Senin, 07 November 2022

Pada Sebuah ID Card


Tik tik tik…

Bunyi jarum jam dinding semakin jelas terdengar di sebuah ruang kosong. Puluhan meja kursi tak berpenghuni. Papan tulis sudah bersih siap dipakai esok hari. Bunyi jarum jam itu bersautan dengan teriakan dalam hati Sinta. Cepat pulang, cepat pulang, cepat pulang...!

Sebentar lagi waktu menuju pukul 15.30, jam kepulangan para siswa. Ini bertepatan dengan hari pertama uji coba kepulangan siswa kelas 4 – 6 SD setelah salat asar. Adapun pekan-pekan sebelumnya siswa pulang pukul 14.30 dan sebelumnya lagi pukul 13.30. Sebuah sekolah Islam yang ingin menerapkan full day school.

Sinta membayangkan Lisa bersama eyang putrinya. Lisa, gadis kecil anak pertamanya yang baru berumur dua tahun. Bukankah ini usia anak yang seharusnya banyak ia temani? Apalagi, ayahnya kerja di luar kota. Sepekan sekali baru bisa menggendong dan mengajak bermain Lisa.

“Bu, jangan melamun!” suara Bu Rahma membuyarkan lamunan Sinta. Guru yang bertubuh tinggi ini duduk di pojok belakang, kelas 6A.

“Nggak melamun, kok Bu,”

“Iya, tangannya memegang buku, tetapi tatapannya kosong. Sedang libur, to? Kok nggak ke masjid. Sama, dong! Hehe,”

Tawa Rahma memaksa Sinta membalas dengan senyuman. Sebenarnya sudah dari jam dua Sinta menyiapkan tasnya. Begitu bel pulang, ia siap berlari dengan sepeda motornya. Sambil menunggu bel pulang, koreksian pekerjaan siswa masih merayunya agar diselesaikan segera. Satu per satu nilai tugas membuat puisi ia sematkan di buku-buku itu. Ia tidak ingin membawa tumpukan koreksian ke rumah.

Senin pagi, di halaman sekolah. Mentari di langit sedikit malu-malu menampakkan dirinya. Keteduhan pun memayungi peserta upacara pagi itu. Namun demikian, satu dua anak tampak sudah kelelahan setelah berdiri memaku. Saatnya sekolah menyampaikan berbagai pengumuman, saatnya pasukan putih merah itu boleh mengambil posisi duduk.

“Juara pertama lomba desain kelas menyambut Ramadan adalah kelas 6A!” Suara Pak Bani, Wakil Kepala Sekolah, menggema disambut sorak sorai siswa kelas 6, terutama kelas 6A.

“Alhamdulillah, selamat ya! Anak-anak. Kalian sangat membanggakan,” seru Sinta dengan segera menyerbu barisan 6A.

“Hore! Kelas kita menang!” teriak Asti, ketua kelas, disambut tepuk tangan teman-temannya.

“Lomba membaca puisi, juara II adalah Nabila kelas 6A!” kata Pak Bani menggemparkan kelas 6A lagi meskipun sebagian siswa kelas lain sedikit terdengar berteriak “Huu!”. Rupanya kesenangan kelas 6A adalah kekecewaan kelas lain yang belum menang.

“Juara III lomba poster, Aryandito kelas 6A.” Suara Pak Bani membuat kelas 6A semakin pecah. Lengkap sudah suka cita mereka karena dari 5 perlombaan, 3 lomba tembus menang selain lomba sambung ayat dan pidato.

“Ayo Asti! Ajak teman-temanmu maju menerima hadiah!” perintah Sinta. Asti pun berdiri merapikan kerudungnya dan bersiap-siap maju untuk menerima hadiah. Tidak lupa ia mengajak Nabila dan Arya. Beberapa pemenang dari kelas lain juga sudah maju.

Hingar bingar kemenangan dalam perlombaan itu berefek dalam beberapa hari. Anak-anak jadi semangat dan makin percaya diri dalam belajar. Kegembiraan itu pun dirasakan Sinta sebagai wali kelasnya. Ia sangat bersyukur bisa membersamai anak-anak hebat yang kreatif dan sukses diberi tanggung jawab ini.

“Bu, ayo segera ke ruang rapat!” ajak Bu Rahma dan Bu Ani yang kelasnya berdekatan dengan kelas Sinta. Di sekolah, salah satu tugas wali kelas adalah mendampingi keseharian siswanya sehingga berkantor di dalam kelas. Demikian juga mereka bertiga dari kelas masing-masing.

“Sepertinya ada hal penting yang akan disampaikan oleh kepala sekolah,” bisik Bu Rahma, wali kelas 6B yang berbadan subur ini.

“Bukankah setiap rapat juga ada hal-hal penting yang disampaikan?” sela Sinta.

“Rupanya Bu Sinta belum mendengar isu yang beredar,” ledek Bu Ani yang guru olahraga ini disambut muka Sinta yang makin penasaran. Mereka pun bergegas dan segera bergabung di ruang rapat. Di sana, 21 guru karyawan sudah duduk memenuhi kursi salah satu kelas.

Setiap Sabtu, seluruh siswa pulang lebih awal. Satu jam sebelum zuhur seluruh guru berkumpul. Tidak hanya satu jam, rapat bersambung sampai asar, tidak jarang malah lebih sore lagi. Dari masalah A sampai Z dibahas di sana. Dari masalah tata tertib siswa, pembelajaran, pengumpulan nilai, ketertiban salat berjamaah, sampai masalah sandal dan jajan di kantin.  Sebuah sekolah di tengah kota Yogyakarta yang sedang mencari bentuk baru, sungguh sangat menguras energi. Selain aneka program baru, seluruh tenaga dan perhatian harus dikerahkan untuk menjawab tantangan dari yayasan. Kurikulum dan sistem baru dimunculkan untuk menyulap SD swasta ini agar menjadi sekolah pilihan masyarakat.

“Mohon maaf, mulai Senin besok, saya mengakhiri tugas mengajar di sini. Terima kasih Bapak Ibu telah memberikan ilmu dan pelajaran berharga bagi saya. Banyak salah saya mohon dimaafkan.” Bagai petir menyambar, kalimat mohon diri dari Pak Rian meruntuhkan benteng pertahanan di sudut hati Sinta. Semangatnya yang baru beberapa hari terakhir ini bangkit, secepat ini runtuh kembali. Hancur berkeping-keping.

“Kenapa, sih? Ada apa dengan Pak Rian?” Bisik-bisik terdengar dari peserta rapat, terutama deretan ibu-ibu. Bisikan hati paling keras adalah pada Sinta sendiri. Sinta bukan hanya berbisik, ia sedang meronta dan menjerit di dalam hatinya. Hatinya tercabik-cabik, apalagi akhir bulan lalu Bu Yanti sudah lebih dulu berpamitan, persis seperti pemandangan sore ini.

“Bu! Bu Sinta! Bu Sinta nggak papa?” panggilan dari Bu Rahma kembali mengagetkan Sinta yang duduk berdampingan dengan tembok kelas. Meskipun banyak suara, Bu Rahma terbukti paling perhatian dengan Sinta. “Jangan melamun, Bu!” tambahnya.

“Eh, ya. Saya nggak papa kok, Bu!” balas Sinta setengah terkaget. Itu jawaban bohongnya untuk kesekian kali Sinta menyimpan rasa gundahnya. Sinta sedang bercakap-cakap dengan hati kecilnya. Apakah dia akan mengikuti jejak Bu Yanti dan Pak Rian? Atau terus bergulat dengan waktu bersama Bu Rahma dan Bu Ani?

Secara materi, Sinta patut bersyukur. Yang ia terima dari yayasan tiap bulan cukupan dan lancar. Pembinaan mental ruhani rutin ia terima dan lingkungan kekeluargaan sangat baik. Sepertinya karena tantangan fisik yang tidak semua orang tangguh menghadapi.  Full day Senin sampai Jumat dan Sabtu setengah hari. Hal ini yang membuat sebagian guru berpikir ulang.

***

Itulah kenangan 21 tahun lalu yang membuatnya tersenyum sendiri di pojok kelas. Hal yang tidak enak, pada waktunya akan berubah menjadi kenikmatan. Gara-gara Mia, salah satu siswanya yang telah membuat Sinta menimang-nimang ID card.

“Bu Sinta, M.Pd. itu apa?” tanya Mia polos.

“Gelar S-2, Nak,” jawab Sinta lembut.

“Wah, hebat! Bu Sinta kuliah dua kali, ya? Mamaku cuma satu kali,” tambahnya dengan tersenyum memandangi ID card Sinta yang menggantung di kerudung bagian depan.

“Mia! Ayo ke kantin, cepat!” ajak Caca sambil menarik tangan Mia. Kedua anak kelas 5 ini pun pamit meninggalkan Sinta.

“Hebat? Biasa saja, ah!” kata Sinta lirih. Banyak juga guru lain yang sudah S-2, bahkan ada beberapa guru yang disponsori yayasan sampai S-3. Dalam hati Sinta sangat bersyukur mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikannya. Hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Terbersit sedikit keinginan pun tidak pernah.

“Bu Sinta yang longgar waktu. Anak-anaknya sudah besar. Bu Sinta pasti bisa mengatur waktu untuk mengambil tawaran ini,” kata Pak Ahmad, Kepala Sekolah,  sepuluh tahun silam. Ya, tawaran besar-besaran untuk S-2 dari yayasan disambut gembira para guru dari SD sampai SMA.

Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Selain agar tidak mengecewakan pemberi beasiswa, ia ingin segera fokus dengan tugas-tugas yang lainnya. Saling memberikan doa dan dukungan, beberapa guru termasuk Sinta pun dalam dua tahun berhasil menuntaskan pendidikannya.

Sampai di rumah, Sinta melepas ID card dan berucap lirih. “Ini bagian dari skenario-Mu, Ya Rabb. Terima kasih.”

 

 

Tentang Penulis

 

 

 

 

 

Sumintarsih. Kelahiran Wates, Kulon Progo, DIY ini tinggal di Perumahan Griya Satria Mandalatama, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Ia terus belajar menulis, sudah mengumpulkan 5 buku solo dan 29 buku antologi. Yuk, lanjut silaturahmi di:

Blog: miensumintarsih.blogspot.com

IG: sumintarsih_24

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8 komentar: