Selasa, 09 Januari 2024

Di Bawah Langit Jakarta

Tidak berkedip kedua mata Tina memandangi Ryan. Lelaki yang siang malam kini selalu bersamanya.  Tangan-tangan Ryan terampil menyiapkan nasi dan lauknya yang baru saja dibeli di warung ujung gang. Sayangnya, santap malam kali ini tidak seindah hari-hari awal mereka hidup bersama. Makan malam sepasang pengantin yang belum genap lima bulan. Namun, mereka tidak duduk berdampingan, apalagi saling menyuapi. Tina di dalam kamar, Ryan di ruang depan. Sesuap demi sesuap, mereka makan di tempat terpisah, hanya bisa saling memandang dari kejauhan.

Satu suapan masuk mulut, Tina mengenang masa lalunya yang pernah indah. Ingin rasanya ia mengusir bayangan itu jauh-jauh. Entah mengapa seperti barisan video, satu per satu antre bermunculan. Dulu ia mengenal laki-laki yang hampir akan ia jadikan tempat bergantung. Waktu itu ia merasa indahnya menjalani hari-hari dengan selalu ada bayangan nama Seto. Hidupnya selalu ada gairah dan harapan masa depan cerah.

Saking sayang dan setianya, Tina rela memberikan yang Seto minta. Hormatnya Tina kepada Ibunda Seto, membuatnya lupa bahwa mereka belum sebagai suami istri dan ibunda Seto belumlah sebagai mertua. Jangankan untuk kebutuhan Ibu Seto berobat, untuk membeli oleh-oleh atau hadiah, Tina dengan mudahnya mengeluarkan rupiah demi rupiah. Semua terasa ringan. Nasihat dari keluarga Tina agar tidak berlebihan, tidak dihiraukannya.

Lumayan lama, Tina baru tersadar. Bukan masalah materi yang keluar tidak ada hitungan. Namun, ia mencium ada yang kurang beres pada pribadi Seto. Tina yang diberikan jalan mudah mendapatkan rezeki, tidak masalah berbagi. Namun, untuk calon pendamping hidup, rupanya tidak cocok disandang Seto. Usaha demi usaha tidak ada wujudnya. Modal yang sering didapatkan dari Tina, entah bagaimana ia mengelolanya. Ia pun memutuskan meninggalkan Seto.  Seto tidak lebih hanya memanfaatkan keberlimpahan isi dompet Tina.

Belum juga nasi tertelan pada suapan kedua, sekelebatan hadir nama Bani dalam ingatan Tina. Lelaki gagah, tampan, dan menjadi rebutan para wanita. Setahun bersama Bani, hampir saja Tina memutuskan untuk ke jenjang yang lebih serius. Rupanya Bani tidak lebih baik dari Seto. Perayu ulung ini, sehari bisa-bisanya mendekati 3 wanita sekaligus. Terbongkarnya kabar ini lantaran ketiga wanita itu adalah kenalan Tina semua. Allah masih sayang dan melindungi Tina.

Suapan ketiga, ia mengenang pertemuan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Kedua teman SD mengunjunginya, Isna dan Mia. Obrolan mereka lumayan kaku karena lebih dari 30 tahun  terpisah jarak. Ngobrol sana sini dilengkapi dengan santap siang di kios bakso depan rumah Tina.

Masih bernostalgia mengulang cerita-cerita masa lalu dan sesekali cerita kesibukan sekarang. Ketika yang lain dalam usia hampir punya menantu, Tina belum menemukan jodohnya. Sampailah seorang teman, Isna, menyampaikan sebuah pertanyaan.

“Kapan kami diundang nih, sudah ada calon belum?’”

Tanpa diduga pula, Tina menyampaikan jawabannya.

“Orang itu punya jalan hidup masing-masing. Allah sudah menakdirkan aku sendiri sampai hari ini. Memang aku tidak seberuntung kalian yang sudah berkeluarga.  Sepertinya pertanyaan seperti itu tidak perlu ditanyakan lagi.” Kata-kata Tina panjang kali lebar dengan lancer meluncur dari bibirnya.

Mendadak suasana menghening bening. Tanpa suara dan ucapan mengikutinya. Daging bakso di dalam mulut Isna dan Mia seakan bingung mau maju atau mundur. Setelah beberapa saat, Tina sadar dengan sikapnya. Ia mencoba mencairkan kembali suasana siang itu.

“Ayo, silakan! Ini masih tempe dan tahu gorengnya. Atau mau kerupuk, silakan.”

***

Dia kembali tersenyum sambil terus mengunyah makanannya. Ada rasa sesal telah berkata agak kasar kepada teman-teman lamanya siang itu. Meski mulut ingin menolak, ia paksakan nasinya sampai lambung.  Suapan demi suapan berikutnya seakan mengundang cerita demi cerita masa lalu.

Hadirlah sosok Ryan dalam kehidupannya. Ini juga serba tidak sengaja. Lantaran Mia ingin mengenalkan Tina dengan Daffa teman sekelas Mia dan Tina juga waktu SMP. Daffa ternyata masih sendiri. Mendadak Mia ingat bahwa sepupunya juga ada yang masih sendiri, usia dua tahun di atas Tina.

Gayung bersambut. Semua serbamulus layaknya jalan tol. Tanpa sepengetahuan Mia, Tina dan Ryan sudah saling bertegur sapa. Medsos membuatnya mudah saling berkirim kabar.

Pagi, awal Agustus, 2020. Sebuah pesan masuk ke hp Mia.

“Kenapa secepat ini, Mia?”

“Itu tandanya Allah memberikan kemudahan. Jalani saja!” Mia menjawab sekenanya karena memang sudah mengetahui rencana Tina akan menikah.

“Besok pagi akad nikah.”

“Wa, hebat….selamat ya….!”

Sorenya Mia baru sadar bahwa dipercepatnya acara Tina karena Jakarta akan lockdown. Artinya, akan sulit bergerak dari Jakarta ke Solo atau sebaliknya. Lockdown yang akan diberlakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta entah sampai kapan, tidak ada jaminan persis. Bisa seperti yang direncanakan atau bakal diperpanjang.

Keluarga memutuskan untuk mempercepat pernikahan Tina dan Ryan. Bahkan beberapa kali obrolan hanya lewat chat WA dan video call. Ijab kabul, pernah diusulkan secara virtual jarak jauh, tetapi batal. 

Panik dan kalang kabut, jelas. Baju pengantin yang dipesan Tina bahkan belum jadi. Ya, baju impian semua calon pengantin. Baju impian Tina bertahun-tahun batal dikenakan untuk duduk bersanding layaknya raja dan permaisuri sehari. Kandas sudah. Batal semua. Katering yang sudah proses pesan pun tidak luput dari pembatalan. Ratusan suvenir bertuliskan Tina dan Ryan hanya dibagi-bagikan begitu saja dan masih menumpuk sebagian di pojok kamar.

“Biarlah kandas rencana pernikahanku, asal jangan kandas lagi cintaku,” kata Tina menghibur diri.

Dengan gamis sederhana warna biru muda, pernikahan di KUA telah meresmikan hubungan kedua anak manusia, Tina dan Ryan. Hanya keluarga dekat yang mengantarkan. Hanya berfoto berdiri dan duduk dengan latar hiasan darurat yang disediakan di kantor KUA. Bukan gedung dengan dekorasi lampu dan bunga-bunga indah, megah, kemerlapan, seperti pada umumnya.   

Setelah menikah beberapa hari, Tina mengikuti Ryan ke Jakarta, sebelum Jakarta benar-benar ditutup. Silaturahmi demi silaturahmi di seputar Jakarta tidak bisa dihindari.  Virus covid pun menyapa Tina, entah dari mana didapatkannya. Antara tidak percaya, lemas, galau, campur aduk. Dunia seakan runtuh, gelap, dan panik melebihi kepanikan saat membatalkan pesta pernikahannya.

Tina tidak ingin dirawat di rumah sakit. Ia trauma. Apalagi, saudara sekampung yang tinggal di Jakarta baru saja meninggal menjadi korban covid. Budenya Ryan juga sama. Tina mengisolasi diri dengan perawatan mandiri. Waktu itu belum ada istilah ‘isoman’. Yang penting mengurung diri dan merawat sendiri di rumah, mengisolasi diri tanpa sepengetahuan tetangga.

Tak terasa air mata mengalir di sela-sela Tina memasukkan nasi gerakhirnya ke mulutnya. Deras sederas hadirnya rangkaian masa lalu kisah hidupnya yang tiada akhir. 

“Tidak mengapa kamu menangis, tapi jangan terlalu larut dalam kesedihan. Kita akan melewati ujian ini dengan selamat. Kamu harus yakin! Seberat dan sebesar apa pun ujian yang kita hadapi, kita punya Allah yang Mahabesar,” kata Ryan setelah menyelesaikan makannya.

“Iya Mas. Terima kasih sudah hadir di dalam hidupku,” jawab Tina dengan tersenyum yang agak berat dari bibirnya.

**

Sepekan kemudian, di depan mata kepalanya sendiri, untuk pertama kali Tina menyaksikan Ryan berbicara sambil air matanya bercucuran.

“Tina, aku merasakan seperti yang kamu rasakan. Aku terkena covid juga.”

“Beneran, Mas?” jantung Tina seperti mau copot. “Kalau memang benar, apakah ini teguran dari Allah? Dulu Mas Ryan pernah tidak percaya adanya covid.”

“Iya, maafkan aku, Sayang. Sekarang, kita harus menyiapkan segala kemungkinan yang bakal terjadi. Dengan terus berikhtiar, kita merawat dan berobat mandiri. Makan dan terus menjaga fisik, jangan sampai berpikir negatif supaya tidak stres. Kalau stres imun akan turun.”

“Aku paham, Mas. Mas juga harus kuat agar bisa merawatku!”

“Kalau ada salah satu dari kita yang dipanggil Allah, ….”

Kalimat itu yang membuat air mata Tina semakin deras. Ia menyimak ucapan suaminya. Dengan berderai air mata dan kalimat yang terbata-bata, masih terdengar ketegasan suaminya. Bagaikan komandan yang menyampaikan strategi perang. Bahkan, ia mengatur siasat bila salah satu gugur.

Percetakan yang dirintis Ryan sedang berkembang pesat menjelang pandemi. Ryan optimis akan pulih kembali. Ia menyebutkan hal-hal seputar operasional kantor dan nama-nama pihak yang penting dihubungi, ia rinci di sebuah kertas. Bahkan catatan keuangan dan orderan yang sudah masuk. Ya, mereka seperti saling berpamitan. Suara tangis mereka bersautan, tetapi setengah ditahan agar tidak terdengar oleh tetangga.  

 Malam ini terasa amat panjang. Kedua mata Tina tidak mau dipejamkan. Tina masih sering berpikir atas semua perjalanan hidupnya. Seperti mimpi, seperti dalam film. Dua kado indah sekaligus dari Allah, seorang suami dan covid di usianya yang sudah memasuki kepala 5. Ia menghela napas dan tengah berusaha bisa istirahat meskipun sekujur tubuhnya merasakan serbatidak enak.

Angin malam mulai menyelimuti rumah-rumah. Langit Jakarta tampak bersih dan mengajak warganya agar di rumah saja bersama keluarga. Tina masih menatap langit-langit rumahnya. Dalam untaian doa di hatinya, ia dengan kesunguhan hati menyerahkan diri kepada Yang Mahatinggi. Adanya keyakinan dan harapan sembuh serta kepasrahan yang membuatnya lebih tenang.

Ryan berdiri di depan pintu hendak menutup kamar tidur. Ia masih ingin berjaga. Tatapan kedua pasang mata suami istri ini mengisyaratkan belaian sayang selamat malam. Berharap mimpi indah mereka bisa mengurangi beban yang mereka rasakan. Hari-hari panjang yang penuh perjuangan ini. *

 

*Cerpen ini dimuat dalam buku antologi berjudul:  Merenda Bianglala




4 komentar: