Senin, 06 Desember 2021

Temanku yang Aneh (cerpen)


Siang hari begitu menyengat. Kepulanganku jalan kaki dari kampus siang ini memaksaku untuk mampir ke lapak minuman kesukaanku, es cappuccino cincau. Namun, tidak bagi Mila. Mila temanku satu jurusan dan satu kos. Ia sering menunjukkan senyum khasnya melebarkan bibir ke kanan dan ke kiri, meskipun tanpa satu gigi pun tampak.  Ini tandanya ada yang berbeda di antara kami berdua. Ia mempunyai maksud tertentu. 

“Mau apa?” tanyaku.
“Aku beli dawet sebelah saja, ya?”
“Iya, sana!” jawabku.

Es kesukaanku sudah di tangan. Penghapus dahaga segelas plastik besar penuh lengkap dengan sedotan besar dan kresek mini. Aku tidak sabar menyedotnya. Sejenak aku lirik Mila yang masih menimang-nimang gelas kaca berisi setengah es dawet. Dia dengan santai meminumnya sampai habis. Pikirku, dia akan membeli segelas untuk dibawa pulang. Ini keanehannya yang pertama.

Sepuluh meter dari kos kami, ada sebuah warung nasi rames langganan anak kos. Tak terkecuali aku dan Mila.

“Ibu, nasi rames setunggal ngagem telur goreng ,” katanya dengan bahasa Jawa halus. Kadang yang dia ucapkan adalah kata-kata sudah terlalu usang yang tidak aku mengerti.  Ini keanehan kedua.

“Inggih , Mbak Mila manis,” jawab Bu Darti  dengan senyum dan lembut pula.
“Kamu kenapa pakai bahasa halus seperti itu? Kurang praktis, kelamaan!” kataku meninggi. Dia hanya tersenyum khas. Kini giliran aku yang pesan nasi. “Bu, rames satu, biasa.”
“Beres, Mbak Tina cantik,” jawab Bu Darti.
“Bu, ampun nganggem sterofom! ” sela Mila, mengagetkan. “Ngagem daun, wonten mboten? Nopo kertas daun mawon .”

“Iya, Mbak. Siap,” jawab Bu Darti. Apapun permintaan pembeli, Bu Darti siap melayani. Kembali ke Mila. Aku sudah mengumpulkan, keanehan ke berapa tadi, ya? Oh, ya. Ini keanehan ketiga.

Sambil menunggu bungkusan nasi remes selesai, aku membunuh waktu dengan membuka hp. Begitu juga Mila. Aku membuka status teman-teman, IG, atau tik tok, sedangkan Mila? Coba tebak, apa yang dilakukan?

“Assalaumualaikum, Ibu,” katanya lembut kepada seseorang di dalam hp.
“Waalaikum salam, Mila. Sehat, Nduk? ” jawab seseorang dengan bahasa Jawa juga. Setelah aku numpang nguping sedikit, rupanya Mila sedang ngobrol dengan ibunya di kampung. Ya, itulah temanku. Sama-sama kami membuka hp, tetapi beda yang kami lakukan. Dalam sehari, dia bisa mengabsen semua anggota keluarganya.  Menurut kalian, ini aneh tidak?

Hmm….
Senyumnya melebar lagi, kali ini dengan sedikit suara pengganti minta maaf mungkin. Maaf karena berisik berbicara di hp sampai Bu Darti selesai membungkus dua nasi. Ini keanehan berikutnya. Ya, keempat. Mungkin Mila memang tidak mengenal game di hp dan jarang melihat status orang.

“Matur nuwun, Bu Darti,” pamit Mila.
“Nggih, Mbak, sami-sami .” 
Kami hampir sampai rumah. Dari warung Bu Darti sampai kos kami melewati jembatan di atas selokan. 

“Selokan kok penuh sterofom dan plastik!” gerutuku sambil menutup hidung.
“Setidaknya, bukan sampahku.”

Deg, aku tersentak dengan jawaban Mila. Apakah ini jawaban dari keanehan-keanehannya? Aku malu pada diri sendiri. Setiap hari aku turut andil dalam memproduksi sampah plastik.

Setelah makan, aku santai sejenak. Tiba-tiba hp ku berbunyi. 
“Ya, Ma. Ada apa?” tanyaku kepada Mama. Selain tanya kabar, Mama memintaku untuk pulang akhir pekan ini. 

“Pulang ya, Tina. Tante Lita sekeluarga mau mampir dan kita akan foto bersama,” pinta Mamaku. Tante Lita adalah sahabat karib mamaku waktu SMA. Mereka mengadakan reuni seangkatan dan akan mampir ke rumah. Cita-cita mereka ingin foto bareng dua keluarga. Bahkan dulu sempat terucap mau besanan.

“Aku tidak mau pulang, Mama. Aku ada kegiatan main bareng teman. Sudah janjian.”
“Ini kesempatan langka, Sayang. Pulang, ya Nak!”
“Mama jangan maksa-maksa aku. Aku tidak mau dijodohkan, titik!” suaraku meninggi. Mila sampai keluar dari kamarnya, melongokkan kepalanya. Aku masih terus berdebat dengan Mama. 

“Siapa bilang Mama mau menjodohkan kamu, Mila,” bela Mama. “Tante Lita tamu jauh dari Medan, apa kamu tidak bisa pulang sebentar. Perjalanan pulang cuma dua jam. Satu jam kamu di rumah dan bisa balik lagi. Silakan bermain dengan teman-temanmu.”

Dan seterusnya seakan kami saling meluncurkan peluru-peluru tajam pembelaan. Argumen yang dianggap paling benar untuk memenangkan perdebatan. Suaraku pun masih bisa meninggi. Kalau sudah seperti ini, aku hanya lemas dan aku tutup dengan minum dua gelas air putih. Ini cukup untuk membendung air mataku. 

Entah mengapa aku langsung teringat Mila yang selalu halus dan lembut saat bertelepon.
“Mila…!” panggilku keras kepada Mila.  “Eh, maaf. Nada tinggiku masih tersisa.”
“Ada apa, Tina?”
“Benar kamu tidak pernah bertengkar dengan ibumu? Aku tidak pernah mendengar suaramu tinggi  di telepon?”

 “Bagaimana aku bertengkar, ibuku tidak pernah mengajariku untuk aku meninggikan suara?”

“Apakah kamu kesulitan berdebat kalau menggunakan bahasa Jawa?” selidikku.
“Aku bertahan berbahasa Jawa adalah permintaan ibuku agar aku mengerti kepada siapa aku berbicara.”

“Kamu tidak pernah berbeda pendapat?”
“Siapa pun pasti pernah beda pendapat. Cuma, aku tidak pernah merasa harus menang. Perbedaan pendapat bukan sebuah perlombaan. Ibu juga kadang mengikuti pendapatku bila itu dirasa lebih baik,” jawab Mila tenang.

“Aneh!”
“Apanya yang aneh?” tanya Mila.
“Aneh karena kamu tidak pernah bertengkar dengan orang tuamu.”
“Biarkan aku dalam keanehan-keanehan, yang penting aku merasa nyaman dan tidak mengganggu orang lain. Kali ini Mila seperti protes karena sering aku katakan aneh.

  Dalam hati aku membenarkan jawaban Mila. Dia memang tidak pernah mengganggu orang lain. Justru dia tengah berjuang melawan kerasnya zaman. Zaman serbaplastik, zaman serbamodern, zaman serbaindividualis, dan zamannya bahasa daerah mulai ditinggalkan.  
Kami dalam keheningan. Mila belum meninggalkanku yang dari tadi terduduk lemas di ruang tamu.

“Kamu akan mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anakmu kelak?” tanyaku penasaran.

“Akan aku upayakan. Kita sudah banyak kehilangan hutan. Jangan sampai kehilangan bahasa Jawa. Eh, maaf. Tidak ada hubungannya, ya?” 

Tiba-tiba Mila melucu. Kelucuan yang datar nenurutku. Ya, lucu. Namun, aku belum bisa tertawa. Aku hanya melempar bantal kursi ke arahnya. 

“Bagiku yang orang Jawa dan tinggal di Jawa, bahasa Jawa adalah bahasa ibu yang ibuku kenalkan kepadaku. Aku bersyukur keluargaku menularkan bahasa Jawa kepadaku,” tambahnya.

“Aku juga orang Jawa yang tinggal di Jawa. Sama seperti kamu. Namun, dari kecil aku bebahasa Indonesia. Apakah aku seperti anak ayam yang kehilangan induknya?” tanyaku tiba-tiba setelah memahami maksud Mila.

“Iya, iya benar!” teriak Mila. Kemudian dia berlenggak-lenggok di depanku layaknya anak ayam kebingungan dan sempoyongan.

Piyik… piyik… piyik….
“Mana indukku? Mana emakku?” ledeknya kepadaku.
Piyik….piyik…piyik….
Aku lempar bantal lagi dia. Mila lari dan aku kejar dia. Kami tertawa terpingkal-pingkal.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar