“Ayo
kita hitung uangnya. Aku dapat banyak…. Hore..., aku mau beli sepatu baru dan
tas baru!” kata Mira senang.
“Masih
banyak punyaku, nih lihat!” balas Tina sambil mengibas-ngibaskan semua lembaran
uangnya
“Terang
aja, om dan tantemu banyak. Semua memberimu angpau. Beda dengan aku.”
Anak
saya dan dua ponakan tampak gembira sekali. Mereka menghitung jumlah angpau, lembaran
uang berwarna warni.
Tiba-tiba
saya teringat kenangan masa kecil. Sekitar tahun 1980-an, saya menerima uang
dari para tetangga. Ternyata budaya membagi-bagikan uang kepada anak-anak saat
lebaran sudah ada sejak dulu. Waktu itu saya menerima Rp100, Rp200, atau Rp300.
Biasanya dua sampai lima anak seumuran SD (tanpa orang tua), bersilaturahmi ke
tetangga dari rumah ke rumah mengucapkan selamat lebaran dan meminta maaf
(sungkeman). Anak-anak pun sangat senang bisa menikmati aneka jajanan dan
minuman yang tiap rumah tentu berbeda. Nah, pulangnya, mereka mendapatkan uang
walaupun tidak semua rumah memberi. Uang recehan, tetapi waktu itu bernilai
tinggi.
“Kamu
dapat dari siapa saja? Pade Satria memberi kamu tidak? Kepala Sekolah ibuku,” tanya keponakan kepada anak saya.
“Ya
tidak. Kamu kan sama Bude ke sana. Aku tidak ikut, ya.”
“Pantesan
jumlah uangku lebih banyak. Haha….”
Sore
hari, suasana agak sepi. Tidak ada tamu. Ponakan sebagian sudah pulang. Di
pojok ruang tamu, anak saya tampak murung. Budenya datang.
“Kamu
ada apa, Syifa?”
“Bude,
uangku tidak sebanyak uang Ari. Uang Ari tebal sekali. Uangku cuma dikit,” keluhnya.
“Bude
senang Syifa mudik setiap lebaran. Menengok Simbah dan Bude. Tujuannya
silaturahmi dan menengok Simbah, kan? Apalagi Simbah sudah tua. Jadi jangan
sedih!” kata Bude yang saya dengarkan dari dalam.
“Iya,
Bude.”
“Yang
dari Bude sudah?”
“Sudah
Bude.”
“Ya,
sudah. Itu juga sudah banyak, kan?” tambah Bude menghibur.
Saya mendekat dan bertanya.
“Syifa,
Ibu lupa angpaumu belum. Ini untukmu.” Aku serahkan angpau seperti yang saya
serahkan untuk para ponakan.
“Hore,
tambah lagi.”
“Wah,
banyak juga, ya? Kamu dikasih apa minta?”
“Ya
dikasih, Bu.”
“Kalau
ada Om atau Tante tidak memberi, kamu minta tidak?”
“Tidak,
malu.”
“Bagus. Kalau diberi,
Syifa terima. Kalau tidak diberi?”
“Tidak usah
meminta-minta,” jawabnya. Syifa paham dengan yang saya pesankan.
Setelah ditenangkan
Budenya dan saya tambah angpau, Syifa lebih tenang. Ada kekhawatiran bagi saya
kalau uang menjadi ukuran Syifa menikmati libur lebarannya.
“Syifa, siap-siap balik,
yuk! Mudiknya sudah cukup.”
“Besok pagi, ya Bu?
“Iya. Oya, besok kita
mampir beli apa, ya? Ibu pingin dawet ireng yang di pinggir sawah. Sepertinya
seger minum di sana.”
“Pakai uangku ya , Bu.
Syifa juga yang menyiapkan uang receh untuk parkir atau yang lain,” katanya
bangga.
“Boleh. Terima kasih,
Nak.”
Dunia anak-anak sampai dewasa,
tidak bisa dipisahkan dari budaya bagi-bagi angpau lebaran. Budaya yang sudah turun-temurun
ini bahkan kadang menjadi pembeda status seseorang. Status seseorang anak-anak,
dewasa, pemberi, atau penerima angpau. Pemberi angpau adalah yang sudah bekerja
meskipun belum berumah tangga. Sedangkan yang belum bekerja, statusnya masih
penerima. Terutama di lingkungan keluarga besar.
Budaya ini bisa
mengakrabkan dan sebagai sarana berbagi. Namun, tidak disadari, ada bahaya
mengancam di balik budaya membagi-bagi angpau lebaran. Yaitu, budaya semangat menerima pemberian apalagi
sampai menjurus kepada budaya meminta-minta. Misalnya, ketika ada tamu atau
saudara datang, orang tua akan membisikkan ke telinga anak, “Sana minta angpau
kepada om dan tante!” Walaupun, awalnya seperti ini bisa sekadar bercanda.
Selain senang menerima,
anak-anak perlu belajar memberi. Orang tua perlu menyiapkan mental anak
terhadap budaya angpau lebaran ini.*
Purwokerto,
6 Maret 2021
Foto: google
Hehe.... lebaharan masih jauh, tak apalah ya....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar