Ayah Bunda pernah menyaksikan
putra putrinya mengalami kecelakaan? Bagaimana perasaan Ayah Bunda jika kecelakaan itu saat Ananda
bersama kita? Seperti kejadian berikut ini.
“Ika, minum obat, yuk?” ajak saya
kepada Ika.
“Tidak mau. Obatnya pahit, Bu,”
jawabnya.
“Supaya sehat. Buka mulutnya,
ak…ak…. pintar.” Dalam sekejap, cairan merah satu sendok sudah masuk ke perut anak
saya. Ya, obat berbentuk puyer yang disenduh di sendok. Obat apa lagi kalau
bukan obat sakit setip.
Salah satu jenis penyakit yang
dialami sebagian besar anak kecil. Obat yang harus diminum setiap hari ini
tidak boleh terlewat sehari pun. Demikian juga yang dialami anak saya. Saat dia
berusia dua tahun, menjadi rutinitas baginya minum obat sekitar 3 bulan.
Sebagai langkah pengecekan, dia
saya bawa ke klinik rontgen.
“Ibu, nanti fotonya aku bergaya
seperti ini, ya Bu.” katanya sambal berkacak pinggang. Menebar senyum dan
dimiringkan sediit kepalanyaa.
“Wah cantik, anak Ibu pinter
bergaya,” tambah saya. Dalam hati saya kasihan. Anak sekecil ini disuruh mengonsumsi
obat setiap hari. Kamu mau foto rontgen,
kok, Nak. Batin saya.
Saat umurnya beranjak 6 tahun kami
mengajaknya membeli sepeda. Sabtu siang itu, dia memilih sepeda mini merah
lengkap dengan dua roda kecil penyangga
di kanan dan kiri roda belakang. Baru satu sore dia latihan, kejadian tidak diduga menghentikan
kegembirannya bersepeda.
Sebagai guru wali kelas, saya
menjalankan tugas sekolah home visit. Bersilaturahmi ke rumah para siswa.
Setiap siswa dalam satu tahun harus terkunjungi. Kegiatan ini untuk
berssilaturahmi dan mengetahui kondisi siswa dan agar lebih dekat dengan
keluarga siswa. Kedekatan yang terwujud untuk memudahkan pendampingan pendidikan
siswa. Kerja sama sekolah dan keluarga bisa terlaksana dengan baik.
Dengan sepeda kayuh, sering kami
namai sepeda jengki, saya pulang home visit bersama anak saya. Dia saya
boncengkan di belakang. Tiba-tiba….
“Ibu… Ibu…, sakit. Huhu…,” teriah
anak saya diikuti suara orang di pinggir jalan yang melihat saya.
“Stop Mbak. Stop. Anaknya keruji.”
Beberapa orang mendekat. Satu orang memegang anak saya. Dua orang memegang
sepeda, dua orang memegang kaki dan ban sepeda belakang.
Ternyata salah satu kaki anak saya
masuk roda. Dua ruji patah, kaki anak saya berdarah. Kulit seputar mata kaki
terkelupas. Tangis anak saya menjadi. Saya pun panik dan merasa bersalah.
Hancur dan bingung. Waktu itu posisi suami bekerja di luar kota. Belum ada model
hp juga. Serba bingung dan kasihan melihat anak saya seperti itu.
“Hati-hati, Pak. Ini kakinya masuk
terjepit ruji,” kata salah satu Abang Becak.
“Iya, ini dilepas dulu rujinya.
Yang lain tolong carikan obat merah!” Bergotong royong mereka membantu saya.
“Mbak, dibawa ke klinik saja, 5 menit
ke selatan dari sini. Ayo, naik becak saya. Sepeda ditinggal di sini.”
Saya ikuti saran bapak berkaus
putih itu. Satu per satu kepanikan terurai. Meskipun di kepala ini masih saja
menuntut jawab. Mengapa bisa terjadi? Mungkin harusnya saya ikat kaki anak
saya. Atau karena tadi anak saya mengantuk sehingga kakinya tidak membuka dan akhirnya
masuk roda. Ah, semua sudah takdir. Perasaan bersalah dan istighfar saya di
sepanjang perjalanan pulang. Saya amati kaki kirinya tertutup perban. Di atas
becak, saya dekap dan ciumi anak saya.
Besok paginya suami pulang. Sambil
memangku anak saya, suami menghibur. Namun saya kok terindir, ya.
“Tidak jadi naik sepeda, ya Dik?
Sepeda baru sehari di rumah, malah kaki keruji. Besok kalau kaki sudah sembuh,
latihan naik sepeda sama bapak, ya?”
“Iya,” jawab anak saya lemas.
Sehari kemudian, saya bawa anak foto rontgen lagi. Khawatir kalau ada apa-apa. Alhamdulillah aman. Luka di kaki tidak
sampai mengganggu tulang kakinya.
Kini, anak samata wayangku sudah
dewasa. Tahun 2021 adalah tahun kedua dia bekerja sebagai radiographer. Tidak
disangka, waktu kecil punya pengalaman dengan dunia rontgen, kini rontgen menjadi
dunia kerjanya.
Dari sini, saya sebagai orang tua
merasa dulu kurang hati-hati. Selain takdir Allah, kehati-hatian tetap harus diutamakan
oleh para orang tua dalam membersamai anaknya.
Purwokerto, 8 Maret 2021
Foto: google
Jadi joki ya bun, ...Alhamdulillah gak cedera banyak, selalu untung orang Indonesia,
BalasHapusBenar Bu. Terima kasih
HapusMelihat anak sakit tidak tega nggih... Ingin rasanya menggantikan...biar kuat saja yang sakit... Gitu nggih Bunda... Anak saya 3, punya cerita masing-masing...
BalasHapusBegitulah...
Cerita anak ditulis ibunya, saat dia baca, jadi teringat dan senyum-senyum sendiri.
HapusSelalu banyak cerita di masa kecil...
BalasHapusBenar Bu.
HapusTerima kasih.....