Senin, 11 Mei 2020

Tanya Saja kepada Allah


Tanya Saja kepada Allah

Hadirnya anak dalam sebuah rumah tangga adalah anugerah yang luar biasa. Semua wanita tentu mendambakan hal demikian. Mendambakan anak pertama, kedua, dan seterusnya adalah wajar. Menambah lagi atau tidak adalah pilihan.
Megharapkan anak kedua menjadi sebuah penantian yang berbeda dibanding penantian terhadap anak pertama. Bersyukur mendapatkan anak pertama, aku sangat berharap untuk mendapatkan anak kedua.  
Rupanya keinginan yang sama dirasakan oleh anakku yang masih kelas 2 SD. Maksudku, anakku sama menginginkan adik bayi kecil di dalam rumah. Sekali, dua kali, tiga kali dia pernah bertanya. Tidak kunjung lahirnya seorang bayi dari rahim ibunya sudah merupakan jawaban. Itu membuatnya tidak lagi bertanya dan meminta adik.
Namun, ada satu ucapannya yang tidak pernah aku lupakan. Ketika kami ngobrol santai di gang depan rumah. Sore hari kami sering bercanda bersama tetangga. Yang masih punya anak-anak kecil, biasanya ibu-ibu sambil menyuapi anaknya.
“Mira, senengnya yang punya adik baru,” ledek Om Andi kepada Mira, anak tetangga depan.
“Iya Om, dedek Mira lucu. Mira pingin mencubit pipinya. Kalau menangis keras sekali, Om,” jawab Mira panjang sambil senyum-senyum gembira.
Sepintas dari kejauhan aku melirik ke anakku. Tampak ekspresinya tidak nyaman.
“Kamu bagimana, Isma. Punya adik, nggak?” tanya Om Andi kepada anakku.
“Belum, Om,” jawab Isma dengan senyum terpaksa.
“Sana minta adik sama ayah bunda. Sudah besar kok belum punya adik,” kata Om Andi lagi ringan.
Isma sempat mengangkat kepala dan melihat wajah Om Andi. Namun, dia tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
“Haha…, Isma tidak mau punya adik,” sindir Rafi, teman sepermainan anakku yang dua tahun lebih tua. Sambil tertawa dan menunjuk-nunjuk pada Isma. “Isma maunya sendiri saja di rumah, Om. Haha….” Ledekan Rafi yang asal itu rupanya menyudutkan anakku.

Aku amati lagi wajah Isma. Dia semakin menunduk dan menenggelamkan kepalanya di antara tekukan pahanya. Sambil terus memainkan alat masak-masakah di tanah.
Aku menedekati Isma dan segera aku gandeng masuk rumah.
“Haha…. Isma nangis.” Rafi masih meledek Isma. “Kalau masih suka nangis, ga punya adik, lho!” ledeknya lagi.
Huhu….
Tangis Isma pecah. Dia peluk erat tubuhku karena tidak ingin tangisannya terdengar oleh teman-temannya, apalagi Rafi. Dia makin erat memeluk dan meremas tubuhku. Ini tandanya dia benar-benar tidak nyaman. Mungkin dia tidak menerima dengan perundungan atau bully-an seperti itu.
“Isma, kok menangis? Kamu kenapa, sini duduk di pangkuan Ibu,” rayuku dengan mengangkat tubuhnya. Aku usap rambutnya agar lebih tenang.
“Yuk, minum dulu! Isma mau bilang apa sama Ibu?”
“Om Andi jahat, Bu. Isma tidak suka. Sana Om Andi tanya pada Allah, mengapa Isma tidak diberi adik.” Emosi Isma memuncak lagi.
Huhu….

Kali ini aku biarkan dia menangis sambil terus aku belai pundaknya. Aku peluk tubuh kecilnya.     “Isma sedih, ya?”
“Sedih, Bu. Orang-orang jahat sama Isma.”
“Mereka  cuma bertanya kok? Minum dulu ya….” Hiburku sambil mendekatkan gelas ke mulutnya. “Sudah menangisnya?” Isma tidak menjawab. Dia kelelahan. Aku usap tangan dan kakinya dengan tisu basah.
Dengan mencubit-cubit bonekanya, sisa-sisa tangisnya masih terdengar. Dia pun tertidur .  
Menjalang magrib aku dekati Isma.
“Bangun, Nak. Ibu bawa bubur jagung kesukaanmu. Makan, yuk!” Isma membuka mata dengan berat.
Sambil menyuapi, aku mencoba bicara.
“Maaf, Ibu tanya, ya? Tadi sore Isma, kok bisa bicara Om Andi suruh tanya kepada  Allah. Kenapa?”
“Kapan, Bu?”
“Waktu Isma ditanya kenapa tidak punya adik?”
“Oh, itu. Ya iya, Bu. Minta adik itu pada Allah. Beda dengan beli kue atau sepatu.”
Aku tersentak mendengarnya. Rupanya anakku sudah paham tentang takdir Allah.
“Isma tahu dari mana?” aku pura-pura bertanya.
“Dari ustazah di kelas. Ustazah cerita, Bu. Ada orang yang tangannya satu, matanya buta, atau tidak punya kaki. Itu takdir Allah. Jadi kita tidak boleh menghina.“
“Kalau Isma tidak punya adik?” sindirku sambil meliriknya.
“Itu juga takdir, mungkin. Habisnya lama banget Ibu tidak ngasih Isma adik.”
Aku peluk anakku dengan keharuan. Dia tidak perlu iri kepada teman-temannya. Ada Allah yang Maha mengatur.
Sampai kini, dia sudah bekerja, tetap sebagai anak semata wayangku.

Purwokerto, 11 Mei 2020

8 komentar:

  1. Sangat related dgn masa kecilku

    BalasHapus
  2. Makasih Nduk, sdh menginspirasi.

    BalasHapus
  3. Mantap Bu. Ya benar. Mintalah kepada Allah

    BalasHapus
  4. waahh bagus bgt ceritanya terharuu 😭😭😭

    BalasHapus
  5. sangat menginspirasi :)) luar biasa Ustadzah, saya juga merasakannya sebagai anak tunggal :)

    BalasHapus
  6. Terima kasih semua. Belajar ngeblog, ini blm terampil. Hehe...

    BalasHapus
  7. Ceritanya mengharukan, memang semua terjadi atas takdir Allah SWT.

    BalasHapus