Senin, 13 April 2020

Antara Pintu, Corona, dan Bapak
(Sumintarsih)

Berhubung kartu ATM rusak, beberapa waktu lalu saya ke bank untuk minta ganti. Sejak pandemi Covid-19 memang dijumpai banyak kejanggalan. Tidak seperti biasanya. Dengan tujuan meminimalisasi penularan virus tersebut, penyiasatan dan kebijakan baru pun diterapkan dalam banyak hal.

Salah satu praktik kehati-hatian yang saya lihat di bank tersebut adalah pintu kantor dan ATM yang terbuka permanen. Tentunya hal ini untuk menghindari agar para nasabah tidak menyentuh gagang pintu. Termasuk dilengkapinya dengan pelayanan petugas atau satpam di depan pintu. Petugas itu terus mengingatkan pengunjung untuk mencuci tangan dengan sabun atau dengan sigap dia menyemprotkan hand sanitizer. 

Sejenak langsung aku teringat almarhum bapak. Ya, selama di rumah ada orang, pintu rumah kami tidak pernah tertutup. Layaknya selalu menerima siapa pun yang hendak datang. Bahkan, seakan harapan terbukanya pintu rezeki pada setiap harinya.

Bapak adalah satu-satunya yang selalu larut berangkat tidurnya. Sepanjang itu juga, pintu rumah selalu terbuka. Entah apa saja yang dilakukan, seperti membaca buku, menulis tembang-tembang Jawa  dan rengeng-rengeng – bersenandung atau bahkan bicara sendiri merancang pidato. Ya, bapak memang sering mendapatkan tugas sebagai penyuluh dari Kantor Dinas Sosial pada era Orde Baru. Kecuali hujan angin, baru pintu rumah kami tertutup.

Di bank itu seakan aku menemukan ada keakraban. Seperti waktu SD pertama kali masuk bank. Ada satpam di depan dengan pintu yang selalu terbuka. Berbeda dengan keseharian zaman modern yang di sana sini ada AC. Pintu-pintu pasti tertutup. Walaupun ruang dan pintu kaca, tetap saja berbeda.

Kembali ke masa lalu, kembali mengenang Bapak. 

Purwokerto, 14 April 2020

1 komentar:

  1. Wabah ini mengajarkan banyak hal kepada kita ya Bu. Terima kasih atas catatannya yang reflektif.

    BalasHapus