Sabtu, 27 Maret 2021

Bangunkan Aku Sahur, Bu


Mengingat pengamalan anak gadisku setahun lalu di bulan Ramadan. 

“Ibu, jangan lupa nanti aku di-misscall. Takut terlambat sahur,” kata Ika dari ujung telepon. Sehari menjelang Ramadan, kami bertanya kabar. Malam menjelang tidur, pesan yang sama ia tuliskan agar kami mengingatkan dia untuk makan sahur.

Bulan Ramadan 1441 H. Terasa sekali sangat berbeda dengan bulan Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Kami selalu bertiga menikmati ibadah puasa wajib dengan rutinitas buka dan sahur bertiga. Sore menjelang buka, apa pun yang saya sajikan, biasanya tertata tiga porsi untuk saya, suami, dan anak semata wayang, Ika. Pingin kolak, ya ada tiga mangkuk. Berbuka dengan bubur mutiara, ya tiga mangkuk saya siapkan. Tahun ini untuk pertama kalinya saya siapkan hanya untuk dua orang tanpa anak.

Tahun 2020 adalah tahun pertama anak saya masuk ke dunia kerja. Setelah menyelesaikan pendidikannya, dia diterima bekerja sebagai radiografer salah satu rumah sakit di Delanggu, Jawa Tengah.   Suka duka sudah ia lalui beberapa bulan menjelang Ramadan 1441 H. Hidup bersama penghuni kos lain dengan induk semang yang baik, menjadi kabar penghibur bagi kami.

Namun, pandemi covid-19 memaksa dia untuk menahan kerinduannya dengan orang tua di Purwokerto. Lockdown yang diberlakukan di mana-mana memaksanya untuk mengurungkan niat mudik, walau hanya sehari.

“Ka, Ika sudah bangun belum?” panggil suami untuk mengingatkan Ika.

“Sudah bangun, Pak. Terima kasih,” jawabnya.

“Makan lauk apa?”

“Nugget.” Lain hari dijawab ayam, nugget lagi, telur, nugget lagi, dan seterusnya. 

“Makan sayur, Ka. Jangan kering-keringan terus,” pesan saya.

Beberapa hari kemudian, sering kali dia menanyakan bumbu masak. Kadang juga bertanya tentang lama memasak, tingkat kematangan, dan lain-lain. Pakai santan tidak, airnya seberapa,  menyimpan ayam maksimal berapa hari, dan lain-lain pertanyaan praktis. Sebagai anak angkatan milenial, dia tidak luput dari kebiasaan _googling._ Namun, ada kalanya dia merasa mantap dan lebih praktis bertanya.

Apakah dulu kami jarang memasak? Saya akui, bekerja di sekolah full day dan serumah cuma bertiga membuat saya lebih sering mengunjungi warung membeli sayur jadi daripada memasak. Kalaupun memasak sendiri, dia sebatas membantu. Bukan menangani proses memasak secara ful. Saya kurang membekali dia keterampilan memasak. Namun, keberadaan dia sebagai anak kos. Kini memaksa dia bisa belajar memasak.

“Ini masakanku. Enak, lho Bu,” katanya sambil menunjukkan foto sayur oseng, ayam goreng, dan kerupuk.

“Masak semua?”

“Iya, dong.”

“Hebat, sudah pinter memasak.” Tidak menyangka, dia mau memasak juga. Lain kali dia menunjukkan menu yang berbeda. Kadang membuat bubur sumsum atau makanan anak muda: cireng, cilok, spageti kentang goreng, dan lainnya.


Saya sangat senang melihat perkembangannya. Urusan makan bisa dia atasi dengan baik. Rupanya Allah memberikan jalan seperti ini agar membuatnya melek dapur. Kini dia bisa merasakan ketika ada makanan tidak habis, ketika masakan tidak sesuai ekspektasi, atau urusan belanja langsung ke pasar. 

Inilah yang harus kita pahami bahwa ada episode anak akan berpisah dengan orang tua untuk menghadapi kehidupannya. Bekali dia dan beri kesempatan untuk belajar mandiri. 


Purwokerto, 27 Maret 2021

5 komentar: