Minggu, 28 Agustus 2022

Kecanduan Buku

Ayah Bunda, sangat benar adanya bahwa dalam survei tingkat penjualan buku paling tinggi adalah buku anak. Hal ini dikarenakan setiap orang tua pasti  menyisihkan uangnya untuk membelikan buku anak. Terutama bila masih mempunyai anak balita, bahkan buku-buku dengan harga tinggi pun terbeli.

Ya, sudah sepantasnya bahwa orang tua mempunyai harapan bahwa anak-anak mereka segera mengenal angka dan huruf. Jauh ke depan lagi mereka berharap anak-anak mereka menjadi anak yang pintar. Salah satunya ditunjukkan dengan anak mengenal dan mencintai buku sejak kecil.

Namun, benarkah anak-anak terus mencintai buku? Seiring berjalannya waktu, kebutuhan buku pada anak semakin dipercayakan kepada sekolah sehingga orang tua berkurang dalam pemenuhan kebutuhan buku anak. Bagaimana dengan contoh cerita di bawah ini?

Rara, sejak masih bayi, orang tuanya mulai mengenalkannya kepada buku. Aneka jenis dan bentuk buku dibelikan. Dari buku yang kertas biasa sampai buku kain flanel, bahkan buku tebal yang tidak bisa dilipat, sudah pernah dibelikan. Tidak cukup itu, buku yang cara menulisnya menggunakan spidol pun ada di rumahnya. Tulisan spidol itu bisa dihapus maka sampai dua adiknya lahir, buku itu masih bisa dipakai. Sangat visioner sekali orang tua seperti ini.

Kini Rara sudah kelas 3 SD. Dia sudah menjadi penikmat buku,  bukan hanya membaca tulisannya. Ya, dia memegang buku ibarat menyantap semangkuk bakso. Dia pegang dulu mangkuknya, dia sendok kuahnya sesendok demi sesendok. Kemudian, ia pandangi helaian mie dan kerlap kerlip bawang goreng serta daun seledrinya. Benar-benar dinikmati, setelah itu baru mengaduk dan menyantap semuanya.

Rara menikmati buku dari mengamati kovernya, membuka halaman demi halaman, melihat detail ilustrasi di dalamnya sampai puas, baru dia membaca. Bermula dari buku-buku yang ringan bacaannya, seputar kehidupan binatang dan cerita-cerita imajinasi umumnya untuk anak TK - SD usia bawah. Beralih ke buku-buku pengetahuan, sampai sekarang buku-buku ensiklopedia dan pengetahuan alam sudah menjadi santapannya. Bahkan, sepertinya dia sudah menampakkan kecenderungannya ingin menjadi peneliti.

“Ma, ayo Ma! Kapan ke toko buku?” rengek Rara kepada mamanya. “Buku Rara sudah habis,” sambungnya.

“Buku yang kemarin Sabtu Mama beli?” tanya Mama heran.

“Sudah Rara baca.”
Mama Nina mulai memutar otak. Dulu kebutuhan buku menjadi prioritas saat Rara masih balita. Berbeda halnya sejak Rara masuk sekolah.

“Besok ikut Mama ke sekolah aja, Rara bisa main ke perpustakaan,” rayu Rara.

Kali ini mamanya mengiyakan. Sebenarnya, Mama Nina kurang suka bila Rara ikut ke SMP setelah pulang sekolah. Rara jadi kurang istirahat, malamnya tidak mau belajar. Biasanya pulang sekolah dijemput mamanya dan diantarkan pulang. Selain itu, Sebagian besar koleksi perpustakaan yang Rara sukai sudah Rara baca.

Sepekan kemudian,
“Ma, ayo beli buku, Ma!” Begitu terus Rara bila sudah kehabisan bahan bacaan. Seharian bisa menampakkan kesedihannya. Mamanya juga belum memberikan alternatif membaca buku dari hp karena dampak negatif masih menjadi kekhawatirannya. HP digunakan Rara biasanya hanya untuk membantu hafalan Al Quran.

Dengan berbagai upaya, Mama Rara mengupayakan tambahan buku. Kini buku-buku lama seputar cerita anak dan majalah anak mulai disodorkan kepada Rara.

Mama Rara lebih bersyukur menghadapi Rara seperti sakau kecanduan buku daripada tidak suka membaca buku. Sejauh ini yang dibaca Rara masih dalam pantauan orang tuanya. Mereka berharap ada pengaruh yang bagus dari kegemarannya membaca buku sejak kecil.
***

Ayah Bunda, bersyukurlah yang telah berhasil menanamkan budaya membaca bagi anak-anak. Bila mengalami kecanduan, tentu bisa dicarikan solusinya. Berada di lingkungan yang rendah minat baca, adalah sebuah prestasi bisa menanamkan anak gemar membaca dan mencintai buku.*

Sumber gambar: google

8 komentar: