Minggu, 06 Februari 2022

Kebahagiaan Keong Sawah (fabel)


“Keki, ikut aku, yuk!” ajak Keke Keong Sawah. Keki, adiknya, sedang malas-malasan di dalam air. Kakaknya ingin mengajak jalan-jalan.

“Aku di sini saja,” jawab Keki lemas. Dia masih merasa ngantuk. Keki ingin melanjutkan tidurnya.

“Itu ada daun padi, muda-muda sekali. Tampaknya enak,” rayu Keke. Keki tidak beranjak. Menoleh pun tidak. Setelah berpikir beberapa saat, Keki mulai menggeser badan.

“Tunggu, aku ikut!”

“Nah, begitu dong, cantik. Bermain dengan kakak pasti seru,” bisik Keke.

Keke dan Keki Keong sawah bergerak mendekat tepian parit. Di sana sudah banyak aneka keong atau siput. Sepanjang hari mereka lebih banyak di dalam air. Menjelang malam, mereka bergerak ke permukaan meninggalkan air. Binatang bercangkang ini banyak menempel di daun atau batang tanaman di sawah.

Di setiap sawah, rawa-rawa, pinggir danau, dan pinggir sungai kecil atau parit, di sana akan tinggal keong-keong. Bentuk cangkangnya yang seperti kerucut membulat, keong sawah mudah dikenali.

“Hai, mau ke mana?” sapa Tut Tut Keong Sawah melihat Keke dan Keki lewat.
keong mas


“Halo, kamu siapa?” tanya Keke.

“Kita sesama keong atau siput sawah. Mencari makan di sini saja. Padi-padi ini baru saja ditanam, daunnya empuk dan enak,” ajak Tut Tut.

“O, iya. Terima kasih. Wah, kita sesama keong sawah, ya?” kata Keke.

“Kalau itu siapa, Kak?” tanya Keki.

“Oh, itu Kemas, Keong Mas,” jawab Tut Tut.

 “Sebenarnya sama seperti kita. Tetapi, rumah keong mas berwarna  lurik kecokelatan. Kalau warna rumah kita hijau kehitaman.

“Rumah?” tanya Keki heran.

“Rumah di atas badannya. Cangkang maksudku. Hehe…,” jawab Tut Tut bercanda.

“Oh, iya ya? Warna cangkang kita hijau kehitaman.”
 
Sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Kemas teriak.

“Awas ada pemburu keong. Cepat sembunyi!” teriak Kemas.

“Mengapa kita harus sembunyi?” tanya Keki dan Keke heran.

“Mereka mencari keong-keong karena kita memakan daun-daun padi,” jelas Tut Tut.

“Oh, begitu,” jawab Keke dan Keki bersamaan.

“Itu dulu. Kita dianggap hewan pengganggu atau perusak padi. Makanya, petani tidak suka dengan kehadiran kita,” tambah Kemas.

“Apa bedanya dengan sekarang, Kemas?” tanya Keki ingin tahu. Dia menjulurkan kepalanya ingin segera mendapatkan jawaban dari Kemas. Keong mas segera mendekat.
sate keong

Sekarang banyak orang berburu, mengumpulkan keong setiap hari. Kalau kita tidak waspada, kita tertangkap dan menjadi santapan mereka. Biasanya mereka akan mengolah kita menjadi sate keong. Hih..., kita dimandikan di dalam cabai merah! Pedas sekali. Aku tidak mau.”

“Hih...,” sambung Keki yang ikut-ikutan merasa takut dan enggan bila harus diolah di atas api.
kracak keong bumbu kuning

 Keke dan Tut Tut ikut bergidik dan ngeri membayangkan badannya bermandikan cabai. Panas dan pedas.

“Cepat sembunyi, masukkan badanmu ke lumpur!” teriak Kemas lagi.

“Kamu tidak bersembunyi, Kemas?” tanya Tut Tut.

“Tenang saja, mereka lebih mencari kamu. Mereka mencari kamu karena dagingmu enak. Sebenarnya kita sama. Cuma, orang-orang sudah menganggap kalau keong mas beracun.”

“Mengapa bisa beracun?” tanya Keki penasaran.

“Karena mereka tidak pintar mengolah. Seharusnya mereka mencuci keong mas hingga bersih. Yang sudah pintar memasak, gak akan keracunan. Apalagi gizi keong mas itu tinggi,” jelas Keong Mas.

“Mengapa mereka makan keong? Bukankah ada daging dan susu?” tanya Keke.

“Tidak semua orang bisa mendapatkan daging dan susu. Daging keong bisa menjadi penggantinya. Meskipun kita hidup di sawah, Tuhan menciptakan kita sebagai hewan yang memiliki protein tinggi,” tambah Tut Tut.

“Jadi, untuk orang-orang yang tidak bisa beli susu, kita bisa membantu mereka. Betul, kan?” teriak Keki paham.

“Wah, adikmu pintar, Keke,” sanjung Kemas.

“Siapa dulu kakaknya?” jawab Keke. Hehe.... Keke dan Keki berpandangan sambil tertawa.

“Benar. Kita ini hewan pengganggu padi-padi petani. Namun, sekarang mereka memburu kita untuk  dijadikan santapan,” jelas Tut Tut.

“Wah, kamu pintar. Eh, cepat masuk lumpur!” gantian Keke yang berteriak.

Kaki para petani masuk sawah. Selangkah demi selangkah kaki mereka hampir selutut berselimutkan lumpur. Kaki-kaki itu menggetarkan lumpur tempat para keong sembunyi.  Tangan mereka terampil memungut keong yang tampak.
Namun, nasib baik menghampiri para keong itu. Mereka bersembunyi lebih dalam sehingga tidak tertangkap para petani.  Mereka pun bergerak pulang dengan perut yang kenyang dan hati yang riang. Sudah banyak daun padi yang mereka santap. Sambil pulang, mereka mendoakan agar para petani masih bisa panen padi.
 
Di tepi sawah, mereka bertemu Kakek Gondang, Keong Gondang, keluarga keong sawah juga.

“Kalian dari mana?” sapa Kakek.

“Dari sawah, Kek,” jawab Tut Tut. “Kakek sehat?”

“Kakek sehat,” jawab Kakek. Kakek Gondang badannya hitam seperti batu. Karena seperti batu, tubuh Kakek aman, tidak diambil petani.

“Kalau mencari makan tetap harus waspada. Bahaya selalu mengancam kalian,” pesan Kakek.

“Apakah hidup kita selalu dalam bahaya, Kek?”

“Tidak perlu resah. Makhluk Tuhan sekadar menjalankan perintah-Nya. Kita harus siap sampai kapan kita hidup dan harus siap juga bila harus mati,” jelas Kakek yang belum dimengerti para keong.

“Sama-sama mati diambil petani, tetapi berusahalah sampai menunggu bulan puasa.”

“Apa maksud Kakek?”

“Masyarakat Banyumas memiliki kebiasaan berbuka puasa dengan makan kracak keong. Bahannya keong sawah, keluarga kita.”

“Kita mati dimasak mereka, Kakek?” sergah Keki.

“Iya, Cucuku. Tetapi, mati di bulan puasa menjadi kebanggaan warga keong. Setidaknya, orang-orang yang menyantap kita dalam suasana penuh bahagia saat berbuka puasa. Mereka berdoa dengan khusyuk sebelum menyantap kita,” terang Kakek. Tut Tut, Keke, dan Keki mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

“Apakah mereka tidak memasak keong selain bulan puasa?”

“Ada yang memasak, tetapi sedikit. Karena yang ingin membeli kracak keong juga sedikit,” jawab Kakek.

“Apakah kita bisa dimasak soto, Kek?” tanya Keki sedih.

“Kamu tidak perlu sedih, Cu. Masyarakat Banyumas pintar memasak. Mereka mengolah keong menjadi sate keong, tongseng keong, atau rica-rica. Olahan yang terkenal adalah masakan kracak keong seperti bumbu rica-rica. Dalam satu panci ada ratusan keong. Kamu tidak perlu sedih,” jelas Kakek sambil mengelus kepala Keki. “Kakek bisa membayangkan wajah orang-orang yang bersyukur menikmati kelezatan kracak keong. Syukur dalam doa-doa setelah seharian berpuasa.”

“Bagaimana kami bisa bertahan sampai bulan puasa, Kek?” tanya Keke semangat.

“Sekitar satu bulan lagi bulan puasa tiba. Waspadalah dari para pemburu keong. Rendam tubuhmu dalam-dalam ke dalam lumpur. Kalau kamu kuat, bila sedang menempel di batang pohon, jangan lepaskan peganganmu!”

“Apa bisa, Kek?” tanya Tut Tut ragu.

“Mengapa Kakek bisa bertahan di sini?”

“Tuhan menyisakan Kakek di sini. Sepertinya supaya Kakek bisa bercerita kepada kalian.”

“Benar juga, Kakek. Terima kasih, Kakek sudah memberikan nasihat yang luar biasa,” kata Keke.
 
Keong-keong itu pun berlomba untuk bertahan agar menjumpai bulan puasa.*

Sumber gambar: google

8 komentar: