Senin, 22 Maret 2021

Bermain sambil Menjaga Adik (parenting#8)





Aku masih SD sekitar kelas 1 dan adikku perempuan umur 4 tahun. Ini pengalaman tahun delapan puluhan.

“Kita bermain apa, ya?” kataku kepada teman-teman rumah. 

“Lompat tali sudah, ibu-ibuan sudah,” kata Wati.

“Kita jalan-jalan saja, yuk!” kataku. Bagi anak sekolahan, pulang sekolah adalah waktu yang membuat kami merdeka. Bisa bermain sepuasnya. Aneka permainan tradisional masih sangat akrab kami jalankan. Tidak ada pilihan lagi.

“Aku ikut,” kata Ening, adikku.

“Adik diajak, Mien!” perintah Ibu dari dalam dapur.

“Iya, Bu,” jawabku. Sudah kebiasaan kalau bermain sambil menjaga adik.

Aku anak kelima dan mempunyai satu orang adik perempuan. Anak-anak perempuan zaman dulu lebih banyak bermain ibu-ibuan dan masak-masakan atau pasaran. Pasaran adalah bermain jual-jualan seperti di pasar atau warung. Seringnya jualan sayur atau makanan bohongan. Uangnya dari daun atau pecahan genting. Yang asyik dari bermain pasaran adalah aku bisa berkreasi dengan pisau. Memotong daun, bunga, pelepah pisang, atau benda-benda alam lainnya yang bisa dipotong. Itulah mengapa kebanyakan anak perempuan dulu sudah akrab dengan pisau sejak kecil.

“Eh, itu ada orang sedang apa, ya?” tanyaku.

“Itu kan kuburan?” kata Yadi.

“Iya, itu orang-orang di kuburan,” tambah Wati.

“Kita lihat, yuk!” ajak Yudi penasaran.

  Kami memasuki area kuburan. Kuburan itu tidak berdinding ataupun pagar. Kami tinggal mendekat, ingin melihat orang yang sedang bekerja. Di samping dua orang itu ada gundukan tanah segar yang baru saja dicangkul dari dalam tanah. Kami melongok. 

 “Loh, kok main di sini, sana pada pulang!” perintah bapak berkaus kuning di samping gundukan tanah yang membawa cangkul.

“Mau lihat, Pak. Sedang membuat apa, Pak?” tanya Yadi. Belum terjawab pertanyaannya, tiba-tiba….

Bluk

Ening terpelesat dan masuk ke liang lahat.

Hap!

Salah satu bapak di bawah menangkap Ening.

“Untung tidak kena cangkul kepalanya,” kata Bapak yang berkaus hitam di dalam lubang. 

Hua…hua…. 

Tangis Ening pecah. Mungkin karena kaget. Ening pun diangkat. Bapak berkaus kuning meraih tubuh Ening. “Nih, adiknya siapa?” katanya.   

“Haha…. Ning masuk lubang kuburan,” ledek Yadi.

“Kaget, ya Ning?” tanya Wati. Sementara itu, aku diam membisu. Takut, merasa bersalah, dan masih deg-degan. Aku gandeng pulang Ening. Ia terus menangis. Berkali-kali tangannya mengusap kaki. Beberapa tanah masih menempel.

 Sebagai kakak, aku berusaha menjaga dan mengajak adikku bemain. Semampu aku. Bermain bersama alam menjadi pilihan bermain. Jelas berbeda dengan anak-anak sekarang yang bisa bermain di rumah dengan alternatif mainan yang banyak.

Lain halnya dengan anak saya yang tidak mempunyai adik. Namun, waktu kecil dulu dia bisa bersosialisasi dan belajar mengajak bemain anak kecil. Tetangga rumah yang kebetulan anak perempuan juga, sering bermain di tempat kami. Dia seperti anak kedua. 

Adiknya kebetulan perempuan juga. Hampir setiap saat bersama anak saya. Maka, tanpa adik kandung pun, anak saya bisa merasakan bermain bersama dan menjaga anak kecil. Tidak jarang setiap pergi-pergi, anak saya ingat untuk membelikan sesuatu kepada mereka berdua.  

Mengetahui bahwa anak berhasil bersosialisai dengan anak kecil lain adalah hal yang penting. Anak bisa belajar mengalah dan tidak egois. Dari sini anak pun belajar nilai-nilai sosial. Dia belajar tidak menang sendiri. Kadang dia mengalah dan mau berbagi. Dia bisa membagi kasih sayangnya.


Purwokerto, 22 Maret 2021


Foto: google

4 komentar:

  1. Bunda sudah mantap membuat cerita. Dikumpulin bisa menjadi buku......

    BalasHapus
  2. Iya, benar sekali. Bermain diluar bersama teman, sering bertemu teman baru di sekitar rumah, menyapa tetangga sekitar, itu secara tidak langsung membuat anak belajar nilai-nilai sosial di lingkungan sekitarnya.

    Khalimatus Sa'diyah 8C

    BalasHapus