KITAB
KEHIDUPAN (Minum Kopimu, Baca Dirimu,
Temukan
Fitrahmu, Hayati Hidup Baru)
Penulis: Much.
Khoiri
Penerbit: Genta
Group Production, Sidoarjo, Jawa Timur
Cetakan: Mei 2021
ISBN:
978-623-235-199-8
Tebal: 208
halaman (15 x 23 cm)
Peresensi:
Sumintarsih
Saya mendapatkan buku ini di bazar Kopdar I RVL,
Oktober 2022 lalu. Sebenarnya sudah lama mengetahui Pak Khoiri menerbitkan buku
ini, tetapi saya sengaja tidak segera memesannya. Ingin mendapatkan buku itu
langsung, suatu saat, sekalian minta tanda tangan penulis.
Moch. Khoiri, founder grup RVL yang memiliki banyak
sapaan, seperti Mr. Emcho, Pak Khoiri, dan Abah Khoiri ini adalah dosen Unesa
Surabaya, trainer, editor, dan penggerak literasi. Kepiawaiannya dalam
berliterasi mengantarkannya sebagai salah satu penerima anugerah 50 Tokoh Inspiratif Alumni Unesa (2014). Sampai buku ini terbit, karya bukunya sudah mencapai
65 judul tentang budaya, sastra, dan menulis kreatif—baik mandiri maupun
antologi.
Dari sekian buku larisnya yang ada di rak buku saya
adalah Pagi Pegawai Petang Pengarang (2015) dan SOS Sapa Ora Sibuk:
Menulis dalam Kesibukan (2016). Dari dua buku ini pembaca akan termotivasi
untuk menenggelamkan diri dalam dunia literasi. Satu lagi buku Virus Emcho:
Melintas Batas Ruang dan Waktu (2020) yang berisi kumpulan tulisan tentang sosok
Pak Khoiri di mata orang-orang yang telah mengenalnya dan bagaimana dahsyatnya
virus literasi yang Pak Khoiri tularkan. Salah satunya adalah kelahiran grup WA
RVL (Rumah Virus Literasi).
Minum Kopimu, Baca Dirimu, Temukan Fitrahmu, Hayati
Hidup Baru. Sebagai tagline buku ini, penulis mengajak pembaca memahami
bahwa dalam madrasah dunia, kita perlu membaca kitab kehidupan, baik yang
tertulis, maupun yang tidak. Bermula dari munim kopi, orang akan merasakan ada
manis dan pahitnya. Selain merasakan manis pahitnya kehidupan sebagai ujian,
orang akan mengenali diri dengan berintrospeksi, kemudian mengenali Tuhannya,
selanjutnya akan menemukan kembali fitrahnya sebagai manusia.
Adapun yang terakhir sebagai puncaknya adalah pembaca
diajak untuk menghayati hidup dengan yang baru. Berusaha untuk senantiasa
hijrah kerena setiap saat pada dasarnya manusia itu sedang meniti jalan menuju
cahaya Allah.
Tiga bab dikupas dalam buku ini, yaitu Bab I Menghayati
Ilmu dengan Amal, Bab II Belajar Memetik Hikmah, dan Bab III Jalan Menuju
Cahaya. Total artikel dalam buku ini 39 judul dengan rincian: 12 judul di Bab
I, 13 judul di Bab II, dan 14 judul di Bab
III.
Menghayati Ilmu dengan Amal sebagai Bab pembuka,
penulis mengajak pembaca agar menerapkan ilmu dengan amalan atau tindakan.
Tanpa tindakan, ilmu akan dianggap kosong, misalnya ilmu ikhlas, mengaji,
berkarya, hidup sederhana, berhaji, senyum, bahkan belanja. Dengan amaliah,
pemilik ilmu tidak hanya menjadi pintar, tetapi juga akan menjadi bijaksana.
Pada judul pertama Bab I, pembaca langsung ditembak
dengan “Dunia Ini Madrasah”. Ketika bencana alam yang terjadi berulang kali,
bukankah seharusnya manusia tersadar bahwa sebaiknya sebagai penduduk bumi
harus ikut menjaga dunia? Sebuah pesan penting yang tercetak warna hijau dan berbingkai
tertulis, “Dunia ini makhluk dan kita wajib berbaik-baik dengan dunia sebagai
makhluk agar ada kesalingpahaman yang selaras dan saling menguntungkan agar ada
keamanan dan kenyamanan di dalamnya.” Di sinilah manusia seutuhnya, sebaiknya
pintar dalam pengetahuan dan bijak dalam berperilaku.
Yang menarik di Bab I ini ada judul “Tidak Perlu Ikhlas
Sekarang”. Pembaca diajak melek bahwa iklhas itu masalah kalbu dan kalbu memang
harus dilatih terus-menerus agar menjadi ikhlas. Penulis mencontohkan di berbagai
kesempatan penarikan iaran warga, seperti untuk pembangunan masjid, renovasi
jalan, bantuan yatim piatu, dan lainnya. Kepada warga atau jamaah penulis menyampaikan bukan pada prinsip
suka rela, melainkan, “Tidak ikhlas sekarang tidak apa-apa. Yang penting
banyak.”
Bahkan, di halaman 42 pada "Hati yang Tertambat di Haramain" penulis dengan lihai berkisah dengan alur balik. Hal ini memberikan tekanan bahwa tertambatnya hati diungkapkan dengan mengenang kembali semua pengalaman yang sangat istimewa di tanah suci.
Bagaimana dengan kalimat ini? “Jika orang mampu
memenuhi kebutuhan jauh di atas kebutuhan minimum dan ia mengharuskan diri
untuk memuaskannya, apalagi berlebihan, dia bersikap hidup mewah. Sebaliknya,
jika kebutuhan minimum saja tidak terpenuhi, akibat kemampuan rendah, orang itu
bukan sederhana, tetapi miskin. Jika orang memiliki kemampuan tinggi, namun dia
suka hidup dengan kebutuhan minimal dan jauh dari berlebihan, inilah sikap
hidup sederhana.” Kira-kira penulis membahas apa, ya?
Bagi pembaca yang sudah purnatugas, pada bab I ini ada
judul yang perlu disimak betul agar semakin bersemangat berkarya. “Berkarya
saat Senja”. Ya, di dalam judul ini, siapa saja penulis senior yang dikupas?
Salah satunya adalah J.K. Rowling, penulis Harry Potter.
Demikian juga pengalaman penulis saat ibadah haji,
dikatakan sebagai bagian dari proses belajar. Dan sebagai penutup Bab I ini
adalah ajakan untuk merasa bodoh di depan guru agar gelas kosong dan ilmu mudah
masuk.
Pada Bab II, Belajar Memetik Hikmah, pembaca semakin
dibukakan matanya dengan kisah-kisah yang menarik, baik pengalaman penulis
maupun orang lain. Kita tidak boleh menyebut bahwa musibah itu sebagai kutukan
atau hukuman, melainkan sebuah ujian agar kita lebih mendekatkan diri
kepada-Nya.
Dari sakit yang ringan apalagi sakit berat, semua
mengandung hikmah. Bahkan, penulis menceritakan pengalamannya saat berhaji, 1/3
kuku jempol kaki kirinya cuwil/terkelupas. Begitu khusyuk penulis
beribadah dengan menghayati bacaan-bacaan saat Sa’i dari Bukit Shafa dan Marwa.
“Itu telah membuatku merasa dekat dengan-Nya. Aku merasakan kehadiran-Nya. Aku
merasakan hilangnya aku dalam kehadiran-Nya.” (halaman 73) Demikian juga pada
saat thawaf. Penulis menyadari jempol kakinya luka saat dirinya kembali ada
(setelah merasakan khusyuk ibadah).
Setelah kuku jempol kaki kiri, kini ganti jempol tangan
kiri yang sakit. Bagi menusia yang pandai bersyukur, sakit pun harus dimaknai
untuk dipetik hikmahnya. Ya, dan bagi saya juga pembaca lainnya, satu hal yang
menarik adalah bahwa kejadian sekecil apapun seperti pada bab ini bisa
dijadikan tema tulisan dalam mengambil hikmah.
Dunia berpolitik juga tidak lepas dari pesan dahsyat
dalam buku ini. Khususnya peringatan agar semua orang menyadari bahwa dunia
adalah ladang bagi akhirat, apa yang kita tanam adalah kelak yang bakal
dipanen. Judul “Ngundhuh Wohing Pakarti” (menuaai buah perbuatan),
menyadarkan bahwa janji-janji kampanye akan dituntut pemenuhannya. Pakarti
penuh kesewenangan hanya ngundhuh benang ruwet dan akhirnya mengatasi
masalah dengan masalah.
Mengambil hikmah dari sebuah tontonan pun dicontohkan
oleh penulis dalam halaman 87. “Berburu Hikmah pada Aceng”, seorang gitaris
mantan preman yang tanpa tangan, tampil menjadi tamu dalam acara Kick Andy.
Kita bisa belajar menjadi pintar dan bijaksana dari Aceng yang kondisinya
tunadaksa.
Sebagai penutup bab II adalah “Terbang Paling Menegangkan”,
ini menjadi klimaks dari buku ini, menurut saya. Betapa manusia sangatlah kecil
di hadapan Allah. Berserah diri dengan takdirnya adalah menjadi solusi penulis
ketika menghadapi situasi mencekam di atas pesawat, perjalanan dari bandara
John. F. Kennedy Airport, New York menuju Narita Airport, Tokyo. Pesawat
tersebut berguncang kuat, bahkan menjadi goncangan hebat dibanding goncangan
pesawat lain yang pernah ditumpangi sebelumnya.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikian pepatah yang tepat
bagi penulis kerena menghadapi dua ketegangan berurutan. Goncangan hebat di
dalam pesawat yang ternyata salah satu sayap pesawat retak, ditambah lagi
setelah singgah semalam dan ganti pesawat, dua bagasi penulis tidak terangkut.
Apa saja isi dua koper besar penulis dan bagaimana nasibnya?
Sebagai bab III atau bab penutup, dengan gaya penulisan
perenungan diri, penulis mengajak pembaca untuk rajin bermuhasabah, memperbaiki
diri, bersyukur, mendidik keturunan, berdakwah kepada sesama, serta merenungi
kematian. Semua ini diamalkan untuk menuju cahaya Allah dengan kesucian.
Pada bab ini, pembaca dajak untuk mengenal 7 latifah
manusia (bagian diri yang halus atau gaib). Bila tidak disucikan akan
mengganggu manusia kembali ke taman surga. Karena dunia sangat melenakan,
peperangan dalam diri penulis selalu terjadi antara godaan untuk cinta dunia
dan tawaran untuk cinta ahirat. Apa saja 7 latifah itu?
Dimulai dari judul pertama dan selanjutnya, sebuah
perenungan diri dari kehadirannya di dunia melalui rahim sang ibu, kemudian
menjadi bayi, masuk dunia anak-anak, sampai usia penulis 55 tahun.
Pada judul “Andai Dosa Berjejak”, penulis mengingatkan
pembaca pentingnya memaknai tahun baru Hijriah. “Menengok Kalbu” mengajak
pembaca dengan kalimat-kalimat Allah mengunjungi kalbu agar setan tidak beranak
pinak di sana.
Pada judul “Muhasabah Shalat Khusuk”, penulis ngobrol
dengan Tuhannya, “Ya Allah, pada akhir hariku kelak, izinkan aku sowan di
hadapan-Mu dengan perasaan ridha dan Engkau ridhai,” tepatnya di halaman 149.
Sebuah tamparan juga bagi pembaca karena menurut guru penulis, shalat tak
khusyuk itu akibat iblis laknatullah yang bersarang dalam kalbu.
Selanjutnya penulis juga mengajarkan ilmu berani karena
benar kepada putranya yang masih 2,5 tahun; berdakwah tidak harus berpakaian
dan berbicara seperti ustaz; berdakwah lewat media sosial. Bahkan, penulis
mengajak para khotib agar membukukan khutbah mereka.
Nasihat kematian menjadi judul terakhir buku apik ini.
Penulis mengajak pembaca agar membiasakan hadir takziah untuk orang yang
meninggal. Ini adalah nasihat agar senantiasa siap menghadapi kematian.
Kemudian, buku ditutup dengan epilog, “Menghitung dan Menghargai Waktu”.
__
Kelebihan buku ini tidak terhitung. Salah satunya, membaca buku ini benar, bagaikan membaca sebuah pedoman kehidupan. Nasihat dan pesan yang sapantasnya kita terapkan agar bisa merasakan kehidupan yang lebih bernilai. Buku ini ibarat cermin, seberapa jauh pembaca membiasakan diri terampil mengambil hikmah pada setiap pengalaman dan peristiwa yang dihadapi. Bagaimana pembaca mampu introspeksi diri dan berhijrah.
Jumlah 39 judul
telah membuat saya penasaran, belum puas, dan mencari judul selanjutnya.
Mengapa tidak digenapkan menjadi 40 judul? Rupanya, ini perkiraan saya, satu
judul sisanya menjadi milik pembaca untuk merenung dan segera mengambil sikap.
Segera bertindak mempraktikkan pesan kehidupan seperti dalam buku ini ataukah
hanya menutup buku sebagaimana menutup buku lainnya yang sudah selesai
dibaca.
Buku dengan bahasa ringan bahkan sebagian santai ini mudah
dipahami. Buku ini juga berani tampil beda dari ukuran dan desainnya. Pada
umumnya buku berukuran 14 x 20, buku ini lebih besar. Selain itu, kover buku
dilengkapi gambar pintu terbuka, melambangkan filosofi dari buku ini sebagai
kitab atau pedoman, sebuah pintu masuk berkehidupan. Halaman pertama berwarna
hijau sehingga gambar pintu dengan kertas berlubang itu langsung tembus pada
halaman pertama. (Karena khawatir sobek, buku saya pada bagian lubang pintunya
saya beri selotip.)
Setiap judul ditulis dengan huruf kapital besar dan
berwarna hijau. Setiap halaman judul juga dibuat dua kolom, kolom kiri tertulis
kalimat inti atau kalimat pemancing. Bahkan pesan penting yang selalu ada pada
tiap judul diblog warna hijau. Ini menarik dan membuat mata bisa
refreshing.
Namun, penulis termasuk berani dalam menggunakan beberapa
kata bahasa Jawa tanpa terjemahan meskipun tidak semua, seperti kengawuran,
seliweran, sesrawungan, sowan, dan lain-lain. Meskipun kata-kata itu sudah agak
familier, bagi orang bukan asli Jawa akan sedikit kesulitan. Akan tetapi, saya
yakin penulis bermaksud memberikan pembelajaran agar pembaca menemukan sendiri
artinya.
Saya merekomendasikan buku ini kepada siapa pun untuk meneladani
dan tervirusi penulis dalam memetik hikmah kehidupan. Dengan mengambil hikmah,
kita akan menghayati hidup dengan pemikiran, sikap, dan perilaku yang baru. Berani
berubah untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa. Seperti kalimat pembuka kata
pengantar yang sangat memotivasi dari Muhammad
Chirzin (Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), “Tiap hari
adalah hari baru bagi orang yang berpikiran tajam.”
Selamat membaca, Salam Literasi.
Purwokerto, 23 Januari 2023
Peresensi berkesempatan minta tanda tangan penulis Kitab Kehidupan.
Lubang pada pintu sudah ditutup dengan selotip.