah, berangkat dan pulang di kereta kok posisi duduk membelakangi arah kereta jalan. Rasanya tidak nyaman, tapi apa boleh buat. Bedanya, kursi berangkat menghadap barat semua, kursi pulang berhadapan hadapan. Tiba-tiba, sedang asyik-asyiknya memegang HP, terdengar dari luar. 

Prak... 

Suara kaca dilempar batu. Sangat keras sehingga kaca retak, tetapi tidak sampai lobang. Dua orang penumpang terpaksa pindah untuk menghindari kemungkinan pecahan kaca berjatuhan. Kalau dipikir, siapa orang yang melemparkan batu dan apa motifnya? Terlalu.... 

Aku duduk di mana? Nah, itu. Seperempat detik lagi batu itu terlempar maka kaca yang kena adalah tepat di samping aku duduk. Aku duduk di deretan nomor 3 pinggir barat, sedangkan kaca pecah di deretan kursi 2 mepet timur. Alhamdulillah, ya Allah. Aku berada dalam lindungan-Mu. 

Kereta Logawa, 23 Oktober 2022,17.58

Minggu, 16 Oktober 2022

Dawet untuk Bu Reni


 

“Apa orang tua biasa bertengkar seperti itu, Bu?” tanya Mamat dengan butiran-butiran air mata yang mulai berjatuhan. “Tapi, saya melihat orang tua teman-teman sepertinya tidak pernah bertengkar, Bu.”

Pertanyaan Mamat selalu terngiang di kepala Reni. Seperti baru tadi pagi ia mendengar kalimat itu. Obrolan di gubuk dawet Reni bersama seorang muridnya. Semua berlalu begitu cepat. Dimulai ketika dia mampir membeli dawet. Ya, cendol dawet minuman tradisional yang hampir di setiap daerah ada.

“Dawetnya manis dan enak, Dik,” kata Reni memuji. Tangannya merogoh uang di dalam tas untuk membayar.

“Terima kasih,” jawab Mamat santun. Mamat, nama sebenarnya Rahmad, seorang bocah penjual dawet di pinggir sawah daerah Cilongok, Banyumas. Jalan yang menghubungkan Jogjakarta, Kebumen, Banyumas, sampai Jakarta.

Di pinggir jalan dengan latar belakang persawahan, beberapa gubuk penjual dawet banyak berdiri di sana. Selain orang yang lewat kehausan, biasanya rombongan dengan kendaraan pribadi akan singgah untuk mencicipi minuman dingin dan segar ini. Biasanya dawet hitam atau dawet Banjarnegara yang berwarna hijau. Dengan menikmati pemandangan sawah-sawah dan pohon-pohon kelapa yang bergerombol, lepaslah dahaga dan kepenatan mereka.

“Berapa?” tanya Reni, seorang perempuan muda cantik dengan kerudung yang dilengkapi bros di dada kiri.

“Lima ribu, Mbak.” Mamat membalas dengan senyum sambil memungut gelas dawet pembeli siang itu. Bagi Mamat, Reni pantas dipanggil Mbak, bukan Bu.

“Terima kasih, ya. Sepertinya besok aku ingin membeli lagi,” tambah Reni dan segera menghampiri motornya. Dia lega sudah menemui kepala sekolah dan melihat lokasi SD tempat dia besok mengajar.

“Terima kasih, Mbak,” balas Mamat.

Sepanjang perjalanan pulang, dia masih begitu menikmati manisnya rasa gula jawa yang tersisa di mulutnya. Segelas dawet khas Banjarnegara sedikit bisa mengganjal rasa laparnya. Apalagi tidak jauh dari sekolah, sewaktu-waktu bisa mampir. Dalam hati Reni bertanya, mengapa penjualnya anak-anak. Mengapa bukan orang tuanya?

Reni, bu guru muda, baru lulus S-1 dua bulan lalu. Tadi pagi pukul 08.00 tadi pagi, ia baru pertama kali dia datang ke daerah Cilongok, langsung transit di rumah salah satu kenalan. Memasuki semester awal ytahun ajaran ini, dia mendapatkan panggilan untuk mengajar di salah satu sekolah dasar. Perjalanannya dari Kebumen dia tempuh dengan sepeda motor seorang diri. Bekal dia sering berorganisasi selama kuliah, menjadikannya mandiri dan mempunyai banyak kenalan. Dia juga supel dalam bergaul.

Tujuan selanjutnya adalah kembali ke rumah Yuli, teman kuliahnya. Meskipun Yuli sudah bekerja di Semarang, Reni akrab dengan orangtua Yuli. Waktu mereka kos bersama di Jogja, orangtua Yuli sering menengok. Reni sudah biasa ngobrol dan sangat akrab. Berhubung Yuli anak tunggal, bisa jadi Reni diminta tinggal di rumah orangtua Yuli, tidak perlu mencari kos-kosan. 

“Betah, Ren?” tanya Yuli tiba-tiba dalam chat di hp Reni.

“Alhamdulillah. Ayah Ibu kamu baik banget. Kata mereka aku tidak usah mencari kos.”

“Syukurlah. Memang pantasnya begitu. Titip orangtuaku, ya Ren,” kata Yuli menutup obrolan malam itu.

Senin pagi, Reni dengan semangat memasuki sebuah halaman sekolah. Tampak anak-anak berlarian di halaman dan lorong sekolah. Sebagian tampak sedang berdatangan dengan berjalan kaki, hanya sebagian kecil yang diantar menggunakan motor atau sepeda.

“Ada Bu Guru baru!” teriak salah satu anak laki-laki yang berjalan di belakang motor Reni. Ia berlari menghamburkan dirinya ke kerumunan teman-temannya. “Itu guru baru!” tambahnya, seorang anak yang tubuhnya lebih besar dari yang lain. Ia menunjukkan tangan ke arah Reni. Reni sedikit mendengar dan hanya melempar senyum. Segera dia memarkirkan sepeda motornya.

“Anak-anak, mulai pagi ini kita mendapatkan guru baru di kelas 5 menggantikan Bu Tuti. Silakan Bu Reni memperkenalkan diri,” ucap Pak Adi, Kepala Sekolah yang rambutnya sudah memutih itu, sebagai pembina upacara.

“Terima kasih, Pak,” kata Reni bersamaan dengan tepuk tangan anak-anak.

Kalimat perkenalan mengalir lancar Reni ucapkan di hadapan peserta upacara yang tidak terlalu banyak. Sekitar 15 - 20 anak kali enam kelas ditambah 7 guru. Dibanding tempat Reni praktik lapangan di SD kota, Reni memandang, siswa di hadapannya adalah jumlah yang sedikit. Tiba-tiba mata Reni tertuju pada sosok anak laki-laki di barisan tengah kelas 5. Badan dan tingginya sedang, kulitnya gelap karena sering beradu dengan panas matahari.

“Bukankah itu penjual dawet kemarin?” bisik Reni sambil turun dari mimbar. Reni melihat anak hitam manis itu tidak sedikit pun menundukkan kepala. Rambutnya hitam cepak, badannya tegap, dan sorot matanya tajam menyimak siapa pun yang berbicara.

 Sebelum masuk kelas, Reni menyempatkan melongok isi kelas dari jendela. Kelas lima, tempat Reni mengajar dan akan menghabiskan hari-harinya. Ia tidak sabar ingin menyapa anak-anak. Tampak anak-anak perempuan ngobrol dan anak laki-laki berlari-larian di sela-sela meja kursi. Sebagian lagi memainkan kertas bentuk pesawat, robot, dan mobil. Ada Mamat duduk di depan meja guru sedang membaca buku.

“Selamat pagi anak-anak,” sapa Reni dengan tersenyum.

“Selamat pagi, Bu Guru,” jawab anak-anak kompak. “Selamat pagi Bu Reni,” jawab Mamat.

“Ya, kalian boleh memanggil Bu Guru atau Bu Reni,” balas Reni. “Siapa nama kamu?”

“Saya Mamat, Bu,” balas Mamat.

“Saya Lina, Bu.”

“Saya Hasan, Bu.” Anak-anak sekelas bersahutan tidak mau kalah menyebutkan nama masing-masing.

Suasana kelas sangat hangat, Reni sukses membuka perkenalan dengan ice breaking aneka tepuk sampai-sampai anak-anak kelas lain penasaran kemudian melongok dari pintu dan jendela. Sepanjang hari Reni membersamai anak-anak kelas lima. Saat istirahat, Reni menyempatkan menyapa Mamat. Ternyata benar, dialah penjual dawet itu.

“Bu Reni, saya pulang dulu,” ucap Mamat dengan mengulurkan tangan minta salaman. Reni pun spontan menyodorkan tangannya. Begitulah Mamat, selepas salam penutup jam terakhir dari gurunya, dia selalu meluncur bak anak panah meninggalkan sekolah.

“Mau ke mana si Mamat?”

“Biasa, Bu. Dia mau menjaga warung dawet ibunya,” jawab Anto, siswa paling besar di kelasnya. Dialah yang tadi pagi pertama mengabarkan ada guru baru.

“Ibunya ke mana?” selidik Reni.

“Kalau Mamat datang, ibunya pulang jadi buruh cuci.

“Cuci apa?” sambung Reni.

“Cuci baju, Bu,” jawab yang lain.

Pulang sekolah, seperti ucapan Reni sebelumnya, dia mampir lagi ingin membeli dawet. Ketika dia datang, ada dua orang sedang menikmati dawet dan ngobrol santai. Reni tidak melihat Mamat, tetapi dia sempat melirik ada buku tulis terbuka di dekat barisan gelas. Rupanya Mamat bekerja sambil belajar.

“Maaf, Pak. Di mana penjualnya?”

“Baru saja keluar, mau mengambil air katanya,” jawab salah satu pembeli.

Khawatir lama, Reni pamit dan mengurungkan niatnya minum dawet. Selain itu, Reni merasa lelah sehingga ingin segera pulang.

Hari berikutnya, di ujung jam istirahat, Reni melihat hampir sekelas berdiri melingkar, entah siapa yang duduk di tengah. Rupanya Mamat menjelaskan ulang pelajaran matematika kepada Anto. Mamat dikerubuti teman-temannya.    

“Bagaimana cara menghitungnya, Mat? Soal per-peran, ajari lagi, Mat!” pinta Anto yang agak tertinggal.

“Disamakan dulu angka penyebutnya, itu angka yang di bawah strip,” jawab Mamat dengan sabar.

“Terus angka yang di atas bagaimana?” tanya Anto lagi.  Teman-teman Anto ikut menyimak meskipun sebenarnya mereka sudah paham hitungan tersebut.

 

Sepekan dua pekan berlalu. Sebulan dua bulan pun terlewati. Sampailah pada ujung semester satu. Baru saja selesai pengisian rapor, Reni lelah sekali. Namun, dia merasa lega. Dia bisa mengantarkan murid-muridnya melewati satu semester dengan sukses. Banyak orang tua yang menitipkan salam dan terima kasih kepada Reni. Dua hari lagi penerimaan rapor. Setelah itu libur panjang, Reni sudah tidak sabar ingin segera bertemu orangtuanya di Kebumen. Dia ingin menikmati suasana di rumah dengan lebih lama.

“Mat, laris dawetnya?” tanya Reni siang itu.

“Alhamdulillah, Bu. Bu Reni mau minum dawet? Khusus hari ini Bu Reni minum dawet tidak usah bayar. Mau ya, Bu?” bujuk Mamat.

“Tumben, Mat. Harusnya Bu Reni yang nraktir kamu besok setelah rapotan,” balas Reni dan Mamat hanya tersenyum. Tangannya dengan cekatan menyiapkan segelas dawet dilengkapi santan dan es batu. Reni tersenyum haru. Dia melihat ada sesuatu yang tidak biasanya pada Mamat.

“Bu, mungkin besok, Mamat tidak jualan dawet lagi, Bu,” kata Mamat dengan menjatuhkan pandangannya ke rerumputan di samping gubuk dawetnya. Hening sesaat, matanya pindah menerawang jauh ke langit biru.

Langit yang dipenuhi awan putih seakan beku, tak ada awan yang bergerak. Bu Reni pun terdiam tidak melanjutkan suapan dawetnya, padahal di mulut sudah kosong dari tadi.

“Mamat besok pagi diajak Pakde ke Jakarta.”

“Untuk apa? Berlibur? Atau pindah sekolah?” Reni memberondong Mamat dengan pertanyaan yang sedari tadi tertahan.

“Diajak jualan dawet di sana. Sambil mencari bapak. Bapak tidak pernah mengabari Mamat di mana alamatnya. Sejak pergi dua tahun lalu, bapak baru dua kali mengirim uang.”

Reni tidak bisa menelan ludah. Dia kaget dan heran. Ujung mata Reni melirik ke arah Mamat. Kedua mata Mamat berkaca-kaca.

“Sebelum Bapak pergi, Ibu dan Bapak sering bertengkar. Kalau Ibu marah, kadang membanting gelas dan teriak-teriak, adik menangis kencang. Mungkin karena kaget atau tidak suka ibu bapaknya bertengkar.”

“Berapa umur adikmu sekarang?”

“Masih lima tahun, Bu. Sepertinya karena Bapak tidak punya uang, Ibu jadi sering marah-marah. Dulu bapak ternak ayam. kemudian bangkrut. Waktu Bapak sukses, aku dan Ibu sering makan enak. Aku juga sering beli mainan di toko,” terang Mamat dengan sesekali ada senyum tipis di bibirnya. Dia sedikit mengenang pengalaman indah masa kecilnya.

“Bu, apa orang tua biasa bertengkar seperti itu, Bu?” tanya Mamat dengan butiran-butiran air mata yang mulai berjatuhan.

“Mat….” Suara Reni berat. Dia masih berpikir untuk mencari kata-kata yang tepat.

“Tapi, saya melihat orang tua teman-teman sepertinya tidak pernah bertengkar, Bu,” imbuh Mamat. “Aku bahkan jarang melihat Ibu tersenyum, Bu.”

“Kamu yang sabar, ya Mat!” bujuk Reni dengan mengusap punggung Mamat. Mamat hanya tertunduk. Sesekali kakinya menjejak-jejak ke tanah. “Mengapa tidak menyelesaikan kelas lima, Mat? Atau biar lulus sekalian. Atau, Mamat akan melanjutkan sekolah di sana?”

“Kata Pakde, Mamat tidak perlu sekolah. Yang penting saya sudah bisa berhitung dan membaca,” jawab Mamat. Tangannya meraih buku bergambar B.J. Habibie, buku yang dia pinjam dari Hasan. “Mamat ingin seperti Pak Habibie, Bu.”

Jawaban Mamat bagaikan pedang, mengiris dan merobek hati Reni. Reni tidak kuasa menahan air matanya. Tangannya sibuk mencari tisu dalam tasnya. Setelah menarik napas, Reni berusaha membuka mulutnya. “Mat, apakah Bu Reni bisa berbicara dengan ibumu?”

“Tidak perlu Bu. Kemarin Bude Mamat dan Bu RT sudah menasihati ibu, tetapi ibu memaksa Mamat untuk tetap berangkat. Baju-baju Mamat sudah dimasukkan tas, Bu.

Reni jadi ingat kata-kata Ibu Mamat sewaktu Reni menjenguk Mamat di rumah. Rumah Mamat tidak jauh, sekitar tiga petak sawah di belakang gubuk dawetnya. Mamat pernah sakit panas dua hari.

“Ibu bilang juga apa, Mat. Tidak usah sekolah, gara-gara sekolah, kamu jualan dawet hanya setengah hari. Sekarang malah sakit. Uang ibu sudah habis.”

Tiba-tiba, kilat menyambar. Langit yang semula biru terang mendadak gelap tanpa mereka sadari. Rupanya langit ikut berduka. Duka langit bulan Desember. Sekali lagi petir dengan kilatan cahaya membelah langit dengan gagahnya. Sekejap disambung gelegar guntur bersahutan memenuhi langit. Giliran pasukan air hujan berebut jalan ke arah barat melewati gubuk dawet Mamat. Angin tidak mau ketinggalan unjuk gigi menggulung-gulung tumpukan merang, rumput, dan beberapa pohon.

“Mat, dawetmu ditutup rapat, cepat!” teriak Reni. Penutup gubuk yang hanya dari daun kelapa kering atau blarak itu tidak sanggup melawan hujan dan angin. Air pun masuk di sela-sela stoples, gelas, meja, bahkan kursi.

“Buku-bukuku!” teriak Mamat langsung menyambar buku-bukunya kemudian dimasukkan ke dalam kresek. “Bu Reni basah, ayo kita ke depan toko itu, Bu. Kita berteduh di sana!” ajak Mamat dengan memeluk buku-bukunya. Mereka segera menuju sebuah toko di tepi jalan yang sudah beberapa bulan tutup.

Bruk….

Baru lima langkah mereka berjalan, gubuk dawet Mamat ambruk menutupi keranjang bambu tempat Mamat menyimpan dawet.

“Ya, Allah, gubukmu, Mat!”

“Gak papa, Bu. Ayo, jalan saja! Kita berteduh di terasnya, Bu.”

 Sambil menahan dingin, mereka berhasil berteduh meskipun kencangnya angin masih bisa mengantarkan air hujan ke tubuh Mamat dan Reni. Reni menatap motornya di samping reruntuhan gubuk tempat biasa Mamat mengumpulkan rupiah demi rupiah.

“Motor Bu Reni basah,” kata Mamat dengan setengah menggigil.

“Tidak mengapa, Mat,” jawab Reni pelan.

Keheningan menyelimuti mereka lagi. Petir dan Guntur sesekali masih bersahutan.  Berkali-kali Reni menoleh ke arah Mamat. Tampak Reni mencari waktu yang tepat untuk berbicara. Tidak lama kemudian, Reni menurunkan tubuhnya. Pandangannya kini tepat di depan mata Mamat. Reni menyentuh pundak Mamat.  Reni mengumpulkan energi untuk berkata-kata karena bersaing dengan derasnya hujan.

“Mat, gubuk dawetmu roboh. Sepertinya kamu memang harus pergi. Mamat anak pintar dan sopan. Insyaallah kamu bisa meraih cita-citamu. Kalau memang itu kehendak Ibu, kamu ikuti dengan ikhlas, ya! Semoga kamu bertemu orang baik di Jakarta yang bisa membantu kamu mewujudkan cita-citamu. Jangan putus berdoa, ya! Semoga kamu juga bisa bertemu Bapak.” Kalimat terakhir Reni disambut dengan guntur yang menggelegar keras. Guntur itu seakan pamitan dan mengaminkan harapan Reni. Setelah itu, langit mulai tenang, hujan mulai berkurang.  

Mata Mamat tidak berkedip. Ia berusaha mendengarkan pesan Bu Reni, guru yang sejak kedatangannya membuat Mamat semakin semangat belajar. Mamat berusaha memahami dengan mengangguk pelan. Terakhir, ia jatuhkan kepalanya di pundak Reni. Reni pun menggayuh kepala Mamat dalam basah.

Batin Reni bertarung dengan kuatnya. Ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Mamat. Seharusnya Mamat bisa melanjutkan pendidikannya dan menikmati masa anak-anaknya seperti halnya teman-teman Mamat. Air mata Reni tumpah tak terbendung seiring derasnya hujan menyelimuti bumi.

Sementara itu, Mamat masih terpaku dan membisu. Ia biarkan air matanya membasahi pundak Reni. Kaus tipisnya sudah melekat dengan tubuh, basah dari atas sampai bawah.

“Jaket ini untuk Mamat, gak papa kegedean dikit, ya. Bagian dalam masih agak kering. Nanti Bu Reni pulang dengan mantel,” kata Reni sambil melepas jaketnya. Ia pakaikan jaket biru tua itu ke tubuh Mamat.

Mamat hanya diam. Ia pakai jaket itu dan matanya menatap langit. Dia membayangkan di Jakarta bisa bertemu bapak dan bisa melanjutkan sekolah.*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tentang Penulis

Sumintarsih, mengajar di SMP Al Irsyad Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah sejak tahun 2000 dan menyelesaikan S-2 di Universitas Muhammadiyyah Purwokerto. Ia pernah meraih Juara Harapan 1 Lomba Penulisan Cerita Rakyat yang diselenggarakan oleh Unindra Jakarta (Juli 2020). Aktif berliterasi sejak mengikuti pelatihan Sagusabu MediaGuru (2017) dan sejak 2018, ia sudah menerbitkan 5 buku solo: Perjalanan Menuju Sekolah Unggulan (profil sekolah), Ada Bisokop di Sekolah (memoar), Awas Ada Macan (cerpen anak), Kado Istimewa untuk Remaja (motivasi remaja), dan buku paling baru tahun 2022: Anakku Investasi Masa Depanku (sehimpun tulisan tentang parenting), serta 29 buku antologi, salah satunya buku untuk anak Cerita Binatang (Elexkids, 2022). Ia senang terus belajar menulis dan mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menulis.

 

Email: sumintarsihpurwokerto@gmail.com

IG: sumintarsih_24

Blog: miensumintarsih.blogspot.com

 

 

 

Senin, 10 Oktober 2022

Peluncuran Dua Buku Siswa dan Guru
Senin, 10 Oktober 2022 ini menandai terbitnya kembali dua buku di SMP Al Irsyad Purwokerto setelah awal semester lalu terbit dua buku karya siswa dan karya guru – Kepala Sekolah. Buku pertama adalah antologi puisi karya siswa dan guru. Uniknya dalam buku ini ada puisi karya Gol A Gong sebagai puisi pembuka berjudul Mata Air. Pasalnya, buku ini adalah hasil pelatihan menulis puisi bagi siswa bersama puluhan siswa dari sekolah lain. Adapun Gol A Gong, Duta Baca Indonesia, sebagai pemberi materi. Awalnya, Pak Indra, sebagai owner SIP Publishing menawarkan kesempatan siswa SMP Al Irsyad ikut pelatihan daring dan menulis dalam satu buku antologi. Sebanyak 50 siswa harus ikut tantangan ini. Berhubung jumlah 50 belum terpenuhi, guru-guru dilibatkan ikut menulis puisi. Jadilah buku Mata Air ini antologi puisi 27 siswa bersama 19 guru. Tema untuk puisi anak adalah tentang orangtua, sebaliknya puisi bagi guru bertemakan anak atau siswa.
Yang kedua adalah buku karya Sumintarsih, guru Bahasa Indonesia, berjudul Anakku Investasi Masa Depanku, sehimpun tulisan tentang parenting. Peluncuran buku pada pagi ini ditandai dengan penyerahan sertifikat kepada para penulis sebanyak 46 orang siswa dan guru. Khusus buku Anakku Investasi Masa Depanku, pada Jumat malam, 30 September 2022 lalu, melalui zoom meting telah dikupas dalam acara Peluncuran dan Diskusi Buku yang diselenggarakan SIP Publishing. Adapun pengupas buku adalah Much. Khoiri, dosen dan penulis puluhan buku dari Unesa Surabaya. Semoga peluncuran buku ini membangkitkan semangat warga sekolah dalam berliterasi.*

Senin, 03 Oktober 2022

Pantun Jenaka


Sungguh indah ini liontin
Kena sinar berkilau terang
Siang-siang makan di kantin
Sudah makan tak bawa uang

Di tepi gunung banyak tukang
Membawa kampak membangun rumah
Menepuk punggung dari belakang
Ternyata bapak kepala sekolah

Ada embun di daun talas
Di dekatnya ular bersarang
Sudah minum kopi segelas
Tahu-tahunya punya orang

Burung gelatik indah bulunya
Terperangkap di kandang itik
Gadis cantik siapa namanya
Pakai baju kok punya adik


Purwokerto, 3 Oktober 2022