Minggu, 05 Desember 2021

Setia sampai Akhir


“Kamboja, mengapa wajahmu muram?” tanya Melati kepada Kamboja di sampingnya. 
“Iya, Kamboja tidak ceria seperti kemarin?” timpal Mawar Merah.
“Menurut kalian, apakah aku tidak cantik?”
“Oh, kamu cantik dan anggun. Taman ini semakin serasi karena kehadiranmu,” jawab Melati.

“Benar. Aku, Melati, dan Kamboja, bukankah kita saling melengkapi di taman kecil dan bersahaja ini? Ada yang rendah, sedang, dan tinggi. Ada yang merah, putih, dan kuning. Kuningmu anggun sekali, Kamboja,” hibur Mawar.

“Menurut orang-orang perumahan tidak demikian. Aku selalu dihubungkan dengan kuburan. Aku dianggap mistis. Bukankah kegiatan tabur bunga selalu membawa bunga mawar dan melati? Mengapa hanya kamboja yang dianggap seram?”

Sejenak Melati dan Mawar terdiam. Selama ini, mereka tidak terpikirkan isi hati sahabatnya bakal sesensitif ini. Padahal, sebulan lalu Mama Yani, nyonya rumah, sangat mengagumi keelokan Kamboja Kuning yang sedang cantik-cantiknya? Mama Yani memetik satu dan menyelipkan kamboja kuning di telinga. Ia bergaya foto berkali-kali. Bahkan, beberapa sudut ruangan berhiaskan kamboja dalam vas. Mama Yani seperti putus hubungan dengan Mawar dan Melati.

“Kamboja, kamu jangan berbicara seperti itu. Kita bertiga bersahabat. Di taman ini kita bersama, di kuburan pun kita bersama,” hibur Melati.

“Tidak sesederhana itu, Melati. Coba kamu renungkan. Betapa manusia itu tidak adil dan pilih kasih. Mengapa mesti bunga kamboja yang dicap bunga kuburan? Padahal, pusara baru dan batu-batu nisan selalu bermandikan mawar melati, juga kantil. Jarang sekali, bahkan mungkin tidak ada orang menaburkan kamboja. Hanya karena tinggalku di kuburan dan merindangi pusara yang kepanasan.”

“Sabar, Kamboja…,” bisik Melati lembut.
“Melati Putih dan Mawar Merah sabahatku, sepertinya malam ini kita terakhir kali bisa ngobrol.”
“Apa maksud kamu, Kamboja?” tanya Mawar kaget. 
“Besok aku akan meninggalkan kalian selamanya.”
“Kamboja?” Melati pun terhentak kaget dan penasaran.
“Pak Yani harus memotong dan membuangku.”
“Bukankah mereka menyayangi kita? Mereka merawat, menyirami, dan menjaga kita,” kata Mawar heran.

“Ya, tapi tetangga-tetangga merasa ngeri melihatku, bahkan ada yang takut berjalan malam hari lewat gang ini.”

Hening, senyap, dan diam di seputar mereka. Angin malam seakan mengantarkan dahan, ranting, dan daun-daun mereka laksana berpelukan untuk terakhir kali.

Sinar mentari pagi masih malu mengintip hari. Angin dingin mengantarkan kabut menyapa Kamboja dan teman-temannya. Semalaman Kamboja resah, tidak nyenyak tidurnya. Tiba-tiba ia merindukan senyum Mama Yani. Dua pekan ini Mama Yani dirawat di rumah sakit lantaran virus corona yang bersarang di tubuhnya. Apalagi Mama Yani memiliki bawaan sakit diabetes. Ya, Kamboja sangat merindukan Mama Yani.

Tiba-tiba terdengar suara dari celah-celah jalan udara.
“Apa? Bicara Ayah salah, kan? Mama tidak meninggal. Tenaga medis sudah berjuang sekuat tenaga, Yah. Setiap hari, mereka bersusah payah merawat Mama.” Suara Mila meninggi saat diberitahu mamanya meninggal.

“Ayah juga berharap kabar itu salah, Mila. Namun, petugas dari rumah sakit yang menghubungi Ayah langsung. Lebih baik Ayah siap-siap dan memastikan ke rumah sakit,” sela Ayah. “Kalau memang kabar ini benar, kita harus ikhlas menerimanya. Tuhan lebih sayang Mama, Nak. Bangunkan adikmu, beritahu pelan-pelan!” 

“Mila baru sepekan lalu ditinggal Eyang Putri, Yah. Masa Mila kehilangan Mama juga?” keluh Mila. “Ayah, huhu...,” tangis Mila tidak tertahan. Mila, mahasiswa semester akhir itu memeluk erat ayahnya. Mimpinya kelak menyerahkan gaji pertama untuk mamanya batal. Rencana mengajak mamanya keliling Indonesia sirna.

“Ayah, Mila tahun depan menikah tanpa Mama?” jerit Mila yang baru sadar dan membayangkan di pelaminan tanpa mamanya. Tangis calon pengantin ini kian menjadi. Air mata bagai ditumpahkan. Tubuhnya semakin lemas dan hampir pingsan disusul kedatangan Pak RT dan satu dua tetangga yang sudah mendapatkan kabar duka pagi itu.

Kamboja dan teman-temannya ikut menyimak percakapan Mila dan ayahnya. Mereka masih belum percaya. Apalagi Kamboja. Ia yang kemarin merasakan begitu merindukan Mama Yani, rupaya ini jawabannya. Adapun rencana Ayah Mila memotong pohon kamboja, Kamboja berharap semoga saja batal.
Mentari mulai berani menyapa dengan kehangatannya. Tampak bapak-bapak sedang memasang tenda dan menata kursi. Ibu-ibu, hanya sedikit, duduk di karpet memberikan dukungan kepada Mila. Adapun jenazah Mama Yani akan langsung dibawa ke pemakaman dengan mengikuti protokol penguburan jenazah pasien covid 19.

Krosak….
Ranting-ranting pohon mangga dekat pagar depan beradu dengan atap mobil memecah keheningan pagi. Kedatangan Tante Ratna, adiknya Mama Yani, melegakan Pak Yani, Mila ada yang menemani. 

Mila beranjak dari duduk dan menghambur ke tubuh Tante Ratna. Tumpah lagi air matanya membanjiri gamis hitam Tante Ratna. Masih dalam pelukan Tante, Mila dituntun menuju rumah. Tiba-tiba sekuntum kamboja mendarat dan mengusap lembut kepala Mila kemudain jatuh di samping kaki Mila. Mila berhenti, memungut kamboja kuning yang masih harum itu. 

“Bunga kesayangan Mama, Mila?”
“Iya, Tante,” jawab Mila sambil membetulkan kerudungnya.  
“Jangan ditebang pohonnya!” pinta Tante sambil mengusap pipi Mila yang masih basah.
“Baik, Tante,” jawab Mila sambil meletakkan kamboja kuning di dekat foto mama di atas bifet. 

“Kamu pintar sekali, Kamboja. Setidaknya itu cara kamu mengucapkan duka cita,” sanjung Mawar.  

“Mawar, kamu tahu di mana Mama Yani akan dimakamkan?” tanya Kamboja.
“Di pemakaman khusus pasien covid. Kurang lebih sepuluh kilometer dari sini,” kata Mawar.
“Ada apa, Kamboja?” tanya Melati penasaran.
“Aku ingin menemani Mama Yani. Aku ingin menghiburnya dan membuatnya tenang, tidak kepanasan.”

“Nah, itu dia Kamboja?” kata Mawar dengan tersenyum. 
“Itu dia apanya, Mawar?” Kamboja kaget.

“Kamu sudah menjawab sendiri pertanyaanmu kemarin. Tugas mulia itu memang tepat untuk kamu, Kamboja. Aku dan Melati tidak cocok. Kami hanya sampai pada acara tabur bunga. Ini juga kalau dibawa orang ke sana. Namun, keluarga kambojalah yang bisa setia menemani penghuni kubur. Di sana tanahnya subur, cocok untuk kamboja agar terus menerus berbunga. Selain untuk mempercantik area kuburan, bungamu tetap wangi walau sudah rontok,” jelas Mawar.

“Benarkah begitu?” tanya Kamboja ragu.
“Mawar benar, Kamboja. Andai saja aku bisa. Aku sedih karena tidak bisa meringankan kepedihan hati mereka. Mereka kehilangan orang tua dan saudara-saudara yang dicintai. Bukan hanya dalam waktu berdekatan, bahkan ada yang meninggal bersamaan. Status-status baru kini bermunculan, bahkan status anak-anak yatim piatu baru. Tidakkah ini membuat iba?” Suara Melati terhenti. Ia sangat bisa merasakan kedukaan Mila atau orang-orang lain yang bernasib sama.

 Sejenak Kamboja termenung menyadari semua itu. Kemarin dia emosi seperti kena bujukan setan untuk berprasangka negatif. Kini, kalimat lembut teman-temannya seakan menampar dirinya untuk tidak cengeng dan pengecut. 

“Kamboja, tahun ini Tuhan memberikan cobaan pada manusia di seluruh dunia. Dengan ujian menyebarnya virus covid 19, banyak orang yang ditinggal pergi orang-orang yang dicintainya. Kamu tahu akibatnya? Telah bermunculan pemakaman-pemakaman baru, bahkan superluas. Ini akan menjadi tempat tinggal baru bagi keluarga kamboja,” tambah Mawar.

“Mereka meninggal lantaran wabah penyakit. Mereka tergolong dalam mati syahid.” Pesan-pesan dahsyat telah mengalir menyingkap tabir gelap di hati Kamboja. Kamboja pun menatap ke langit, mengibaskan daun-daunnya. Ia titipkan salam kepada angin agar warga kamboja di mana pun berada mendengar. Tugas mulai pantang ditolak.

Namun, tiba-tiba….
Pak Bandi, tukang bersih-bersih taman, berjalan ke arah halaman rumah Pak Yani membawa parang. Entah siapa yang akan dipotong. Kamboja mulai bergetar ketakutan.*

Cerpen dimuat dalam buku antologi Simfoni Kerinduan. 

25 komentar:

  1. Suka sekali cerpennya 😍

    Sebelum meninggal almarhum mama saya berpesan agar nanti kuburannya ditanami bunga-bunga, kata Mama sudah selayaknya kuburan itu dijadikan seperti taman bukan dianggap sesuatu yang menyeramkan. Dan salah satu bunga yang mama minta untuk ditanam adalah Kamboja Bali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya Allah, sy mrinding baca komennya. Terima kasih. Insyaallah Ibunda mendapatkan tempat terbaik di sana. Amin..

      Hapus
  2. Dimakan bapak saya juga ditanami Kamboja Putih oleh Ibu. Kata Ibu, agar makam bapak rindang.

    Terimakasih ceritanya, banyak pelajaran positif yang diselipkan dalam setiap kejadiannya.

    BalasHapus
  3. Wah jadi ingin tahu nasib kamboja. Cerpennya melarutkan hati, seolah tak mau berhenti membaca, kisah kamboja,,,,,mantap Bu.... Salam literasi

    BalasHapus
  4. Saya larut dan sangat menikmati dialog para pelaku. Deskripsi yang dilukiskan membawa angan saya seolah berada di dekat mereka.

    BalasHapus
  5. Tak terasa butiran bening menetes di pipiku, cerpennya keren bu... Saya larut di dalamnya. Penasaran juga bagaimana nasib Kamboja.

    BalasHapus
  6. Cerpennya keren. Membuat larut ke dalamnya.

    BalasHapus
  7. Analogi yang keren. Jadi tahu alasan kenapa yang ditanam bunga Kamboja.

    BalasHapus
  8. Masyaa Allah bagus bu mien.. like like like

    BalasHapus
  9. Membaca cerpen ini jadi terhanyut dan pengen baca yg lain juga, bagus ust👍

    BalasHapus
  10. Barakallah Bu Min, inspiratif sekali. Cerita Kamboja selalu terngiang menjadi pelajaran berharga bahwa setiap sesuatu diciptakanNya tak akan ada yang sia-sia. Terima kasih..

    BalasHapus
  11. MasyaAlloh bagus banget ceritanya...👍🏽🙏

    BalasHapus
  12. Masya Allah...usth Min memang hebat eeyyy..

    BalasHapus