Tidak berkedip kedua mata Tina memandangi Ryan. Lelaki yang
siang malam kini selalu bersamanya. Tangan-tangan Ryan terampil
menyiapkan nasi dan lauknya yang baru saja dibeli di warung ujung gang.
Sayangnya, santap malam kali ini tidak seindah hari-hari awal mereka hidup
bersama. Makan malam sepasang pengantin yang belum genap lima bulan. Namun,
mereka tidak duduk berdampingan, apalagi saling menyuapi. Tina di dalam kamar,
Ryan di ruang depan. Sesuap demi sesuap, mereka makan di tempat terpisah, hanya
bisa saling memandang dari kejauhan.
Satu suapan masuk mulut, Tina mengenang masa lalunya yang
pernah indah. Ingin rasanya ia mengusir bayangan itu jauh-jauh. Entah mengapa
seperti barisan video, satu per satu antre bermunculan. Dulu ia mengenal
laki-laki yang hampir akan ia jadikan tempat bergantung. Waktu itu ia merasa
indahnya menjalani hari-hari dengan selalu ada bayangan nama Seto. Hidupnya
selalu ada gairah dan harapan masa depan cerah.
Saking sayang dan setianya, Tina rela memberikan yang Seto
minta. Hormatnya Tina kepada Ibunda Seto, membuatnya lupa bahwa mereka belum
sebagai suami istri dan ibunda Seto belumlah sebagai mertua. Jangankan untuk
kebutuhan Ibu Seto berobat, untuk membeli oleh-oleh atau hadiah, Tina dengan
mudahnya mengeluarkan rupiah demi rupiah. Semua terasa ringan. Nasihat dari
keluarga Tina agar tidak berlebihan, tidak dihiraukannya.
Lumayan lama, Tina baru tersadar. Bukan masalah materi yang
keluar tidak ada hitungan. Namun, ia mencium ada yang kurang beres pada pribadi
Seto. Tina yang diberikan jalan mudah mendapatkan rezeki, tidak masalah
berbagi. Namun, untuk calon pendamping hidup, rupanya tidak cocok disandang
Seto. Usaha demi usaha tidak ada wujudnya. Modal yang sering didapatkan dari Tina,
entah bagaimana ia mengelolanya. Ia pun memutuskan meninggalkan Seto.
Seto tidak lebih hanya memanfaatkan keberlimpahan isi dompet Tina.
Belum juga nasi tertelan pada suapan kedua, sekelebatan
hadir nama Bani dalam ingatan Tina. Lelaki gagah, tampan, dan menjadi rebutan
para wanita. Setahun bersama Bani, hampir saja Tina memutuskan untuk ke jenjang
yang lebih serius. Rupanya Bani tidak lebih baik dari Seto. Perayu ulung ini,
sehari bisa-bisanya mendekati 3 wanita sekaligus. Terbongkarnya kabar ini lantaran
ketiga wanita itu adalah kenalan Tina semua. Allah masih sayang dan melindungi
Tina.
Suapan ketiga, ia mengenang pertemuan yang tidak pernah
dibayangkan sebelumnya. Kedua teman SD mengunjunginya, Isna dan Mia. Obrolan
mereka lumayan kaku karena lebih dari 30 tahun terpisah jarak. Ngobrol
sana sini dilengkapi dengan santap siang di kios bakso depan rumah Tina.
Masih bernostalgia mengulang cerita-cerita masa lalu dan
sesekali cerita kesibukan sekarang. Ketika yang lain dalam usia hampir punya
menantu, Tina belum menemukan jodohnya. Sampailah seorang teman, Isna,
menyampaikan sebuah pertanyaan.
“Kapan kami diundang nih, sudah ada calon belum?’”
Tanpa diduga pula, Tina menyampaikan jawabannya.
“Orang itu punya jalan hidup masing-masing. Allah sudah
menakdirkan aku sendiri sampai hari ini. Memang aku tidak seberuntung kalian
yang sudah berkeluarga. Sepertinya pertanyaan seperti itu tidak perlu
ditanyakan lagi.” Kata-kata Tina panjang kali lebar dengan lancer meluncur dari
bibirnya.
Mendadak suasana menghening bening. Tanpa suara dan ucapan
mengikutinya. Daging bakso di dalam mulut Isna dan Mia seakan bingung mau maju
atau mundur. Setelah beberapa saat, Tina sadar dengan sikapnya. Ia mencoba
mencairkan kembali suasana siang itu.
“Ayo, silakan! Ini masih tempe dan tahu gorengnya. Atau mau
kerupuk, silakan.”
***
Dia kembali tersenyum sambil terus mengunyah makanannya.
Ada rasa sesal telah berkata agak kasar kepada teman-teman lamanya siang itu.
Meski mulut ingin menolak, ia paksakan nasinya sampai lambung. Suapan
demi suapan berikutnya seakan mengundang cerita demi cerita masa lalu.
Hadirlah sosok Ryan dalam kehidupannya. Ini juga serba
tidak sengaja. Lantaran Mia ingin mengenalkan Tina dengan Daffa teman sekelas
Mia dan Tina juga waktu SMP. Daffa ternyata masih sendiri. Mendadak Mia ingat
bahwa sepupunya juga ada yang masih sendiri, usia dua tahun di atas Tina.
Gayung bersambut. Semua serbamulus layaknya jalan tol.
Tanpa sepengetahuan Mia, Tina dan Ryan sudah saling bertegur sapa. Medsos
membuatnya mudah saling berkirim kabar.
Pagi, awal Agustus, 2020. Sebuah pesan masuk ke hp Mia.
“Kenapa secepat ini, Mia?”
“Itu tandanya Allah memberikan kemudahan. Jalani saja!” Mia
menjawab sekenanya karena memang sudah mengetahui rencana Tina akan menikah.
“Besok pagi akad nikah.”
“Wa, hebat….selamat ya….!”
Sorenya Mia baru sadar bahwa dipercepatnya acara Tina
karena Jakarta akan lockdown. Artinya, akan sulit bergerak dari Jakarta ke Solo
atau sebaliknya. Lockdown yang akan diberlakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta
entah sampai kapan, tidak ada jaminan persis. Bisa seperti yang direncanakan
atau bakal diperpanjang.
Keluarga memutuskan untuk mempercepat pernikahan Tina dan
Ryan. Bahkan beberapa kali obrolan hanya lewat chat WA dan video call. Ijab
kabul, pernah diusulkan secara virtual jarak jauh, tetapi batal.
Panik dan kalang kabut, jelas. Baju pengantin yang dipesan
Tina bahkan belum jadi. Ya, baju impian semua calon pengantin. Baju impian Tina
bertahun-tahun batal dikenakan untuk duduk bersanding layaknya raja dan
permaisuri sehari. Kandas sudah. Batal semua. Katering yang sudah proses pesan
pun tidak luput dari pembatalan. Ratusan suvenir bertuliskan Tina dan Ryan
hanya dibagi-bagikan begitu saja dan masih menumpuk sebagian di pojok kamar.
“Biarlah kandas rencana pernikahanku, asal jangan kandas
lagi cintaku,” kata Tina menghibur diri.
Dengan gamis sederhana warna biru muda, pernikahan di KUA
telah meresmikan hubungan kedua anak manusia, Tina dan Ryan. Hanya keluarga
dekat yang mengantarkan. Hanya berfoto berdiri dan duduk dengan latar hiasan
darurat yang disediakan di kantor KUA. Bukan gedung dengan dekorasi lampu dan
bunga-bunga indah, megah, kemerlapan, seperti pada umumnya.
Setelah menikah beberapa hari, Tina mengikuti Ryan ke
Jakarta, sebelum Jakarta benar-benar ditutup. Silaturahmi demi silaturahmi di
seputar Jakarta tidak bisa dihindari. Virus covid pun menyapa Tina, entah
dari mana didapatkannya. Antara tidak percaya, lemas, galau, campur aduk. Dunia
seakan runtuh, gelap, dan panik melebihi kepanikan saat membatalkan pesta
pernikahannya.
Tina tidak ingin dirawat di rumah sakit. Ia trauma.
Apalagi, saudara sekampung yang tinggal di Jakarta baru saja meninggal menjadi
korban covid. Budenya Ryan juga sama. Tina mengisolasi diri dengan perawatan mandiri.
Waktu itu belum ada istilah ‘isoman’. Yang penting mengurung diri dan merawat
sendiri di rumah, mengisolasi diri tanpa sepengetahuan tetangga.
Tak terasa air mata mengalir di sela-sela Tina memasukkan
nasi gerakhirnya ke mulutnya. Deras sederas hadirnya rangkaian masa lalu kisah
hidupnya yang tiada akhir.
“Tidak mengapa kamu menangis, tapi jangan terlalu larut
dalam kesedihan. Kita akan melewati ujian ini dengan selamat. Kamu harus yakin!
Seberat dan sebesar apa pun ujian yang kita hadapi, kita punya Allah yang
Mahabesar,” kata Ryan setelah menyelesaikan makannya.
“Iya Mas. Terima kasih sudah hadir di dalam hidupku,” jawab
Tina dengan tersenyum yang agak berat dari bibirnya.
**
Sepekan kemudian, di depan mata kepalanya sendiri, untuk
pertama kali Tina menyaksikan Ryan berbicara sambil air matanya bercucuran.
“Tina, aku merasakan seperti yang kamu rasakan. Aku terkena
covid juga.”
“Beneran, Mas?” jantung Tina seperti mau copot. “Kalau
memang benar, apakah ini teguran dari Allah? Dulu Mas Ryan pernah tidak percaya
adanya covid.”
“Iya, maafkan aku, Sayang. Sekarang, kita harus menyiapkan
segala kemungkinan yang bakal terjadi. Dengan terus berikhtiar, kita merawat
dan berobat mandiri. Makan dan terus menjaga fisik, jangan sampai berpikir
negatif supaya tidak stres. Kalau stres imun akan turun.”
“Aku paham, Mas. Mas juga harus kuat agar bisa merawatku!”
“Kalau ada salah satu dari kita yang dipanggil Allah, ….”
Kalimat itu yang membuat air mata Tina semakin deras. Ia
menyimak ucapan suaminya. Dengan berderai air mata dan kalimat yang
terbata-bata, masih terdengar ketegasan suaminya. Bagaikan komandan yang
menyampaikan strategi perang. Bahkan, ia mengatur siasat bila salah satu gugur.
Percetakan yang dirintis Ryan sedang berkembang pesat
menjelang pandemi. Ryan optimis akan pulih kembali. Ia menyebutkan hal-hal
seputar operasional kantor dan nama-nama pihak yang penting dihubungi, ia rinci
di sebuah kertas. Bahkan catatan keuangan dan orderan yang sudah masuk. Ya,
mereka seperti saling berpamitan. Suara tangis mereka bersautan, tetapi
setengah ditahan agar tidak terdengar oleh tetangga.
Malam ini terasa amat panjang. Kedua mata Tina tidak
mau dipejamkan. Tina masih sering berpikir atas semua perjalanan hidupnya.
Seperti mimpi, seperti dalam film. Dua kado indah sekaligus dari Allah, seorang
suami dan covid di usianya yang sudah memasuki kepala 5. Ia menghela napas dan
tengah berusaha bisa istirahat meskipun sekujur tubuhnya merasakan serbatidak
enak.
Angin
malam mulai menyelimuti rumah-rumah. Langit Jakarta tampak bersih dan mengajak
warganya agar di rumah saja bersama keluarga. Tina masih menatap langit-langit
rumahnya. Dalam untaian doa di hatinya, ia dengan kesunguhan hati menyerahkan
diri kepada Yang Mahatinggi. Adanya keyakinan dan harapan sembuh serta
kepasrahan yang membuatnya lebih tenang.
Ryan
berdiri di depan pintu hendak menutup kamar tidur. Ia masih ingin berjaga. Tatapan
kedua pasang mata suami istri ini mengisyaratkan belaian sayang selamat malam.
Berharap mimpi indah mereka bisa mengurangi beban yang mereka rasakan. Hari-hari
panjang yang penuh perjuangan ini. *
Penuh masa lalu yang nano- nano.selamat menghadapi kenyataan yang ada.
BalasHapusTerima kasih Bunda...
HapusHem...jadi ikut sesak di dada...
BalasHapusNuwun Bu......
Hapus