Sabtu, 06 Maret 2021

Stop Ajari Anak Meminta-minta (Parenting#6, tips menjelang lenbaran)



“Ayo kita hitung uangnya. Aku dapat banyak…. Hore..., aku mau beli sepatu baru dan tas baru!” kata Mira senang.

“Masih banyak punyaku, nih lihat!” balas Tina sambil mengibas-ngibaskan semua lembaran uangnya

“Terang aja, om dan tantemu banyak. Semua memberimu angpau. Beda dengan aku.”

 

Anak saya dan dua ponakan tampak gembira sekali. Mereka menghitung jumlah angpau, lembaran uang berwarna warni.

Tiba-tiba saya teringat kenangan masa kecil. Sekitar tahun 1980-an, saya menerima uang dari para tetangga. Ternyata budaya membagi-bagikan uang kepada anak-anak saat lebaran sudah ada sejak dulu. Waktu itu saya menerima Rp100, Rp200, atau Rp300. Biasanya dua sampai lima anak seumuran SD (tanpa orang tua), bersilaturahmi ke tetangga dari rumah ke rumah mengucapkan selamat lebaran dan meminta maaf (sungkeman). Anak-anak pun sangat senang bisa menikmati aneka jajanan dan minuman yang tiap rumah tentu berbeda. Nah, pulangnya, mereka mendapatkan uang walaupun tidak semua rumah memberi. Uang recehan, tetapi waktu itu bernilai tinggi.

   

“Kamu dapat dari siapa saja? Pade Satria memberi kamu tidak? Kepala Sekolah  ibuku,” tanya keponakan kepada anak saya.

“Ya tidak. Kamu kan sama Bude ke sana. Aku tidak ikut, ya.”

“Pantesan jumlah uangku lebih banyak. Haha….”

Sore hari, suasana agak sepi. Tidak ada tamu. Ponakan sebagian sudah pulang. Di pojok ruang tamu, anak saya tampak murung. Budenya datang.

“Kamu ada apa, Syifa?”

“Bude, uangku tidak sebanyak uang Ari. Uang Ari tebal sekali. Uangku cuma dikit,”  keluhnya.

“Bude senang Syifa mudik setiap lebaran. Menengok Simbah dan Bude. Tujuannya silaturahmi dan menengok Simbah, kan? Apalagi Simbah sudah tua. Jadi jangan sedih!” kata Bude yang saya dengarkan dari dalam.

“Iya, Bude.”

“Yang dari Bude sudah?”

“Sudah Bude.”

“Ya, sudah. Itu juga sudah banyak, kan?” tambah Bude menghibur.

  Saya mendekat dan bertanya.

“Syifa, Ibu lupa angpaumu belum. Ini untukmu.” Aku serahkan angpau seperti yang saya serahkan untuk para ponakan.

“Hore, tambah lagi.”

“Wah, banyak juga, ya? Kamu dikasih apa minta?”

“Ya dikasih, Bu.”

“Kalau ada Om atau Tante tidak memberi, kamu minta tidak?”

“Tidak, malu.”

“Bagus. Kalau diberi, Syifa terima. Kalau tidak diberi?”

“Tidak usah meminta-minta,” jawabnya. Syifa paham dengan yang saya pesankan.

Setelah ditenangkan Budenya dan saya tambah angpau, Syifa lebih tenang. Ada kekhawatiran bagi saya kalau uang menjadi ukuran Syifa menikmati libur lebarannya. 

“Syifa, siap-siap balik, yuk! Mudiknya sudah cukup.”

“Besok pagi, ya Bu?

“Iya. Oya, besok kita mampir beli apa, ya? Ibu pingin dawet ireng yang di pinggir sawah. Sepertinya seger minum di sana.”

“Pakai uangku ya , Bu. Syifa juga yang menyiapkan uang receh untuk parkir atau yang lain,” katanya bangga.

“Boleh. Terima kasih, Nak.”   

 

Dunia anak-anak sampai dewasa, tidak bisa dipisahkan dari budaya bagi-bagi angpau lebaran. Budaya yang sudah turun-temurun ini bahkan kadang menjadi pembeda status seseorang. Status seseorang anak-anak, dewasa, pemberi, atau penerima angpau. Pemberi angpau adalah yang sudah bekerja meskipun belum berumah tangga. Sedangkan yang belum bekerja, statusnya masih penerima. Terutama di lingkungan keluarga besar.

Budaya ini bisa mengakrabkan dan sebagai sarana berbagi. Namun, tidak disadari, ada bahaya mengancam di balik budaya membagi-bagi angpau lebaran.   Yaitu, budaya semangat menerima pemberian apalagi sampai menjurus kepada budaya meminta-minta. Misalnya, ketika ada tamu atau saudara datang, orang tua akan membisikkan ke telinga anak, “Sana minta angpau kepada om dan tante!” Walaupun, awalnya seperti ini bisa sekadar bercanda.

Selain senang menerima, anak-anak perlu belajar memberi. Orang tua perlu menyiapkan mental anak terhadap budaya angpau lebaran ini.*

 

Purwokerto, 6 Maret 2021


Foto: google


Hehe.... lebaharan masih jauh, tak apalah ya....?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar