Tanya
Saja kepada Allah
Hadirnya
anak dalam sebuah rumah tangga adalah anugerah yang luar biasa. Semua wanita
tentu mendambakan hal demikian. Mendambakan anak pertama, kedua, dan seterusnya
adalah wajar. Menambah lagi atau tidak adalah pilihan.
Megharapkan anak kedua menjadi
sebuah penantian yang berbeda dibanding penantian terhadap anak pertama. Bersyukur
mendapatkan anak pertama, aku sangat berharap untuk mendapatkan anak
kedua.
Rupanya keinginan yang sama
dirasakan oleh anakku yang masih kelas 2 SD. Maksudku, anakku sama menginginkan
adik bayi kecil di dalam rumah. Sekali, dua kali, tiga kali dia pernah
bertanya. Tidak kunjung lahirnya seorang bayi dari rahim ibunya sudah merupakan
jawaban. Itu membuatnya tidak lagi bertanya dan meminta adik.
Namun, ada satu ucapannya yang
tidak pernah aku lupakan. Ketika kami ngobrol santai di gang depan rumah. Sore
hari kami sering bercanda bersama tetangga. Yang masih punya anak-anak kecil,
biasanya ibu-ibu sambil menyuapi anaknya.
“Mira, senengnya yang punya adik
baru,” ledek Om Andi kepada Mira, anak tetangga depan.
“Iya Om, dedek Mira lucu. Mira
pingin mencubit pipinya. Kalau menangis keras sekali, Om,” jawab Mira panjang
sambil senyum-senyum gembira.
Sepintas dari kejauhan aku melirik
ke anakku. Tampak ekspresinya tidak nyaman.
“Kamu bagimana, Isma. Punya adik,
nggak?” tanya Om Andi kepada anakku.
“Belum, Om,” jawab Isma dengan
senyum terpaksa.
“Sana minta adik sama ayah bunda.
Sudah besar kok belum punya adik,” kata Om Andi lagi ringan.
Isma sempat mengangkat kepala dan
melihat wajah Om Andi. Namun, dia tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
“Haha…, Isma tidak mau punya adik,”
sindir Rafi, teman sepermainan anakku yang dua tahun lebih tua. Sambil tertawa
dan menunjuk-nunjuk pada Isma. “Isma maunya sendiri saja di rumah, Om. Haha….”
Ledekan Rafi yang asal itu rupanya menyudutkan anakku.
Aku amati lagi wajah Isma. Dia
semakin menunduk dan menenggelamkan kepalanya di antara tekukan pahanya. Sambil
terus memainkan alat masak-masakah di tanah.
Aku menedekati Isma dan segera aku
gandeng masuk rumah.
“Haha…. Isma nangis.” Rafi masih
meledek Isma. “Kalau masih suka nangis, ga punya adik, lho!” ledeknya lagi.
Huhu….
Tangis Isma pecah. Dia peluk erat
tubuhku karena tidak ingin tangisannya terdengar oleh teman-temannya, apalagi Rafi.
Dia makin erat memeluk dan meremas tubuhku. Ini tandanya dia benar-benar tidak
nyaman. Mungkin dia tidak menerima dengan perundungan atau bully-an seperti
itu.
“Isma, kok menangis? Kamu kenapa,
sini duduk di pangkuan Ibu,” rayuku dengan mengangkat tubuhnya. Aku usap
rambutnya agar lebih tenang.
“Yuk, minum dulu! Isma mau bilang
apa sama Ibu?”
“Om Andi jahat, Bu. Isma tidak
suka. Sana Om Andi tanya pada Allah, mengapa Isma tidak diberi adik.” Emosi
Isma memuncak lagi.
Huhu….
Kali ini aku biarkan dia menangis
sambil terus aku belai pundaknya. Aku peluk tubuh kecilnya. “Isma sedih, ya?”
“Sedih, Bu. Orang-orang jahat sama
Isma.”
“Mereka cuma bertanya kok? Minum dulu ya….” Hiburku
sambil mendekatkan gelas ke mulutnya. “Sudah menangisnya?” Isma tidak menjawab.
Dia kelelahan. Aku usap tangan dan kakinya dengan tisu basah.
Dengan mencubit-cubit bonekanya,
sisa-sisa tangisnya masih terdengar. Dia pun tertidur .
Menjalang magrib aku dekati Isma.
“Bangun, Nak. Ibu bawa bubur jagung
kesukaanmu. Makan, yuk!” Isma membuka mata dengan berat.
Sambil menyuapi, aku mencoba bicara.
“Maaf, Ibu tanya, ya? Tadi sore
Isma, kok bisa bicara Om Andi suruh tanya kepada Allah. Kenapa?”
“Kapan, Bu?”
“Waktu Isma ditanya kenapa tidak
punya adik?”
“Oh, itu. Ya iya, Bu. Minta adik
itu pada Allah. Beda dengan beli kue atau sepatu.”
Aku tersentak mendengarnya. Rupanya
anakku sudah paham tentang takdir Allah.
“Isma tahu dari mana?” aku
pura-pura bertanya.
“Dari ustazah di kelas. Ustazah
cerita, Bu. Ada orang yang tangannya satu, matanya buta, atau tidak punya kaki.
Itu takdir Allah. Jadi kita tidak boleh menghina.“
“Kalau Isma tidak punya adik?”
sindirku sambil meliriknya.
“Itu juga takdir, mungkin. Habisnya
lama banget Ibu tidak ngasih Isma adik.”
Aku peluk anakku dengan keharuan. Dia
tidak perlu iri kepada teman-temannya. Ada Allah yang Maha mengatur.
Sampai kini, dia sudah bekerja,
tetap sebagai anak semata wayangku.
Purwokerto, 11 Mei 2020
Sangat related dgn masa kecilku
BalasHapusMakasih Nduk, sdh menginspirasi.
BalasHapusMantap Bu. Ya benar. Mintalah kepada Allah
BalasHapusMantab
BalasHapuswaahh bagus bgt ceritanya terharuu ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapussangat menginspirasi :)) luar biasa Ustadzah, saya juga merasakannya sebagai anak tunggal :)
BalasHapusTerima kasih semua. Belajar ngeblog, ini blm terampil. Hehe...
BalasHapusCeritanya mengharukan, memang semua terjadi atas takdir Allah SWT.
BalasHapus