Jumat, 01 Maret 2024

Bisikan dari Rumah Tua (cerpen anak, detektif)

 

    Elang dan Bayu adalah dua sahabat sejak kelas 1 SD. Mereka teman bermain di sekolah dan di rumah. Elang, anak kelas 4 SD ini selalu memakai sepeda kesayangannya. Termasuk ke warung bila diperintah belanja oleh ibunya. Tidak jauh berbeda, Bayu, pun lincah bersepeda.

"Bayu, kamu berani gak masuk rumah tua?” tanya Elang.

"Rumah tua di jalan pertigaan itu? Rumah yang ada pohon beringin maksudmu?" balas Bayu.

"Iya. Rumah kosong yang sudah puluhan tahun tidak dihuni," sambung Elang sambil mengibaskan rambut poninya yang menutupi ujung mata..

"Ngapain juga masuk rumah tua, kurang kerjaan. Mending main bola," jawab Bayu yang berambut keriting ini. Meskipun pulang sekolah ngobrol di atas sepeda, kedua anak ini tetap waspada. Apalagi saat menyeberang jalan. Mereka menoleh ke kanan dan ke kiri dulu. Mereka cukup 10 menit untuk sampai rumah.

Sejak sepekan lalu, Elang tidak tenang. Setiap melewati rumah tua itu, ia ingin masuk. Seperti ada magnet. Pikirannya terus melayang-layang membayangkan ada kejadian di dalam bangunan gelap itu. Atau membayangkan ia menemukan sesuatu di dalamnya.

Rumah besar ini pasti  milik orang kaya. Banyak pintu dan jendela lebar-lebar. Lampu-lampu hiasnya besar dan kokoh. Namun, kini banyak lumut dan tanaman merambat menutupi sisa-sisa kemegahan rumah tingkat itu.

Halaman belakang sangat luas dan dipenuhi pohon-pohon besar.  Persis hutan. Karena gelap, orang-orang memilih memutar jalan. Hanya orang iseng yang melewati jalan itu. Salah satunya Elang. Setiap lewat, Elang menyelidiki hal-hal yang tertangkap mata dan telinga.

Buk….

Gubrak….

Srek….

Sesekali terdengar suara riuh dari dalam. Apalagi bila hujan deras, suasana mencekam semakin mengundang penasaran Elang. Bila kilat menyambar, Mata Elang tidak bisa berkedip. Sepintas di balik kaca-kaca jendela, sekelebatan terlihat berdiri sosok-sosok besar.

Rumah itu seakan semakin hidup dan berbisik memanggil-manggil Elang. Kebanyakan orang semakin takut, Elang justru semakin ingin tahu. Adapun arah rumah Bayu tidak melewati rumah tua itu.

Gubrak....

Jantung Elang seperti mau copot, dia mengambil langkah seribu. Kakinya berkali-kali meleset mengayuh pedal. Ia baru saja mendengar sesuatu jatuh. Bahkan, ada suara “Sst….” dari dalam. Meskipun sudah gelap sepulang salat isya di masjid, Elang tetap saja melewati jalan itu.  Ia hanya mengandalkan cahaya lampu jalan dari pertigaan.

Pagi hari saat berangkat sekolah.

“Bayu, kamu harus ikut aku. Nanti pulang sekolah kita ke sana!” ajak Elang dengan serius.

“Ke rumah tua? Kamu setiap hari mbahas itu terus, ha?!” bentak Bayu heran.

“Kali ini sungguh aneh. Semalam aku mendengar suara orang di sana.”

“Mana mungkin ada orang di dalam?” bantah Bayu.

“Ayolah, Bayu. Sekali ini saja!”

“Baiklah, kita ke sana,” jawab Bayu.

“Yess,” jawab Elang puas.

***

Matahari semakin terik. Elang begitu semangat mengayuh sepeda. Ia sudah tidak sabar.

“Tunggu!” kata Elang mendadak.

“Belum sampai, kenapa berhenti?”

“Ada cahaya terang sekali dari rumah itu. Ayo kita lihat!” ajak Elang.

Sampai di depan rumah, Mereka segera turun dari sepeda dan mengendap-endap. Pagar besi begitu berat bagi ukuran tubuh Elang. Seperti pintu sudah mati.

Meong….

Suara kucing mengagetkan mereka. Kucing itu lari keluar melewati celah pagar yang tertutup tanaman. Rupanya pintu pagar itu seukuran tubuh orang dewasa. Sampai di teras rumah bagian kiri, ada seng karatan menutupi sesuatu. Anehnya, di samping seng ada sandal jepit sebelah kiri. Sandal yang baru saja dipakai, tidak bulukan apalagi lumutan. Elang tambah penasaran. Matanya semakin menyelidik. Bayu hanya mengikuti di belakangnya.

Gubrak….

Elang terduduk jatuh. Badannya lemas. Napasnya tersengal-sengal. Keringatnya memenuhi dahi.

“Ada apa, Elang? Kamu melihat apa?”

“Di bawah seng itu!” jawab Elang sambal menunjuk.

“Banyak sekali barang! Ada cangkul, helm, sepatu bola. Lo, ini apa lagi? Ini seperti payung ibuku?” kata Bayu heran. “Ini cermin yang di toilet masjid. Kenapa di sini?”

“Sst…. Jangan keras-keras,” bisik Elang. “Sinar tadi pasti pantulan sinar matahari dari cermin ini.”

“Iya, betul,” saut Bayu.

“Apakah ini barang-barang curian?” tanya Elang curiga.

“Bisa jadi. Mereka menimbun di sini.”

“Untuk apa?”

“Mungkin sebelum dijual,” jawab Bayu.

“Cukup, ayo kita ke Pak RT!” ajak Elang.

Sampai di rumah Pak RT, tampak ada Pak Ari dan beberapa orang sedang membicarakan keadaan kampung yang mulai banyak laporan kehilangan barang.

Elang dan Bayu masuk dan menyampaikan informasi ada tumpukan barang di rumah tua. Meskipun awalnya tidak percaya, Pak RT dan beberapa orang mengikuti Elang ke rumah tua.

“Ternyata benar, ini cangkul saya, Pak RT,” kata Pak Ari gembira. Pak RT mengakui ada sedikit titik terang dari permasalahan warganya.

“Hebat, kalian! Terima kasih, ya,” kata Pak Ari dan Pak RT.

“Kalian persis detektif,” sanjung bapak-bapak yang lain. Elang dan Bayu tersenyum.

Bapak-bapak itu mengeluarkan beberapa barang untuk dibawa ke rumah Pak RT. Namun, semua masih terheran-heran, siapa pencurinya.

Tiba-tiba mata Elang tertuju pada sebuah sandal jepit sebelah kiri yang terlepas jepit depannya. Tadi sandal jepit itu terjepit di samping seng. Mungkin karena tadi malam gelap dan buru-buru, sandal itu ditinggal. Sandal jepit biru yang bagian belakang menipis, hampir bolong.

“Bayu, tadi pagi aku melihat sebelah dari sandal itu,” kata Elang bisik-bisik. “Sandal biru tipis sebelah kanan,” tambahnya tidak sabar. 

“Benar kamu melihatnya? Di mana?” *

 

 

Kebahagiaan Keong Sawah (fabel)

 


Keke dan Keki adalah kakak beradik keong sawah. Keke sangat sayang kepada adiknya, Keki. Keki sedang malas-malasan di dalam air. Kakaknya ingin mengajak jalan-jalan.

"Keki, ayo ikut aku!" ajak Kekek.

“Aku di sini saja,” jawab Keki lemas. Dia masih merasa ngantuk. Keki ingin melanjutkan tidurnya.

“Itu ada daun padi yang muda-muda sekali. Tampaknya enak sekali,” rayu Keke. Keki tidak beranjak. Menoleh pun tidak. Setelah berpikir beberapa saat, Keki mulai menggeser badan.

“Tunggu, aku ikut.”

“Nah, begitu dong, cantik. Bermain dengan kakak pasti seru,” bisik Keke.

Keke dan Keki Keong sawah bergerak mendekat tepian parit. Di sana sudah banyak aneka keong atau siput. Sepanjang hari mereka lebih banyak di dalam air. Menjelang malam, mereka bergerak meninggalkan air, ke permukaan. Binatang bercangkang ini banyak menempel di daun atau batang tanaman di sawah.

Di setiap sawah, rawa-rawa, pinggir danau, dan pinggir sungai kecil atau parit, di sana akan tinggal keong-keong. Bentuk cangkangnya yang seperti kerucut membulat, keong sawah mudah dikenali.

“Hai, mau ke mana?” sapa Tutut Keong Sawah melihat Keke dan Keki lewat.

“Halo, kamu siapa?”Tanya Keke.

“Kita sesama keong atau siput sawah. Mencari makan di sini saja. Padi-padi ini baru saja ditanam, daunnya empuk dan enak,” ajak Tutut.

“O, iya. Terima kasih. Wah, kita sesama keong sawah, ya?” kata Keke.

“Kalau itu siapa, Kak?” tanya Keki.

“Oh, itu Kemas, Keong Mas,” jawab Tutut. “Sebenarnya sama seperti kita. Tetapi, rumah keong mas berwarna  lurik kecokelatan. Kalau kita kan warnanya hijau kehitaman.

“Rumah?” tanya Keki heran.

“Rumah di atas badannya. Cangkang maksudku. Hehe…,” jawab Tutut bercanda.

“Oh, iya ya? Warna cangkang kita hijau kehitaman.”

Sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Kemas teriak.

“Awas ada pemburu keong. Cepat sembunyi!” teriak Keong Mas.

“Mengapa kita harus sembunyi?” tanya Keki dan Keke heran.

“Mereka mencari keong-keong karena kita memakan daun-daun padi,” jelas Tutut.

“Oh, begitu,” jawab Keke dan Keki kompak.

“Itu dulu. Kita dianggap hewan pengganggu atau perusak padi. Makanya, petani tudak suka dengan kehadiran kita,” tambah Keong Mas.

“Apa bedanya dengan sekarang, Kemas?” tanya Keki ingin tahu. Dia menjulurkan kepalanya ingin segera mendapatkan jawaban dari Keong Mas. Keong mas segera mendekat.

“Banyak orang yang sekarang berburu, mengumpulkankeong setiap hari. Kalau kita tidak waspada, kita tertangkap dan menjadi santapan mereka. Biasanya mereka aka membuat kira menjadi sate keong. Hihi.... kita dimandikan di dalam cabe merah. Pedesa sekali. Aku tidak mau.”

“Hihi...,” jawab Keki. Keke, dan Tutut bersamaan. Mereka ikut bergidik dan ngeri membayangkan badannya bermandikan cabai. Panas dan pedas.

“Cepat sembunyi, masukkan badanmu ke lumpur!” teriak Keong Mas lagi.

“Kamu tidak bersembunyi, Keong Mas?” tanya Tutut.

“Tenang saja, mereka lebih mencari kamu. Mereka mencari kamu karena dagingmu enak. Sebenarnya kita sama. Cuma, orang-orang sudah menganggap kalau keong mas beracun.

“Mengapa bisa beracun?” tanya Keki penasaran.

“Karena mereka tidak pintar mengolah. Mereka harusnya mencuci kita hingga bersih. Yang sudah pintar memasak, hgak akan keracunan. Malah gizi kita itu tinggi,” jelas Keong Mas.

“Benarkah kita bisa untuk pengganti daging dan susu?” yamnya Keke.

“Iya, aku pernah dengar itu. Meskipun kita hidup di sawah, Tuhan menciptakan kita sebagi hewan yang memiliki protein tinggi,” tambah Tutut.

“Aku tahu, untuk orang-orang yang idak bisa beli susu, kita bisa membantu mereka,” teriak Keki menjawab.

“Wah, adikmu pintar, Keke,” sanjung Keong Mas.

“Siapa dulu kakaknya?” jawab Keke. Hehe....Keke dan Keki berpandangan sambil tertawa.

“Benar. Kita ini hewan pengganggu padi-padi petani. Namun, sekarang mereka memburu kita untuk  dijadikan santapan. Kata mereka, protein kita tinggi,” jelas Tutut.

“Wah, kamu pintar. Eh, cepat masuk lumpur!” gantian Keke yang berteriak.

Mereka bertiga selamat dari tangan petani. Mereka bergerak pulang dengan perut yang kenyang. Sudah banyak daun padi yang mereka santap. Sambil pulang, mereka mendoakan agar para oetani masih bisa panen.

Di tepi sawah, mereka bertemu Kakek Gondang, Keong Gondang, keluarga keong sawah juga.

“Kalian dari mana?” sapa Kakek.

“Dari sawah, Kek,” jawab Tutut. “Kakek sehat?”

“Kakek sehat,” jawab Kakek. Kakek Gondang badannya hitam seperti batu.Karena seperti batu, jadi tubuh Kakek aman, tidak diambil petani.

Kalau mencari makan tetap harus waspada.Bahaya selalu mengancam kalian,” pesan Kakek.

“Apakah hidup kita selalu dalam bahaya, Kek?”

“Tidak perlu resah. Makhluk Tuhan sekadar menjalankan perintah-Nya. Sampai kapan kita hidup dan kita siap bila mati,” jelas Kakek yang belum dimengerti para keong.

“Sama-sama mati diambil petani, tetapi berusahalah sampai menunggu bulan puasa.”

“Apa maksud Kakek?”

“Masyarakat Banyumas memiliki kebiasaan berbuka puasa dengan mekankracak keong.Bahannya keong sawah, keluarga kita.”

“Kita mati dimasak mereka, Kakek?” sergah Keki.

“Iya, Cucuku. Tetapi, mati di bulan puasa menjadi kebanggan warga keong.Setidaknya.Orang-orang yang menyantap kita dalam suasana penuh bahagia setelah berpuasa.Mereka berdoa dengan khusyuk sebelum memakan kita,” terang Kakek. Tutut Keke, dan Keki menganggunk-anggukkan kepala tanda mengerti.

“Apakah mereka tidak memasak keong selain bulan puasa?”

“Ada yang memasak, tetapi sedikit. Karena yang ingin membeli juga sedikit,” jawab Kakek.

“Apakah kita dimasak soto, Kek?” tanya Keki sedih.

“Kamu tidak perlu sedih, Cu. Masyarakat Banyumas pintar memasak. Mereka mengolah keong menjadi sate keong, tongseng keong, atau rica-rica. Olahan yang terkenal adalah masakan kracak keong seperti bumbu rica-rica.Dalam satu panci ada ratusan keong.Kamu tidak perlu sedih,” jelas Kakek sambil mengelus kepala Keki.“Kakek bisa membayangkan wajah orang-orang yang bersyukur menikmati kelezatan kracak keong.Syukur dalam doa-doa setelah seharian berpasa.”

“Bagaimana kami bisa bertahan sampai bulan puasa, Kek?” tanyaKeke semangat.

“Sekitar satu bulan lagi bulan puasa tiba. Waspadalah dari perburuan petani atau para pemburu keong.Rendam tubuhmu dalam-dalam ke dalam lumpur.Kalau kamu kuat, bila sedang menempel di batang pohon, jangan lepaskan peganganmu!”

“Apa bisa, Kek?” tanya Tutut ragu.

“Mengapa Kakek bisa bertahan di sini? Kakek belum pernah merasakan dimasak menjadi kracak keong?”

“Tuhan menyisakan Kakek di sini. Sepertinya supaya Kakek bisa bercerita kepada kalian.”

“Benar juga, Kakek. Terima kasih, Kakek sudah memberikan nasihat yang luar biasa,” kata Keke.

Anak-anak berlomba untuk bertahan agar menjumpa bulan puasa.*


Purwokerto, 1 Maret 2024