Minggu, 16 Oktober 2022

Dawet untuk Bu Reni


 

“Apa orang tua biasa bertengkar seperti itu, Bu?” tanya Mamat dengan butiran-butiran air mata yang mulai berjatuhan. “Tapi, saya melihat orang tua teman-teman sepertinya tidak pernah bertengkar, Bu.”

Pertanyaan Mamat selalu terngiang di kepala Reni. Seperti baru tadi pagi ia mendengar kalimat itu. Obrolan di gubuk dawet Reni bersama seorang muridnya. Semua berlalu begitu cepat. Dimulai ketika dia mampir membeli dawet. Ya, cendol dawet minuman tradisional yang hampir di setiap daerah ada.

“Dawetnya manis dan enak, Dik,” kata Reni memuji. Tangannya merogoh uang di dalam tas untuk membayar.

“Terima kasih,” jawab Mamat santun. Mamat, nama sebenarnya Rahmad, seorang bocah penjual dawet di pinggir sawah daerah Cilongok, Banyumas. Jalan yang menghubungkan Jogjakarta, Kebumen, Banyumas, sampai Jakarta.

Di pinggir jalan dengan latar belakang persawahan, beberapa gubuk penjual dawet banyak berdiri di sana. Selain orang yang lewat kehausan, biasanya rombongan dengan kendaraan pribadi akan singgah untuk mencicipi minuman dingin dan segar ini. Biasanya dawet hitam atau dawet Banjarnegara yang berwarna hijau. Dengan menikmati pemandangan sawah-sawah dan pohon-pohon kelapa yang bergerombol, lepaslah dahaga dan kepenatan mereka.

“Berapa?” tanya Reni, seorang perempuan muda cantik dengan kerudung yang dilengkapi bros di dada kiri.

“Lima ribu, Mbak.” Mamat membalas dengan senyum sambil memungut gelas dawet pembeli siang itu. Bagi Mamat, Reni pantas dipanggil Mbak, bukan Bu.

“Terima kasih, ya. Sepertinya besok aku ingin membeli lagi,” tambah Reni dan segera menghampiri motornya. Dia lega sudah menemui kepala sekolah dan melihat lokasi SD tempat dia besok mengajar.

“Terima kasih, Mbak,” balas Mamat.

Sepanjang perjalanan pulang, dia masih begitu menikmati manisnya rasa gula jawa yang tersisa di mulutnya. Segelas dawet khas Banjarnegara sedikit bisa mengganjal rasa laparnya. Apalagi tidak jauh dari sekolah, sewaktu-waktu bisa mampir. Dalam hati Reni bertanya, mengapa penjualnya anak-anak. Mengapa bukan orang tuanya?

Reni, bu guru muda, baru lulus S-1 dua bulan lalu. Tadi pagi pukul 08.00 tadi pagi, ia baru pertama kali dia datang ke daerah Cilongok, langsung transit di rumah salah satu kenalan. Memasuki semester awal ytahun ajaran ini, dia mendapatkan panggilan untuk mengajar di salah satu sekolah dasar. Perjalanannya dari Kebumen dia tempuh dengan sepeda motor seorang diri. Bekal dia sering berorganisasi selama kuliah, menjadikannya mandiri dan mempunyai banyak kenalan. Dia juga supel dalam bergaul.

Tujuan selanjutnya adalah kembali ke rumah Yuli, teman kuliahnya. Meskipun Yuli sudah bekerja di Semarang, Reni akrab dengan orangtua Yuli. Waktu mereka kos bersama di Jogja, orangtua Yuli sering menengok. Reni sudah biasa ngobrol dan sangat akrab. Berhubung Yuli anak tunggal, bisa jadi Reni diminta tinggal di rumah orangtua Yuli, tidak perlu mencari kos-kosan. 

“Betah, Ren?” tanya Yuli tiba-tiba dalam chat di hp Reni.

“Alhamdulillah. Ayah Ibu kamu baik banget. Kata mereka aku tidak usah mencari kos.”

“Syukurlah. Memang pantasnya begitu. Titip orangtuaku, ya Ren,” kata Yuli menutup obrolan malam itu.

Senin pagi, Reni dengan semangat memasuki sebuah halaman sekolah. Tampak anak-anak berlarian di halaman dan lorong sekolah. Sebagian tampak sedang berdatangan dengan berjalan kaki, hanya sebagian kecil yang diantar menggunakan motor atau sepeda.

“Ada Bu Guru baru!” teriak salah satu anak laki-laki yang berjalan di belakang motor Reni. Ia berlari menghamburkan dirinya ke kerumunan teman-temannya. “Itu guru baru!” tambahnya, seorang anak yang tubuhnya lebih besar dari yang lain. Ia menunjukkan tangan ke arah Reni. Reni sedikit mendengar dan hanya melempar senyum. Segera dia memarkirkan sepeda motornya.

“Anak-anak, mulai pagi ini kita mendapatkan guru baru di kelas 5 menggantikan Bu Tuti. Silakan Bu Reni memperkenalkan diri,” ucap Pak Adi, Kepala Sekolah yang rambutnya sudah memutih itu, sebagai pembina upacara.

“Terima kasih, Pak,” kata Reni bersamaan dengan tepuk tangan anak-anak.

Kalimat perkenalan mengalir lancar Reni ucapkan di hadapan peserta upacara yang tidak terlalu banyak. Sekitar 15 - 20 anak kali enam kelas ditambah 7 guru. Dibanding tempat Reni praktik lapangan di SD kota, Reni memandang, siswa di hadapannya adalah jumlah yang sedikit. Tiba-tiba mata Reni tertuju pada sosok anak laki-laki di barisan tengah kelas 5. Badan dan tingginya sedang, kulitnya gelap karena sering beradu dengan panas matahari.

“Bukankah itu penjual dawet kemarin?” bisik Reni sambil turun dari mimbar. Reni melihat anak hitam manis itu tidak sedikit pun menundukkan kepala. Rambutnya hitam cepak, badannya tegap, dan sorot matanya tajam menyimak siapa pun yang berbicara.

 Sebelum masuk kelas, Reni menyempatkan melongok isi kelas dari jendela. Kelas lima, tempat Reni mengajar dan akan menghabiskan hari-harinya. Ia tidak sabar ingin menyapa anak-anak. Tampak anak-anak perempuan ngobrol dan anak laki-laki berlari-larian di sela-sela meja kursi. Sebagian lagi memainkan kertas bentuk pesawat, robot, dan mobil. Ada Mamat duduk di depan meja guru sedang membaca buku.

“Selamat pagi anak-anak,” sapa Reni dengan tersenyum.

“Selamat pagi, Bu Guru,” jawab anak-anak kompak. “Selamat pagi Bu Reni,” jawab Mamat.

“Ya, kalian boleh memanggil Bu Guru atau Bu Reni,” balas Reni. “Siapa nama kamu?”

“Saya Mamat, Bu,” balas Mamat.

“Saya Lina, Bu.”

“Saya Hasan, Bu.” Anak-anak sekelas bersahutan tidak mau kalah menyebutkan nama masing-masing.

Suasana kelas sangat hangat, Reni sukses membuka perkenalan dengan ice breaking aneka tepuk sampai-sampai anak-anak kelas lain penasaran kemudian melongok dari pintu dan jendela. Sepanjang hari Reni membersamai anak-anak kelas lima. Saat istirahat, Reni menyempatkan menyapa Mamat. Ternyata benar, dialah penjual dawet itu.

“Bu Reni, saya pulang dulu,” ucap Mamat dengan mengulurkan tangan minta salaman. Reni pun spontan menyodorkan tangannya. Begitulah Mamat, selepas salam penutup jam terakhir dari gurunya, dia selalu meluncur bak anak panah meninggalkan sekolah.

“Mau ke mana si Mamat?”

“Biasa, Bu. Dia mau menjaga warung dawet ibunya,” jawab Anto, siswa paling besar di kelasnya. Dialah yang tadi pagi pertama mengabarkan ada guru baru.

“Ibunya ke mana?” selidik Reni.

“Kalau Mamat datang, ibunya pulang jadi buruh cuci.

“Cuci apa?” sambung Reni.

“Cuci baju, Bu,” jawab yang lain.

Pulang sekolah, seperti ucapan Reni sebelumnya, dia mampir lagi ingin membeli dawet. Ketika dia datang, ada dua orang sedang menikmati dawet dan ngobrol santai. Reni tidak melihat Mamat, tetapi dia sempat melirik ada buku tulis terbuka di dekat barisan gelas. Rupanya Mamat bekerja sambil belajar.

“Maaf, Pak. Di mana penjualnya?”

“Baru saja keluar, mau mengambil air katanya,” jawab salah satu pembeli.

Khawatir lama, Reni pamit dan mengurungkan niatnya minum dawet. Selain itu, Reni merasa lelah sehingga ingin segera pulang.

Hari berikutnya, di ujung jam istirahat, Reni melihat hampir sekelas berdiri melingkar, entah siapa yang duduk di tengah. Rupanya Mamat menjelaskan ulang pelajaran matematika kepada Anto. Mamat dikerubuti teman-temannya.    

“Bagaimana cara menghitungnya, Mat? Soal per-peran, ajari lagi, Mat!” pinta Anto yang agak tertinggal.

“Disamakan dulu angka penyebutnya, itu angka yang di bawah strip,” jawab Mamat dengan sabar.

“Terus angka yang di atas bagaimana?” tanya Anto lagi.  Teman-teman Anto ikut menyimak meskipun sebenarnya mereka sudah paham hitungan tersebut.

 

Sepekan dua pekan berlalu. Sebulan dua bulan pun terlewati. Sampailah pada ujung semester satu. Baru saja selesai pengisian rapor, Reni lelah sekali. Namun, dia merasa lega. Dia bisa mengantarkan murid-muridnya melewati satu semester dengan sukses. Banyak orang tua yang menitipkan salam dan terima kasih kepada Reni. Dua hari lagi penerimaan rapor. Setelah itu libur panjang, Reni sudah tidak sabar ingin segera bertemu orangtuanya di Kebumen. Dia ingin menikmati suasana di rumah dengan lebih lama.

“Mat, laris dawetnya?” tanya Reni siang itu.

“Alhamdulillah, Bu. Bu Reni mau minum dawet? Khusus hari ini Bu Reni minum dawet tidak usah bayar. Mau ya, Bu?” bujuk Mamat.

“Tumben, Mat. Harusnya Bu Reni yang nraktir kamu besok setelah rapotan,” balas Reni dan Mamat hanya tersenyum. Tangannya dengan cekatan menyiapkan segelas dawet dilengkapi santan dan es batu. Reni tersenyum haru. Dia melihat ada sesuatu yang tidak biasanya pada Mamat.

“Bu, mungkin besok, Mamat tidak jualan dawet lagi, Bu,” kata Mamat dengan menjatuhkan pandangannya ke rerumputan di samping gubuk dawetnya. Hening sesaat, matanya pindah menerawang jauh ke langit biru.

Langit yang dipenuhi awan putih seakan beku, tak ada awan yang bergerak. Bu Reni pun terdiam tidak melanjutkan suapan dawetnya, padahal di mulut sudah kosong dari tadi.

“Mamat besok pagi diajak Pakde ke Jakarta.”

“Untuk apa? Berlibur? Atau pindah sekolah?” Reni memberondong Mamat dengan pertanyaan yang sedari tadi tertahan.

“Diajak jualan dawet di sana. Sambil mencari bapak. Bapak tidak pernah mengabari Mamat di mana alamatnya. Sejak pergi dua tahun lalu, bapak baru dua kali mengirim uang.”

Reni tidak bisa menelan ludah. Dia kaget dan heran. Ujung mata Reni melirik ke arah Mamat. Kedua mata Mamat berkaca-kaca.

“Sebelum Bapak pergi, Ibu dan Bapak sering bertengkar. Kalau Ibu marah, kadang membanting gelas dan teriak-teriak, adik menangis kencang. Mungkin karena kaget atau tidak suka ibu bapaknya bertengkar.”

“Berapa umur adikmu sekarang?”

“Masih lima tahun, Bu. Sepertinya karena Bapak tidak punya uang, Ibu jadi sering marah-marah. Dulu bapak ternak ayam. kemudian bangkrut. Waktu Bapak sukses, aku dan Ibu sering makan enak. Aku juga sering beli mainan di toko,” terang Mamat dengan sesekali ada senyum tipis di bibirnya. Dia sedikit mengenang pengalaman indah masa kecilnya.

“Bu, apa orang tua biasa bertengkar seperti itu, Bu?” tanya Mamat dengan butiran-butiran air mata yang mulai berjatuhan.

“Mat….” Suara Reni berat. Dia masih berpikir untuk mencari kata-kata yang tepat.

“Tapi, saya melihat orang tua teman-teman sepertinya tidak pernah bertengkar, Bu,” imbuh Mamat. “Aku bahkan jarang melihat Ibu tersenyum, Bu.”

“Kamu yang sabar, ya Mat!” bujuk Reni dengan mengusap punggung Mamat. Mamat hanya tertunduk. Sesekali kakinya menjejak-jejak ke tanah. “Mengapa tidak menyelesaikan kelas lima, Mat? Atau biar lulus sekalian. Atau, Mamat akan melanjutkan sekolah di sana?”

“Kata Pakde, Mamat tidak perlu sekolah. Yang penting saya sudah bisa berhitung dan membaca,” jawab Mamat. Tangannya meraih buku bergambar B.J. Habibie, buku yang dia pinjam dari Hasan. “Mamat ingin seperti Pak Habibie, Bu.”

Jawaban Mamat bagaikan pedang, mengiris dan merobek hati Reni. Reni tidak kuasa menahan air matanya. Tangannya sibuk mencari tisu dalam tasnya. Setelah menarik napas, Reni berusaha membuka mulutnya. “Mat, apakah Bu Reni bisa berbicara dengan ibumu?”

“Tidak perlu Bu. Kemarin Bude Mamat dan Bu RT sudah menasihati ibu, tetapi ibu memaksa Mamat untuk tetap berangkat. Baju-baju Mamat sudah dimasukkan tas, Bu.

Reni jadi ingat kata-kata Ibu Mamat sewaktu Reni menjenguk Mamat di rumah. Rumah Mamat tidak jauh, sekitar tiga petak sawah di belakang gubuk dawetnya. Mamat pernah sakit panas dua hari.

“Ibu bilang juga apa, Mat. Tidak usah sekolah, gara-gara sekolah, kamu jualan dawet hanya setengah hari. Sekarang malah sakit. Uang ibu sudah habis.”

Tiba-tiba, kilat menyambar. Langit yang semula biru terang mendadak gelap tanpa mereka sadari. Rupanya langit ikut berduka. Duka langit bulan Desember. Sekali lagi petir dengan kilatan cahaya membelah langit dengan gagahnya. Sekejap disambung gelegar guntur bersahutan memenuhi langit. Giliran pasukan air hujan berebut jalan ke arah barat melewati gubuk dawet Mamat. Angin tidak mau ketinggalan unjuk gigi menggulung-gulung tumpukan merang, rumput, dan beberapa pohon.

“Mat, dawetmu ditutup rapat, cepat!” teriak Reni. Penutup gubuk yang hanya dari daun kelapa kering atau blarak itu tidak sanggup melawan hujan dan angin. Air pun masuk di sela-sela stoples, gelas, meja, bahkan kursi.

“Buku-bukuku!” teriak Mamat langsung menyambar buku-bukunya kemudian dimasukkan ke dalam kresek. “Bu Reni basah, ayo kita ke depan toko itu, Bu. Kita berteduh di sana!” ajak Mamat dengan memeluk buku-bukunya. Mereka segera menuju sebuah toko di tepi jalan yang sudah beberapa bulan tutup.

Bruk….

Baru lima langkah mereka berjalan, gubuk dawet Mamat ambruk menutupi keranjang bambu tempat Mamat menyimpan dawet.

“Ya, Allah, gubukmu, Mat!”

“Gak papa, Bu. Ayo, jalan saja! Kita berteduh di terasnya, Bu.”

 Sambil menahan dingin, mereka berhasil berteduh meskipun kencangnya angin masih bisa mengantarkan air hujan ke tubuh Mamat dan Reni. Reni menatap motornya di samping reruntuhan gubuk tempat biasa Mamat mengumpulkan rupiah demi rupiah.

“Motor Bu Reni basah,” kata Mamat dengan setengah menggigil.

“Tidak mengapa, Mat,” jawab Reni pelan.

Keheningan menyelimuti mereka lagi. Petir dan Guntur sesekali masih bersahutan.  Berkali-kali Reni menoleh ke arah Mamat. Tampak Reni mencari waktu yang tepat untuk berbicara. Tidak lama kemudian, Reni menurunkan tubuhnya. Pandangannya kini tepat di depan mata Mamat. Reni menyentuh pundak Mamat.  Reni mengumpulkan energi untuk berkata-kata karena bersaing dengan derasnya hujan.

“Mat, gubuk dawetmu roboh. Sepertinya kamu memang harus pergi. Mamat anak pintar dan sopan. Insyaallah kamu bisa meraih cita-citamu. Kalau memang itu kehendak Ibu, kamu ikuti dengan ikhlas, ya! Semoga kamu bertemu orang baik di Jakarta yang bisa membantu kamu mewujudkan cita-citamu. Jangan putus berdoa, ya! Semoga kamu juga bisa bertemu Bapak.” Kalimat terakhir Reni disambut dengan guntur yang menggelegar keras. Guntur itu seakan pamitan dan mengaminkan harapan Reni. Setelah itu, langit mulai tenang, hujan mulai berkurang.  

Mata Mamat tidak berkedip. Ia berusaha mendengarkan pesan Bu Reni, guru yang sejak kedatangannya membuat Mamat semakin semangat belajar. Mamat berusaha memahami dengan mengangguk pelan. Terakhir, ia jatuhkan kepalanya di pundak Reni. Reni pun menggayuh kepala Mamat dalam basah.

Batin Reni bertarung dengan kuatnya. Ia merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan Mamat. Seharusnya Mamat bisa melanjutkan pendidikannya dan menikmati masa anak-anaknya seperti halnya teman-teman Mamat. Air mata Reni tumpah tak terbendung seiring derasnya hujan menyelimuti bumi.

Sementara itu, Mamat masih terpaku dan membisu. Ia biarkan air matanya membasahi pundak Reni. Kaus tipisnya sudah melekat dengan tubuh, basah dari atas sampai bawah.

“Jaket ini untuk Mamat, gak papa kegedean dikit, ya. Bagian dalam masih agak kering. Nanti Bu Reni pulang dengan mantel,” kata Reni sambil melepas jaketnya. Ia pakaikan jaket biru tua itu ke tubuh Mamat.

Mamat hanya diam. Ia pakai jaket itu dan matanya menatap langit. Dia membayangkan di Jakarta bisa bertemu bapak dan bisa melanjutkan sekolah.*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tentang Penulis

Sumintarsih, mengajar di SMP Al Irsyad Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah sejak tahun 2000 dan menyelesaikan S-2 di Universitas Muhammadiyyah Purwokerto. Ia pernah meraih Juara Harapan 1 Lomba Penulisan Cerita Rakyat yang diselenggarakan oleh Unindra Jakarta (Juli 2020). Aktif berliterasi sejak mengikuti pelatihan Sagusabu MediaGuru (2017) dan sejak 2018, ia sudah menerbitkan 5 buku solo: Perjalanan Menuju Sekolah Unggulan (profil sekolah), Ada Bisokop di Sekolah (memoar), Awas Ada Macan (cerpen anak), Kado Istimewa untuk Remaja (motivasi remaja), dan buku paling baru tahun 2022: Anakku Investasi Masa Depanku (sehimpun tulisan tentang parenting), serta 29 buku antologi, salah satunya buku untuk anak Cerita Binatang (Elexkids, 2022). Ia senang terus belajar menulis dan mengajak orang-orang di sekitarnya untuk menulis.

 

Email: sumintarsihpurwokerto@gmail.com

IG: sumintarsih_24

Blog: miensumintarsih.blogspot.com

 

 

 

14 komentar: