Jumat, 01 Maret 2024

Kebahagiaan Keong Sawah (fabel)

 


Keke dan Keki adalah kakak beradik keong sawah. Keke sangat sayang kepada adiknya, Keki. Keki sedang malas-malasan di dalam air. Kakaknya ingin mengajak jalan-jalan.

"Keki, ayo ikut aku!" ajak Kekek.

“Aku di sini saja,” jawab Keki lemas. Dia masih merasa ngantuk. Keki ingin melanjutkan tidurnya.

“Itu ada daun padi yang muda-muda sekali. Tampaknya enak sekali,” rayu Keke. Keki tidak beranjak. Menoleh pun tidak. Setelah berpikir beberapa saat, Keki mulai menggeser badan.

“Tunggu, aku ikut.”

“Nah, begitu dong, cantik. Bermain dengan kakak pasti seru,” bisik Keke.

Keke dan Keki Keong sawah bergerak mendekat tepian parit. Di sana sudah banyak aneka keong atau siput. Sepanjang hari mereka lebih banyak di dalam air. Menjelang malam, mereka bergerak meninggalkan air, ke permukaan. Binatang bercangkang ini banyak menempel di daun atau batang tanaman di sawah.

Di setiap sawah, rawa-rawa, pinggir danau, dan pinggir sungai kecil atau parit, di sana akan tinggal keong-keong. Bentuk cangkangnya yang seperti kerucut membulat, keong sawah mudah dikenali.

“Hai, mau ke mana?” sapa Tutut Keong Sawah melihat Keke dan Keki lewat.

“Halo, kamu siapa?”Tanya Keke.

“Kita sesama keong atau siput sawah. Mencari makan di sini saja. Padi-padi ini baru saja ditanam, daunnya empuk dan enak,” ajak Tutut.

“O, iya. Terima kasih. Wah, kita sesama keong sawah, ya?” kata Keke.

“Kalau itu siapa, Kak?” tanya Keki.

“Oh, itu Kemas, Keong Mas,” jawab Tutut. “Sebenarnya sama seperti kita. Tetapi, rumah keong mas berwarna  lurik kecokelatan. Kalau kita kan warnanya hijau kehitaman.

“Rumah?” tanya Keki heran.

“Rumah di atas badannya. Cangkang maksudku. Hehe…,” jawab Tutut bercanda.

“Oh, iya ya? Warna cangkang kita hijau kehitaman.”

Sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Kemas teriak.

“Awas ada pemburu keong. Cepat sembunyi!” teriak Keong Mas.

“Mengapa kita harus sembunyi?” tanya Keki dan Keke heran.

“Mereka mencari keong-keong karena kita memakan daun-daun padi,” jelas Tutut.

“Oh, begitu,” jawab Keke dan Keki kompak.

“Itu dulu. Kita dianggap hewan pengganggu atau perusak padi. Makanya, petani tudak suka dengan kehadiran kita,” tambah Keong Mas.

“Apa bedanya dengan sekarang, Kemas?” tanya Keki ingin tahu. Dia menjulurkan kepalanya ingin segera mendapatkan jawaban dari Keong Mas. Keong mas segera mendekat.

“Banyak orang yang sekarang berburu, mengumpulkankeong setiap hari. Kalau kita tidak waspada, kita tertangkap dan menjadi santapan mereka. Biasanya mereka aka membuat kira menjadi sate keong. Hihi.... kita dimandikan di dalam cabe merah. Pedesa sekali. Aku tidak mau.”

“Hihi...,” jawab Keki. Keke, dan Tutut bersamaan. Mereka ikut bergidik dan ngeri membayangkan badannya bermandikan cabai. Panas dan pedas.

“Cepat sembunyi, masukkan badanmu ke lumpur!” teriak Keong Mas lagi.

“Kamu tidak bersembunyi, Keong Mas?” tanya Tutut.

“Tenang saja, mereka lebih mencari kamu. Mereka mencari kamu karena dagingmu enak. Sebenarnya kita sama. Cuma, orang-orang sudah menganggap kalau keong mas beracun.

“Mengapa bisa beracun?” tanya Keki penasaran.

“Karena mereka tidak pintar mengolah. Mereka harusnya mencuci kita hingga bersih. Yang sudah pintar memasak, hgak akan keracunan. Malah gizi kita itu tinggi,” jelas Keong Mas.

“Benarkah kita bisa untuk pengganti daging dan susu?” yamnya Keke.

“Iya, aku pernah dengar itu. Meskipun kita hidup di sawah, Tuhan menciptakan kita sebagi hewan yang memiliki protein tinggi,” tambah Tutut.

“Aku tahu, untuk orang-orang yang idak bisa beli susu, kita bisa membantu mereka,” teriak Keki menjawab.

“Wah, adikmu pintar, Keke,” sanjung Keong Mas.

“Siapa dulu kakaknya?” jawab Keke. Hehe....Keke dan Keki berpandangan sambil tertawa.

“Benar. Kita ini hewan pengganggu padi-padi petani. Namun, sekarang mereka memburu kita untuk  dijadikan santapan. Kata mereka, protein kita tinggi,” jelas Tutut.

“Wah, kamu pintar. Eh, cepat masuk lumpur!” gantian Keke yang berteriak.

Mereka bertiga selamat dari tangan petani. Mereka bergerak pulang dengan perut yang kenyang. Sudah banyak daun padi yang mereka santap. Sambil pulang, mereka mendoakan agar para oetani masih bisa panen.

Di tepi sawah, mereka bertemu Kakek Gondang, Keong Gondang, keluarga keong sawah juga.

“Kalian dari mana?” sapa Kakek.

“Dari sawah, Kek,” jawab Tutut. “Kakek sehat?”

“Kakek sehat,” jawab Kakek. Kakek Gondang badannya hitam seperti batu.Karena seperti batu, jadi tubuh Kakek aman, tidak diambil petani.

Kalau mencari makan tetap harus waspada.Bahaya selalu mengancam kalian,” pesan Kakek.

“Apakah hidup kita selalu dalam bahaya, Kek?”

“Tidak perlu resah. Makhluk Tuhan sekadar menjalankan perintah-Nya. Sampai kapan kita hidup dan kita siap bila mati,” jelas Kakek yang belum dimengerti para keong.

“Sama-sama mati diambil petani, tetapi berusahalah sampai menunggu bulan puasa.”

“Apa maksud Kakek?”

“Masyarakat Banyumas memiliki kebiasaan berbuka puasa dengan mekankracak keong.Bahannya keong sawah, keluarga kita.”

“Kita mati dimasak mereka, Kakek?” sergah Keki.

“Iya, Cucuku. Tetapi, mati di bulan puasa menjadi kebanggan warga keong.Setidaknya.Orang-orang yang menyantap kita dalam suasana penuh bahagia setelah berpuasa.Mereka berdoa dengan khusyuk sebelum memakan kita,” terang Kakek. Tutut Keke, dan Keki menganggunk-anggukkan kepala tanda mengerti.

“Apakah mereka tidak memasak keong selain bulan puasa?”

“Ada yang memasak, tetapi sedikit. Karena yang ingin membeli juga sedikit,” jawab Kakek.

“Apakah kita dimasak soto, Kek?” tanya Keki sedih.

“Kamu tidak perlu sedih, Cu. Masyarakat Banyumas pintar memasak. Mereka mengolah keong menjadi sate keong, tongseng keong, atau rica-rica. Olahan yang terkenal adalah masakan kracak keong seperti bumbu rica-rica.Dalam satu panci ada ratusan keong.Kamu tidak perlu sedih,” jelas Kakek sambil mengelus kepala Keki.“Kakek bisa membayangkan wajah orang-orang yang bersyukur menikmati kelezatan kracak keong.Syukur dalam doa-doa setelah seharian berpasa.”

“Bagaimana kami bisa bertahan sampai bulan puasa, Kek?” tanyaKeke semangat.

“Sekitar satu bulan lagi bulan puasa tiba. Waspadalah dari perburuan petani atau para pemburu keong.Rendam tubuhmu dalam-dalam ke dalam lumpur.Kalau kamu kuat, bila sedang menempel di batang pohon, jangan lepaskan peganganmu!”

“Apa bisa, Kek?” tanya Tutut ragu.

“Mengapa Kakek bisa bertahan di sini? Kakek belum pernah merasakan dimasak menjadi kracak keong?”

“Tuhan menyisakan Kakek di sini. Sepertinya supaya Kakek bisa bercerita kepada kalian.”

“Benar juga, Kakek. Terima kasih, Kakek sudah memberikan nasihat yang luar biasa,” kata Keke.

Anak-anak berlomba untuk bertahan agar menjumpa bulan puasa.*


Purwokerto, 1 Maret 2024

1 komentar: