Tik tik tik…
Bunyi jarum jam dinding semakin jelas
terdengar di sebuah ruang kosong. Puluhan meja kursi tak berpenghuni. Papan
tulis sudah bersih siap dipakai esok hari. Bunyi jarum jam itu bersautan dengan
teriakan dalam hati Sinta. Cepat pulang, cepat pulang, cepat pulang...!
Sebentar lagi waktu menuju pukul 15.30,
jam kepulangan para siswa. Ini bertepatan dengan hari pertama uji coba
kepulangan siswa kelas 4 – 6 SD setelah salat asar. Adapun pekan-pekan
sebelumnya siswa pulang pukul 14.30 dan sebelumnya lagi pukul 13.30. Sebuah
sekolah Islam yang ingin menerapkan full day school.
Sinta membayangkan Lisa bersama eyang
putrinya. Lisa, gadis kecil anak pertamanya yang baru berumur dua tahun.
Bukankah ini usia anak yang seharusnya banyak ia temani? Apalagi, ayahnya kerja
di luar kota. Sepekan sekali baru bisa menggendong dan mengajak bermain Lisa.
“Bu, jangan melamun!” suara Bu Rahma
membuyarkan lamunan Sinta. Guru yang bertubuh tinggi ini duduk di pojok
belakang, kelas 6A.
“Nggak melamun, kok Bu,”
“Iya, tangannya memegang buku, tetapi
tatapannya kosong. Sedang libur, to? Kok nggak ke masjid. Sama, dong! Hehe,”
Tawa Rahma memaksa Sinta membalas dengan
senyuman. Sebenarnya sudah dari jam dua Sinta menyiapkan tasnya. Begitu bel
pulang, ia siap berlari dengan sepeda motornya. Sambil menunggu bel pulang, koreksian
pekerjaan siswa masih merayunya agar diselesaikan segera. Satu per satu nilai tugas
membuat puisi ia sematkan di buku-buku itu. Ia tidak ingin membawa tumpukan koreksian
ke rumah.
Senin pagi, di halaman sekolah. Mentari di
langit sedikit malu-malu menampakkan dirinya. Keteduhan pun memayungi peserta
upacara pagi itu. Namun demikian, satu dua anak tampak sudah kelelahan setelah berdiri
memaku. Saatnya sekolah menyampaikan berbagai pengumuman, saatnya pasukan putih
merah itu boleh mengambil posisi duduk.
“Juara pertama lomba desain kelas
menyambut Ramadan adalah kelas 6A!” Suara Pak Bani, Wakil Kepala Sekolah,
menggema disambut sorak sorai siswa kelas 6, terutama kelas 6A.
“Alhamdulillah, selamat ya! Anak-anak.
Kalian sangat membanggakan,” seru Sinta dengan segera menyerbu barisan 6A.
“Hore! Kelas kita menang!” teriak Asti,
ketua kelas, disambut tepuk tangan teman-temannya.
“Lomba membaca puisi, juara II adalah Nabila
kelas 6A!” kata Pak Bani menggemparkan kelas 6A lagi meskipun sebagian siswa kelas
lain sedikit terdengar berteriak “Huu!”. Rupanya kesenangan kelas 6A adalah
kekecewaan kelas lain yang belum menang.
“Juara III lomba poster, Aryandito kelas
6A.” Suara Pak Bani membuat kelas 6A semakin pecah. Lengkap sudah suka cita
mereka karena dari 5 perlombaan, 3 lomba tembus menang selain lomba sambung
ayat dan pidato.
“Ayo Asti! Ajak teman-temanmu maju
menerima hadiah!” perintah Sinta. Asti pun berdiri merapikan kerudungnya dan bersiap-siap
maju untuk menerima hadiah. Tidak lupa ia mengajak Nabila dan Arya. Beberapa
pemenang dari kelas lain juga sudah maju.
Hingar bingar kemenangan dalam perlombaan
itu berefek dalam beberapa hari. Anak-anak jadi semangat dan makin percaya diri
dalam belajar. Kegembiraan itu pun dirasakan Sinta sebagai wali kelasnya. Ia
sangat bersyukur bisa membersamai anak-anak hebat yang kreatif dan sukses
diberi tanggung jawab ini.
“Bu, ayo segera ke ruang rapat!” ajak Bu
Rahma dan Bu Ani yang kelasnya berdekatan dengan kelas Sinta. Di sekolah, salah
satu tugas wali kelas adalah mendampingi keseharian siswanya sehingga berkantor
di dalam kelas. Demikian juga mereka bertiga dari kelas masing-masing.
“Sepertinya ada hal penting yang akan
disampaikan oleh kepala sekolah,” bisik Bu Rahma, wali kelas 6B yang berbadan
subur ini.
“Bukankah setiap rapat juga ada hal-hal
penting yang disampaikan?” sela Sinta.
“Rupanya Bu Sinta belum mendengar isu yang
beredar,” ledek Bu Ani yang guru olahraga ini disambut muka Sinta yang makin
penasaran. Mereka pun bergegas dan segera bergabung di ruang rapat. Di sana, 21
guru karyawan sudah duduk memenuhi kursi salah satu kelas.
Setiap Sabtu, seluruh siswa pulang lebih
awal. Satu jam sebelum zuhur seluruh guru berkumpul. Tidak hanya satu jam,
rapat bersambung sampai asar, tidak jarang malah lebih sore lagi. Dari masalah
A sampai Z dibahas di sana. Dari masalah tata tertib siswa, pembelajaran,
pengumpulan nilai, ketertiban salat berjamaah, sampai masalah sandal dan jajan
di kantin. Sebuah sekolah di tengah kota
Yogyakarta yang sedang mencari bentuk baru, sungguh sangat menguras energi.
Selain aneka program baru, seluruh tenaga dan perhatian harus dikerahkan untuk
menjawab tantangan dari yayasan. Kurikulum dan sistem baru dimunculkan untuk
menyulap SD swasta ini agar menjadi sekolah pilihan masyarakat.
“Mohon maaf, mulai Senin besok, saya
mengakhiri tugas mengajar di sini. Terima kasih Bapak Ibu telah memberikan ilmu
dan pelajaran berharga bagi saya. Banyak salah saya mohon dimaafkan.” Bagai
petir menyambar, kalimat mohon diri dari Pak Rian meruntuhkan benteng pertahanan
di sudut hati Sinta. Semangatnya yang baru beberapa hari terakhir ini bangkit,
secepat ini runtuh kembali. Hancur berkeping-keping.
“Kenapa, sih? Ada apa dengan Pak Rian?”
Bisik-bisik terdengar dari peserta rapat, terutama deretan ibu-ibu. Bisikan
hati paling keras adalah pada Sinta sendiri. Sinta bukan hanya berbisik, ia
sedang meronta dan menjerit di dalam hatinya. Hatinya tercabik-cabik, apalagi
akhir bulan lalu Bu Yanti sudah lebih dulu berpamitan, persis seperti
pemandangan sore ini.
“Bu! Bu Sinta! Bu Sinta nggak papa?” panggilan
dari Bu Rahma kembali mengagetkan Sinta yang duduk berdampingan dengan tembok
kelas. Meskipun banyak suara, Bu Rahma terbukti paling perhatian dengan Sinta.
“Jangan melamun, Bu!” tambahnya.
“Eh, ya. Saya nggak papa kok, Bu!” balas
Sinta setengah terkaget. Itu jawaban bohongnya untuk kesekian kali Sinta
menyimpan rasa gundahnya. Sinta sedang bercakap-cakap dengan hati kecilnya.
Apakah dia akan mengikuti jejak Bu Yanti dan Pak Rian? Atau terus bergulat
dengan waktu bersama Bu Rahma dan Bu Ani?
Secara materi, Sinta patut bersyukur. Yang
ia terima dari yayasan tiap bulan cukupan dan lancar. Pembinaan mental ruhani rutin
ia terima dan lingkungan kekeluargaan sangat baik. Sepertinya karena tantangan
fisik yang tidak semua orang tangguh menghadapi. Full day Senin sampai Jumat dan Sabtu
setengah hari. Hal ini yang membuat sebagian guru berpikir ulang.
***
Itulah kenangan 21 tahun lalu yang
membuatnya tersenyum sendiri di pojok kelas. Hal yang tidak enak, pada waktunya
akan berubah menjadi kenikmatan. Gara-gara Mia, salah satu siswanya yang telah
membuat Sinta menimang-nimang ID card.
“Bu Sinta, M.Pd. itu apa?” tanya Mia
polos.
“Gelar S-2, Nak,” jawab Sinta lembut.
“Wah, hebat! Bu Sinta kuliah dua kali, ya?
Mamaku cuma satu kali,” tambahnya dengan tersenyum memandangi ID card
Sinta yang menggantung di kerudung bagian depan.
“Mia! Ayo ke kantin, cepat!” ajak Caca
sambil menarik tangan Mia. Kedua anak kelas 5 ini pun pamit meninggalkan Sinta.
“Hebat? Biasa saja, ah!” kata Sinta lirih.
Banyak juga guru lain yang sudah S-2, bahkan ada beberapa guru yang disponsori
yayasan sampai S-3. Dalam hati Sinta sangat bersyukur mendapatkan kesempatan
melanjutkan pendidikannya. Hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Terbersit sedikit keinginan pun tidak pernah.
“Bu Sinta yang longgar waktu. Anak-anaknya
sudah besar. Bu Sinta pasti bisa mengatur waktu untuk mengambil tawaran ini,”
kata Pak Ahmad, Kepala Sekolah, sepuluh
tahun silam. Ya, tawaran besar-besaran untuk S-2 dari yayasan disambut gembira
para guru dari SD sampai SMA.
Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan
emas ini. Selain agar tidak mengecewakan pemberi beasiswa, ia ingin segera
fokus dengan tugas-tugas yang lainnya. Saling memberikan doa dan dukungan,
beberapa guru termasuk Sinta pun dalam dua tahun berhasil menuntaskan
pendidikannya.
Sampai di rumah, Sinta melepas ID card
dan berucap lirih. “Ini bagian dari skenario-Mu, Ya Rabb. Terima kasih.”
Tentang
Penulis
Sumintarsih. Kelahiran Wates, Kulon Progo, DIY ini tinggal di Perumahan Griya Satria
Mandalatama, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Ia terus belajar menulis, sudah mengumpulkan 5 buku solo dan 29 buku
antologi. Yuk, lanjut silaturahmi di:
Blog: miensumintarsih.blogspot.com
IG: sumintarsih_24
Luar biasa cerita yang Indah Dari sutradara hebat
BalasHapusNuwun....
HapusMantap tenan
BalasHapusLanjutkan.
Nuwun...
Hapusalhamdulillah, jadi teringat ketika omjay dapat beasiswa S1, S2 dan S3, kini tinggal mengamalakan ilmunya untuk bangsa dan negara.
BalasHapusLuar biasa....
HapusMantaaaap Bu Mien
BalasHapusNuwun....
Hapus