Minggu, 07 Maret 2021

Sepeda Baru dan Foto Rontgen (Parenting #7)




Ayah Bunda pernah menyaksikan putra putrinya mengalami kecelakaan? Bagaimana perasaan Ayah Bunda jika kecelakaan itu saat Ananda bersama kita? Seperti kejadian berikut ini.

“Ika, minum obat, yuk?” ajak saya kepada Ika.

“Tidak mau. Obatnya pahit, Bu,” jawabnya.

“Supaya sehat. Buka mulutnya, ak…ak…. pintar.” Dalam sekejap, cairan merah satu sendok sudah masuk ke perut anak saya. Ya, obat berbentuk puyer yang disenduh di sendok. Obat apa lagi kalau bukan obat sakit setip.

Salah satu jenis penyakit yang dialami sebagian besar anak kecil. Obat yang harus diminum setiap hari ini tidak boleh terlewat sehari pun. Demikian juga yang dialami anak saya. Saat dia berusia dua tahun, menjadi rutinitas baginya minum obat sekitar 3 bulan.

Sebagai langkah pengecekan, dia saya bawa ke klinik rontgen.

“Ibu, nanti fotonya aku bergaya seperti ini, ya Bu.” katanya sambal berkacak pinggang. Menebar senyum dan dimiringkan sediit kepalanyaa.

“Wah cantik, anak Ibu pinter bergaya,” tambah saya. Dalam hati saya kasihan. Anak sekecil ini disuruh mengonsumsi obat setiap hari. Kamu mau foto rontgen, kok, Nak. Batin saya.

Saat umurnya beranjak 6 tahun kami mengajaknya membeli sepeda. Sabtu siang itu, dia memilih sepeda mini merah lengkap dengan dua roda kecil penyangga  di kanan dan kiri roda belakang. Baru satu sore  dia latihan, kejadian tidak diduga menghentikan kegembirannya bersepeda.

Sebagai guru wali kelas, saya menjalankan tugas sekolah home visit. Bersilaturahmi ke rumah para siswa. Setiap siswa dalam satu tahun harus terkunjungi. Kegiatan ini untuk berssilaturahmi dan mengetahui kondisi siswa dan agar lebih dekat dengan keluarga siswa. Kedekatan yang terwujud untuk memudahkan pendampingan pendidikan siswa. Kerja sama sekolah dan keluarga bisa terlaksana dengan baik.

Dengan sepeda kayuh, sering kami namai sepeda jengki, saya pulang home visit bersama anak saya. Dia saya boncengkan di belakang. Tiba-tiba….

“Ibu… Ibu…, sakit. Huhu…,” teriah anak saya diikuti suara orang di pinggir jalan yang melihat saya.

“Stop Mbak. Stop. Anaknya keruji.” Beberapa orang mendekat. Satu orang memegang anak saya. Dua orang memegang sepeda, dua orang memegang kaki dan ban sepeda belakang.

Ternyata salah satu kaki anak saya masuk roda. Dua ruji patah, kaki anak saya berdarah. Kulit seputar mata kaki terkelupas. Tangis anak saya menjadi. Saya pun panik dan merasa bersalah. Hancur dan bingung. Waktu itu posisi suami bekerja di luar kota. Belum ada model hp juga. Serba bingung dan kasihan melihat anak saya seperti itu.

“Hati-hati, Pak. Ini kakinya masuk terjepit ruji,” kata salah satu Abang Becak.

“Iya, ini dilepas dulu rujinya. Yang lain tolong carikan obat merah!” Bergotong royong mereka membantu saya.

“Mbak, dibawa ke klinik saja, 5 menit ke selatan dari sini. Ayo, naik becak saya. Sepeda ditinggal di sini.”

Saya ikuti saran bapak berkaus putih itu. Satu per satu kepanikan terurai. Meskipun di kepala ini masih saja menuntut jawab. Mengapa bisa terjadi? Mungkin harusnya saya ikat kaki anak saya. Atau karena tadi anak saya mengantuk sehingga kakinya tidak membuka dan akhirnya masuk roda. Ah, semua sudah takdir. Perasaan bersalah dan istighfar saya di sepanjang perjalanan pulang. Saya amati kaki kirinya tertutup perban. Di atas becak, saya dekap dan ciumi anak saya.

Besok paginya suami pulang. Sambil memangku anak saya, suami menghibur. Namun saya kok terindir, ya.

“Tidak jadi naik sepeda, ya Dik? Sepeda baru sehari di rumah, malah kaki keruji. Besok kalau kaki sudah sembuh, latihan naik sepeda sama bapak, ya?”

“Iya,” jawab anak saya lemas.

Sehari kemudian, saya bawa anak foto rontgen lagi. Khawatir kalau ada apa-apa. Alhamdulillah aman. Luka di kaki tidak sampai mengganggu tulang kakinya.

Kini, anak samata wayangku sudah dewasa. Tahun 2021 adalah tahun kedua dia bekerja sebagai radiographer. Tidak disangka, waktu kecil punya pengalaman dengan dunia rontgen, kini rontgen menjadi dunia kerjanya.

Dari sini, saya sebagai orang tua merasa dulu kurang hati-hati. Selain takdir Allah, kehati-hatian tetap harus diutamakan oleh para orang tua dalam membersamai anaknya.

 

Purwokerto, 8 Maret 2021


Foto: google        

 

6 komentar:

  1. Jadi joki ya bun, ...Alhamdulillah gak cedera banyak, selalu untung orang Indonesia,

    BalasHapus
  2. Melihat anak sakit tidak tega nggih... Ingin rasanya menggantikan...biar kuat saja yang sakit... Gitu nggih Bunda... Anak saya 3, punya cerita masing-masing...
    Begitulah...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cerita anak ditulis ibunya, saat dia baca, jadi teringat dan senyum-senyum sendiri.

      Hapus
  3. Selalu banyak cerita di masa kecil...

    BalasHapus