Sekitar tahun 2007, saya mengajar satu
yayasan dengan anak saya sekolah. Anak saya masih SD dan saya mengajar di SMP. Rutinitas
pagi adalah sebuah perjuangan agar tidak tercatat terlambat dan ini prestasi
yang sangat saya jaga.
“Ayo segera berangkat, sudah siang
Nak!” ajak saya kepada anak agar segera keluar rumah. Saya berangkat ke sekolah
bersama putri saya dengan seperda motor setiap hari. Selain cukup kami berdua,
suami saya bekerja di luar kota. Dengan demikian, urusan sehari-hari kami
tangani sendiri.
Kegiatan berlalu lintas setiap hari,
berhadapan dengan lampu lalu lintas tidak bisa kami hindari.
“Ibu, jangan cepat-cepat. Aku takut,”
rengek anak saya dari atas motor. Sedangkan yang ada di pikiran saya bahwa
dengan mepetnya waktu, kecepatan motor harus saya tambah. Kecuali, saya ikhlas
menerima konsekuensi harus lapor ke kantor yayasan bila terlambat lebih dari
06.45. Peraturan ini berlaku untuk guru dan seluruh karyawan tempat saya
mengajar.
Pernah suatu saat laju motor saya
dalam keadaan cepat. Sementara itu dari kejauhan tampak lampu kuning menyala.
Belum sempat saya kurangi kecepatan motor saya, tanpa diduga lampu berubah
merah. Karena tanggung, motor tidak bisa saya hentikan mendadak.
“Ibu, lampu merah kok tidak berhenti.
Tidak boleh. Bisa dimarahi polisi.” Panjang lebar anak saya mengingatkan saya.
Dalam hati jelas saya malu.
“Iya, Nak. Tadi mepet dan tanggung.
Ibu minta maaf, ya?” Saya sangat bersyukur untuk urusan ini, anak saya bisa
memahami dan menerapkan materi yang disampaikan gurunya. Tinggal praktiknya
menjadi wilayah para orang tua. Agar teori yang disampaikan di kelas, bisa
sesuai dengan yang anak-anak lihat.
Beberapa hari kemudian, saat pulang
sekolah. Masih seperti biasa saya bersepeda motor menuju rumah. Di perempatan jalan
dekat pusat pertokoan, ada dua lampu lalu lintas yang sangat berdekatan. Lampu merah
sebelumnya kami tunggui full lumayan lama sampai berubah warna hijau. Baru saja
motor saya gas meninggalkan lampu kuning, beberapa meter lampu merah lagi, niat
saya motor saya percepat sebelum lampu merah betul.
Ciiit…
ciiit….
Suara rem motor saya persis suara
anak-anak tikus yang bertengkar. Ternyata di samping kanan saya sebuah mobil
polisi dengan kaca depan terbuka. Dulu belum ada garis pemisah area henti roda
dua di bawah lampu lalu lintas. Seorang polisi, sudah bapak-bapak, duduk manis
di samping supir yang polisi juga. Sedangkan di sisi kanan luar mobil itu, ada seorang
ibu pengendara motor. Betapa ramahnya si ibu yang ternyata orang tua siswa
saya. Walau terhalang mobil, dia menoleh
ke kiri dan menyapa saya.
“Ustazah, tidak apa-apa? Hati-hati,
Ustazah,” katanya membuat saya malu. Apalagi, kedua polisi itu pun ikut menoleh
ke arah saya.
“Tidak perlu ngebut, Mbak!” kata Pak
Polisi ramah. Saya hanya tersenyum dan berusaha menyembunyikan rasa malu yang
teramat sangat. Ditambah cubitan kecil saya rasakan dari anak saya. Jelas dia
ikut malu dan pastinya tidak suka saya tidak tertib.
“Ibu, sih. Malu, kan?” kata anak saya sesampai
rumah. Dia yang kelas 4 SD sudah paham dengan kejadian di perempatan tadi.
“Aku sudah ingatkan, Ibu jangan cepat-cepat.
Kebiasaan pagi takut terlambat, siang juga Ibu tidak bisa pelan.” Tanpa perlu
beralasan lagi, saya jelas di posisi salah. Sejak saat itu, memboncengkan anak
atau tidak, saya menghindari pelanggaran lalu lintas dan tidak berangkat mepet waktu.
Ditambah sejak pindah rumah. Lokasi
yang jauh dari sekolah, memaksa saya berangkat jauh lebih pagi. Selain takut
terlambat, saya menghindari palang kereta api.
Apalagi, setiap di depan palang kereta api, bisa dipastikan saya
menyaksikan pelanggaran dari para orang tua yang dengan santainya nekat
menyeberangi rel kereta api. Sungguh pelajaran negatif langsung kepada anaknya.
Bagaimana orang tua akan lantang menasihati anak-anak agar disiplin? Setiap kesiangan
berangkat sekolah, orang tua seperti itu menyuguhkan contoh praktik pelanggaran
kepada anaknya.
Alhamdulillah jalur rumah ke sekolah sejak 2019 sudah ada underpass.*
Purwokerto, 26 Februari 2021
Anak Soleh, selalu mengingatkan ibunya.
BalasHapusSemoga sebagai orang tua kita selalu memberikan contoh positif bagi anak.
Hem... Saat kita muda memang begitu nggih Bunda...
BalasHapusTapi sekarang justru saya yang diprotes anak-anak ...pelan banget katanya... Tak sadar bila saya yang bonceng.... Itulah dunia terbalik... Hehehe...
Bagus Bu Mien tulisannya...