Senin, 23 Januari 2023

BECERMIN PADA KITAB KEHIDUPAN (Resensi Buku)

 



KITAB KEHIDUPAN (Minum Kopimu, Baca Dirimu,

Temukan Fitrahmu, Hayati Hidup Baru)

Penulis: Much. Khoiri

Penerbit: Genta Group Production, Sidoarjo, Jawa Timur

Cetakan: Mei 2021

ISBN: 978-623-235-199-8

Tebal: 208 halaman (15 x 23 cm)

Peresensi: Sumintarsih

 

Saya mendapatkan buku ini di bazar Kopdar I RVL, Oktober 2022 lalu. Sebenarnya sudah lama mengetahui Pak Khoiri menerbitkan buku ini, tetapi saya sengaja tidak segera memesannya. Ingin mendapatkan buku itu langsung, suatu saat, sekalian minta tanda tangan penulis.

Moch. Khoiri, founder grup RVL yang memiliki banyak sapaan, seperti Mr. Emcho, Pak Khoiri, dan Abah Khoiri ini adalah dosen Unesa Surabaya, trainer, editor, dan penggerak literasi. Kepiawaiannya dalam berliterasi mengantarkannya sebagai salah satu penerima anugerah 50 Tokoh  Inspiratif Alumni Unesa (2014).  Sampai buku ini terbit, karya bukunya sudah mencapai 65 judul tentang budaya, sastra, dan menulis kreatif—baik mandiri maupun antologi.

Dari sekian buku larisnya yang ada di rak buku saya adalah Pagi Pegawai Petang Pengarang (2015) dan SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (2016). Dari dua buku ini pembaca akan termotivasi untuk menenggelamkan diri dalam dunia literasi. Satu lagi buku Virus Emcho: Melintas Batas Ruang dan Waktu (2020) yang berisi kumpulan tulisan tentang sosok Pak Khoiri di mata orang-orang yang telah mengenalnya dan bagaimana dahsyatnya virus literasi yang Pak Khoiri tularkan. Salah satunya adalah kelahiran grup WA RVL (Rumah Virus Literasi). 

Minum Kopimu, Baca Dirimu, Temukan Fitrahmu, Hayati Hidup Baru. Sebagai tagline buku ini, penulis mengajak pembaca memahami bahwa dalam madrasah dunia, kita perlu membaca kitab kehidupan, baik yang tertulis, maupun yang tidak. Bermula dari munim kopi, orang akan merasakan ada manis dan pahitnya. Selain merasakan manis pahitnya kehidupan sebagai ujian, orang akan mengenali diri dengan berintrospeksi, kemudian mengenali Tuhannya, selanjutnya akan menemukan kembali fitrahnya sebagai manusia.

Adapun yang terakhir sebagai puncaknya adalah pembaca diajak untuk menghayati hidup dengan yang baru. Berusaha untuk senantiasa hijrah kerena setiap saat pada dasarnya manusia itu sedang meniti jalan menuju cahaya Allah.

Tiga bab dikupas dalam buku ini, yaitu Bab I Menghayati Ilmu dengan Amal, Bab II Belajar Memetik Hikmah, dan Bab III Jalan Menuju Cahaya. Total artikel dalam buku ini 39 judul dengan rincian: 12 judul di Bab I, 13 judul di Bab II, dan 14  judul di Bab III.

Menghayati Ilmu dengan Amal sebagai Bab pembuka, penulis mengajak pembaca agar menerapkan ilmu dengan amalan atau tindakan. Tanpa tindakan, ilmu akan dianggap kosong, misalnya ilmu ikhlas, mengaji, berkarya, hidup sederhana, berhaji, senyum, bahkan belanja. Dengan amaliah, pemilik ilmu tidak hanya menjadi pintar, tetapi juga akan menjadi bijaksana.

Pada judul pertama Bab I, pembaca langsung ditembak dengan “Dunia Ini Madrasah”. Ketika bencana alam yang terjadi berulang kali, bukankah seharusnya manusia tersadar bahwa sebaiknya sebagai penduduk bumi harus ikut menjaga dunia? Sebuah pesan penting yang tercetak warna hijau dan berbingkai tertulis, “Dunia ini makhluk dan kita wajib berbaik-baik dengan dunia sebagai makhluk agar ada kesalingpahaman yang selaras dan saling menguntungkan agar ada keamanan dan kenyamanan di dalamnya.” Di sinilah manusia seutuhnya, sebaiknya pintar dalam pengetahuan dan bijak dalam berperilaku.

Yang menarik di Bab I ini ada judul “Tidak Perlu Ikhlas Sekarang”. Pembaca diajak melek bahwa iklhas itu masalah kalbu dan kalbu memang harus dilatih terus-menerus agar menjadi ikhlas. Penulis mencontohkan di berbagai kesempatan penarikan iaran warga, seperti untuk pembangunan masjid, renovasi jalan, bantuan yatim piatu, dan lainnya. Kepada warga atau  jamaah penulis menyampaikan bukan pada prinsip suka rela, melainkan, “Tidak ikhlas sekarang tidak apa-apa. Yang penting banyak.”

Bahkan, di halaman 42 pada "Hati yang Tertambat di Haramain" penulis dengan lihai berkisah dengan alur balik. Hal ini memberikan tekanan bahwa tertambatnya hati diungkapkan dengan mengenang kembali semua pengalaman yang sangat istimewa di tanah suci. 

Bagaimana dengan kalimat ini? “Jika orang mampu memenuhi kebutuhan jauh di atas kebutuhan minimum dan ia mengharuskan diri untuk memuaskannya, apalagi berlebihan, dia bersikap hidup mewah. Sebaliknya, jika kebutuhan minimum saja tidak terpenuhi, akibat kemampuan rendah, orang itu bukan sederhana, tetapi miskin. Jika orang memiliki kemampuan tinggi, namun dia suka hidup dengan kebutuhan minimal dan jauh dari berlebihan, inilah sikap hidup sederhana.” Kira-kira penulis membahas apa, ya?

Bagi pembaca yang sudah purnatugas, pada bab I ini ada judul yang perlu disimak betul agar semakin bersemangat berkarya. “Berkarya saat Senja”. Ya, di dalam judul ini, siapa saja penulis senior yang dikupas? Salah satunya adalah J.K. Rowling, penulis Harry Potter.

Demikian juga pengalaman penulis saat ibadah haji, dikatakan sebagai bagian dari proses belajar. Dan sebagai penutup Bab I ini adalah ajakan untuk merasa bodoh di depan guru agar gelas kosong dan ilmu mudah masuk.

Pada Bab II, Belajar Memetik Hikmah, pembaca semakin dibukakan matanya dengan kisah-kisah yang menarik, baik pengalaman penulis maupun orang lain. Kita tidak boleh menyebut bahwa musibah itu sebagai kutukan atau hukuman, melainkan sebuah ujian agar kita lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

Dari sakit yang ringan apalagi sakit berat, semua mengandung hikmah. Bahkan, penulis menceritakan pengalamannya saat berhaji, 1/3 kuku jempol kaki kirinya cuwil/terkelupas. Begitu khusyuk penulis beribadah dengan menghayati bacaan-bacaan saat Sa’i dari Bukit Shafa dan Marwa. “Itu telah membuatku merasa dekat dengan-Nya. Aku merasakan kehadiran-Nya. Aku merasakan hilangnya aku dalam kehadiran-Nya.” (halaman 73) Demikian juga pada saat thawaf. Penulis menyadari jempol kakinya luka saat dirinya kembali ada (setelah merasakan khusyuk ibadah).

Setelah kuku jempol kaki kiri, kini ganti jempol tangan kiri yang sakit. Bagi menusia yang pandai bersyukur, sakit pun harus dimaknai untuk dipetik hikmahnya. Ya, dan bagi saya juga pembaca lainnya, satu hal yang menarik adalah bahwa kejadian sekecil apapun seperti pada bab ini bisa dijadikan tema tulisan dalam mengambil hikmah.   

Dunia berpolitik juga tidak lepas dari pesan dahsyat dalam buku ini. Khususnya peringatan agar semua orang menyadari bahwa dunia adalah ladang bagi akhirat, apa yang kita tanam adalah kelak yang bakal dipanen. Judul “Ngundhuh Wohing Pakarti” (menuaai buah perbuatan), menyadarkan bahwa janji-janji kampanye akan dituntut pemenuhannya. Pakarti penuh kesewenangan hanya ngundhuh benang ruwet dan akhirnya mengatasi masalah dengan masalah.

Mengambil hikmah dari sebuah tontonan pun dicontohkan oleh penulis dalam halaman 87. “Berburu Hikmah pada Aceng”, seorang gitaris mantan preman yang tanpa tangan, tampil menjadi tamu dalam acara Kick Andy. Kita bisa belajar menjadi pintar dan bijaksana dari Aceng yang kondisinya tunadaksa.

Sebagai penutup bab II adalah “Terbang Paling Menegangkan”, ini menjadi klimaks dari buku ini, menurut saya. Betapa manusia sangatlah kecil di hadapan Allah. Berserah diri dengan takdirnya adalah menjadi solusi penulis ketika menghadapi situasi mencekam di atas pesawat, perjalanan dari bandara John. F. Kennedy Airport, New York menuju Narita Airport, Tokyo. Pesawat tersebut berguncang kuat, bahkan menjadi goncangan hebat dibanding goncangan pesawat lain yang pernah ditumpangi sebelumnya.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Demikian pepatah yang tepat bagi penulis kerena menghadapi dua ketegangan berurutan. Goncangan hebat di dalam pesawat yang ternyata salah satu sayap pesawat retak, ditambah lagi setelah singgah semalam dan ganti pesawat, dua bagasi penulis tidak terangkut. Apa saja isi dua koper besar penulis dan bagaimana nasibnya?

Sebagai bab III atau bab penutup, dengan gaya penulisan perenungan diri, penulis mengajak pembaca untuk rajin bermuhasabah, memperbaiki diri, bersyukur, mendidik keturunan, berdakwah kepada sesama, serta merenungi kematian. Semua ini diamalkan untuk menuju cahaya Allah dengan kesucian.

Pada bab ini, pembaca dajak untuk mengenal 7 latifah manusia (bagian diri yang halus atau gaib). Bila tidak disucikan akan mengganggu manusia kembali ke taman surga. Karena dunia sangat melenakan, peperangan dalam diri penulis selalu terjadi antara godaan untuk cinta dunia dan tawaran untuk cinta ahirat. Apa saja 7 latifah itu?

Dimulai dari judul pertama dan selanjutnya, sebuah perenungan diri dari kehadirannya di dunia melalui rahim sang ibu, kemudian menjadi bayi, masuk dunia anak-anak, sampai usia penulis 55 tahun.

Pada judul “Andai Dosa Berjejak”, penulis mengingatkan pembaca pentingnya memaknai tahun baru Hijriah. “Menengok Kalbu” mengajak pembaca dengan kalimat-kalimat Allah mengunjungi kalbu agar setan tidak beranak pinak di sana.

Pada judul “Muhasabah Shalat Khusuk”, penulis ngobrol dengan Tuhannya, “Ya Allah, pada akhir hariku kelak, izinkan aku sowan di hadapan-Mu dengan perasaan ridha dan Engkau ridhai,” tepatnya di halaman 149. Sebuah tamparan juga bagi pembaca karena menurut guru penulis, shalat tak khusyuk itu akibat iblis laknatullah yang bersarang dalam kalbu.

Selanjutnya penulis juga mengajarkan ilmu berani karena benar kepada putranya yang masih 2,5 tahun; berdakwah tidak harus berpakaian dan berbicara seperti ustaz; berdakwah lewat media sosial. Bahkan, penulis mengajak para khotib agar membukukan khutbah mereka.

Nasihat kematian menjadi judul terakhir buku apik ini. Penulis mengajak pembaca agar membiasakan hadir takziah untuk orang yang meninggal. Ini adalah nasihat agar senantiasa siap menghadapi kematian. Kemudian, buku ditutup dengan epilog, “Menghitung dan Menghargai Waktu”.

__

Kelebihan buku ini tidak terhitung. Salah satunya, membaca buku ini benar, bagaikan membaca sebuah pedoman kehidupan. Nasihat dan pesan yang sapantasnya kita terapkan agar bisa merasakan kehidupan yang lebih bernilai. Buku ini ibarat cermin, seberapa jauh pembaca membiasakan diri terampil mengambil hikmah pada setiap pengalaman dan peristiwa yang dihadapi. Bagaimana pembaca mampu introspeksi diri dan berhijrah.  

Jumlah 39 judul telah membuat saya penasaran, belum puas, dan mencari judul selanjutnya. Mengapa tidak digenapkan menjadi 40 judul? Rupanya, ini perkiraan saya, satu judul sisanya menjadi milik pembaca untuk merenung dan segera mengambil sikap. Segera bertindak mempraktikkan pesan kehidupan seperti dalam buku ini ataukah hanya menutup buku sebagaimana menutup buku lainnya yang sudah selesai dibaca. 

Buku dengan bahasa ringan bahkan sebagian santai ini mudah dipahami. Buku ini juga berani tampil beda dari ukuran dan desainnya. Pada umumnya buku berukuran 14 x 20, buku ini lebih besar. Selain itu, kover buku dilengkapi gambar pintu terbuka, melambangkan filosofi dari buku ini sebagai kitab atau pedoman, sebuah pintu masuk berkehidupan. Halaman pertama berwarna hijau sehingga gambar pintu dengan kertas berlubang itu langsung tembus pada halaman pertama. (Karena khawatir sobek, buku saya pada bagian lubang pintunya saya beri selotip.)

Setiap judul ditulis dengan huruf kapital besar dan berwarna hijau. Setiap halaman judul juga dibuat dua kolom, kolom kiri tertulis kalimat inti atau kalimat pemancing. Bahkan pesan penting yang selalu ada pada tiap judul diblog warna hijau. Ini menarik dan membuat mata bisa refreshing. 

Namun, penulis termasuk berani dalam menggunakan beberapa kata bahasa Jawa tanpa terjemahan meskipun tidak semua, seperti kengawuran, seliweran, sesrawungan, sowan, dan lain-lain. Meskipun kata-kata itu sudah agak familier, bagi orang bukan asli Jawa akan sedikit kesulitan. Akan tetapi, saya yakin penulis bermaksud memberikan pembelajaran agar pembaca menemukan sendiri artinya.

Saya merekomendasikan buku ini kepada siapa pun untuk meneladani dan tervirusi penulis dalam memetik hikmah kehidupan. Dengan mengambil hikmah, kita akan menghayati hidup dengan pemikiran, sikap, dan perilaku yang baru. Berani berubah untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa. Seperti kalimat pembuka kata pengantar yang sangat memotivasi  dari Muhammad Chirzin (Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), “Tiap hari adalah hari baru bagi orang yang berpikiran tajam.”  

Selamat membaca, Salam Literasi.

 

Purwokerto, 23 Januari 2023

    


Peresensi berkesempatan minta tanda tangan penulis Kitab Kehidupan. 


Lubang pada pintu sudah ditutup dengan selotip. 

22 komentar:

  1. Komen perdana. Tinjauan buku yang bagus dan bergizi. Terima kasih, Bu Mien.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama2 Pak...
      Terima kasih juga utk buku yg luar biasa....

      Hapus
  2. hebat resesinya . mengalir menikmati bukunya.

    BalasHapus
  3. Resensi buku kitap kehidupan kereeen Bu Mien

    BalasHapus
  4. Membaca resensi seakan lebih memahami isi buku yang keren

    BalasHapus
  5. Resensi buku yang lengkap dan detail. Keren Bu..

    BalasHapus
  6. Sangat menikmati resensi buku ini. Serasa bersama penulisnya juga yang meresensinya buku ini. Semoga kitab kehidupan menginspirasi pembacanya

    BalasHapus
  7. Resensinya panjang sekali tapi tak terasa dibuat nyaman membacanya. Sampai tak terasa saya membaca semuanya. Kereeeen mantab

    BalasHapus
  8. Angan saya melayang membaca resensi buku ini. Tidak hanya penulis buku yang diresensi adalah tokoh yang saya hormati, juga si penulis resensi begitu pandai menjalin untaian kalimat menjadi bacaan yang menarik. Keren dan mantap sekali sajian bergizi (meminjam istilah Mr. Emcho) dari Bu Mien ini.

    BalasHapus
  9. Resensinya Bagus. Alhamdulillah sy sudah beli fan blm usai baca

    BalasHapus
  10. Subhanallah! Resensinya luar biasa! Saya ingin nulis seperti Teh Mien. Mantap po koe! Mulai dari latar penulia, rangkuman buku, evaluasi isi dan tampilan buku, sampai rekomendasi, ah! Hebat! Abis!

    BalasHapus