Selasa, 26 Mei 2020

Malu kepada Anak


“Ayo segera berangkat, sudah siang Nak!” ajak saya kepada anak agar segera keluar rumah. Saya berangkat ke sekolah bersama putri saya dengan seperda motor setiap hari. Selain cukup kami berdua, suami saya bekerja di luar kota. Dengan demikian, urusan sehari-hari kami tangani sendiri.

Kegiatan berlalu lintas setiap hari, berhadapan dengan lampu lalu lintas tidak bisa kami hindari.
“Ibu, jangan cepat-cepat. Aku takut,” rengek anak saya dari atas motor. Sedangkan yang ada di pikiran saya bahwa dengan mepetnya waktu, kecepatan motor harus saya tambah. Kecuali, saya ikhlas menerima konsekuensi harus lapor ke kantor yayasan bila terlambat lebih dari 06.45. Peraturan ini berlaku untuk guru dan seluruh karyawan tempat saya mengajar.

Pernah suatu saat laju motor saya dalam keadaan cepat. Sementara itu dari kejauhan tampak lampu kuning menyala. Belum sempat saya kurangi kecepatan motor saya, tanpa diduga lampu berubah merah. Karena tanggung, motor tidak bisa saya hentikan mendadak.

“Ibu, lampu merah kok tidak berhenti. Tidak boleh. Bisa dimarahi polisi.” Panjang lebar anak saya mengingatkan saya. Dalam hati jelas saya malu.

“Iya, Nak. Tadi mepet dan tanggung. Ibu minta maaf, ya?” Saya sangat bersyukur untuk urusan ini, anak saya bisa memahami dan menerapkan materi yang disampaikan gurunya. Tinggal praktiknya menjadi wilayah para orang tua. Agar teori yang disampaikan di kelas, bisa sesuai dengan yang anak-anak lihat.

Beberapa hari kemudian, saat pulang sekolah. Masih seperti biasa saya bersepeda motor menuju rumah. Di persimpangan jalan dekat pusat pertokoan, ada dua lampu lalu lintas yang sangat berdekatan. Lampu merah sebelumnya kami tunggui full lumayan lama sampai berubah warna hijau. Baru saja motor saya gas meninggalkan lampu kuning, beberapa meter lampu merah lagi, niat saya motor saya percepat sebelum lampu merah betul.

Ciiit… ciiit….
Suara rem motor saya persis suara anak-anak tikus yang bertengkar. Ternyata di samping kanan saya sebuah mobil polisi dengan kaca depan terbuka. Dulu belum ada garis pemisah area henti roda dua di bawah lampu lalu lintas. Seorang polisi, sudah bapak-bapak, duduk manis di samping supir yang polisi juga. Sedangkan di sisi kanan mobil itu, ada seorang ibu pengendara motor. Betapa ramahnya si ibu yang ternyata orang tua siswa saya.  Walau terhalang mobil, dia menoleh ke kiri dan menyapa saya.

“Ustazah, tidak apa-apa? Hati-hati, Ustazah,” katanya membuat saya malu. Apalagi, kedua polisi itu pun ikut menoleh ke arah saya.

“Tidak perlu ngebut, Mbak!” kata Pak Polisi ramah. Saya hanya tersenyum dan berusaha menyembunyikan rasa malu yang teramat sangat. Ditambah cubitan kecil saya rasakan dari anak saya. Jelas dia ikut malu dan pastinya tidak suka saya tidak tertib.

“Ibu, sih. Malu, kan?” kata anak saya sesampai rumah. Dia yang kelas 4 SD sudah paham dengan kejadian di perempatan tadi.

“Aku sudah ingatkan, Ibu jangan cepat-cepat. Kebiasaan pagi takut terlambat, siang juga Ibu tidak bisa pelan.” Tanpa perlu beralasan lagi, saya jelas di posisi salah. Sejak saat itu, memboncengkan anak atau tidak, saya menghindari pelanggaran lalu lintas.

Ditambah sejak pindah rumah. Lokasi yang jauh dari sekolah, memaksa saya berangkat jauh lebih pagi. Selain takut terlambat, saya menghindari palang kereta api.  Apalagi, setiap di depan palang kereta api, bisa dipastikan saya menyaksikan pelanggaran dari para orang tua yang dengan santainya nekat menyeberangi rel kereta api. Sungguh pelajaran negatif langsung kepada anaknya. Bagaimana orang tua akan lantang menasihati anak-anak agar disiplin? Setiap kesiangan berangkat sekolah, orang tua seperti itu menyuguhkan contoh praktik pelanggaran kepada anaknya.     

Saya sudah tobat, malu kepada anak kalau tidak bisa disiplin berlalu lintas. Semoga yang lain juga demikian.*
(ini cerita pengalaman tahun 2007)


Purwokerto,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar