Tema Kamis Menulis, 9 Juni 2022: "Masa Kecilku"
“Mana sepatuku?” teriak Mbak Riri, kakakku pas.
“Mana topi baruku?” tanya Mas Ryan tidak mau kalah.
“Ayo, berangkat!” teriak Ami semakin membuat yang lain gugup.
“Jangan ada yang tertinggal!” kata Bapak sambil menghabiskan teh manisnya.
“Sendok gelas sudah masuk tas, Ti?” tanya Ibu.
“Sudah, Bu,” jawab Mbak Ati.
Pagi itu, semua anggota keluarga siap-siap berangkat. Dengan baju paling
bagus, sepatu, tas, bekal makanan dan minuman. Mereka akan mengikuti acara wisata dari kantor bapak.
Tahun 1977 kurang lebih, belum banyak fasilitas dan perlengkapan modern.
Bila melakukan perjalanan jauh, apalagi wisata atau piknik, orang-orang identik
dengan membawa rantang susun tempat nasi dan termos air panas. Begitu juga mereka saat itu. Menyiapkan alat makan dan minum sendiri.
Membawa air panas dan air putih sendiri. Berbeda dengan sekarang yang di setiap
saat dan tempat, orang dengan mudah membeli yang diperlukan. Berbagai makanan dan minuman instan tersedia.
Semua anak tampak bahagia akan melakukan wisata bersama. Waktu itu Ami masih TK. Gembiranya anak kecil, ya seputar
bernyanyi-nyanyi kecil, menari-nari, jalan ke sana dan ke sini. Tidak bisa
diam. Menunggu waktu berangkat rasanya lama sekali. Tidak disangka. Tiba-tiba….
Prang….
Sebuah termos merah pecah jatuh dari meja. Air panas dari dalam tumpah
melebar di lantai. Lapisan kaca di dalam termos yang menyimpan panas hancur.
Artinya, termos rusak, harus pensiun. Termos pun tidak bisa diajak piknik.
Sialnya, karena tangan Ami yang menyenggolnya. Sontak semua suara protes tertuju kepada Ami.
“Mi, kamu apakan?”
“Mi, tanganmu, ya?”
“Biasa, ya Mi?” Satu per satu mereka menyebut nama Ami.
“Aduh, Bapak tidak bisa minum teh panas nanti!” keluh Ibu.
Hanya adik Ami yang tidak ikut bersuara karena dia masih terlalu
kecil. Dan, Bapak tentu saja. Bapak adalah orang yang banyak diam, tetapi ia bapak yang hebat, pekerja keras.
Wisata kali ini, terasa bukan hari yang indah bagi Ami. Awal keberagkatan menjadi hari yang mendung dan gelap bagi hatinya.
Meskipun kemudian, di sana Ami senang sekali naik kapal dan bisa menikmati indahnya Waduk Sempor, di
Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Airnya bersih begitu meluap. Bangunan-bangunan
megah dan pemandangan yang indah. Objek wisata yang masih baru dan ramai
dikunjungi orang.
Entah dari mana asal kebiasaan Ami menjatuhkan barang. Ada
saja barang yang jatuh atau tersenggol membuat heran orang lain. Sungguh, saat
itu Ami tidak bisa menolak dari cap diri.
“Mi-Mi, kok kamu hobi menjatuhkan barang?” kata Mbak Indah, kakak tertua.
“Setiap yang dipegang Ami, pasti jatuh. Haha…,” tambah Mas Ryan.
Sampai kapan aku terhindar dari penyakit ini? Tanya Ami dalam hati. Jelas
kupingnya tidak suka
dengan cap atau stempel itu lagi. Namun, kenyataannya seperti itu.
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa stempel itu datangnya spontan. Namun,
karena berlanjut sehingga semakin melekat. Yang mendapatkan stempel sungguh
tidak nyaman dan pasti ingin menghindar.
Seandainya keadaan dibalik. Sesuatu musibah disikapi tidak perlu
berlebihan. Pelaku dinasihati seperlunya. Tidak perlu diulang-ulang menyalahkan
dan mengatakan dia menjadi penyebab suatu musibah. Pelaku tidak merasa terlalu
bersalah oleh orang-orang di sekitarnya yang menghakimi. Dia akan biasa-biasa
saja. Akhirnya, gerak-geriknya tidak terbebani, dia tidak gampang menyenggol
atau menjatuhkan barang. Lama kelamaan bisa normal kembali. Tanpa disadari,
kebiasaan buruk itu bisa hilang.*
Purwokerto, 21 Februari 2021
Bu Mien begitulah sebagian orang menyikapi sesuatu dengan emosi dan cari pembenaran masing-masing
BalasHapusBenar Bunda. Trims
HapusMenarik bu Min. Akhirnya mbak Ami ini seperti apa bun dewasanya?
BalasHapusItu sy Bu. Masa kecil sy, hehe....
HapusKasian Ami, sudah kaget dihujam pertanyaan bertubi-tubi.
BalasHapusCeritanya mengandung pembelajaran dalam.menyikapi.permasalahan.
Nuwun Bu.
HapusHem... Spontanitas dalam mereaksi suatu kejadian memang tak indah nggih... Jika reaksinya tak sesuai... Atau yg bersifat negatif...
BalasHapusNuwun Bu
HapusJadi sugesti ya, Bu kalau diulang-ulang.
BalasHapusBetul Bu....
HapusWah betul sekali, jadi inget anak dan keponakan, yang kena tudingan atas kesalahan yang tidak disengaja. Kadang kalo lagi sadar dan nalar ini sehat, istigfar dan memberika. Respon yang baik.
BalasHapusTapi ya tak jarang kasus diatas dialami oleh anak dan ponakan
Byk orang tua perlu ilmu tentang parenting ya Bu...
HapusBener juga bun
BalasHapusTerima kasih...
HapusAda ya yang punya kebiasaan menjatuhkan barang
BalasHapusTidak sengaja..... Hehe....
HapusTerkadang spontanitas kata yang terucap menjadi sebuah doa, so.... berusaha untuk menerima suatu keadaan dengan di awali dengan kata-kata yang baik agar menjadi doa karena kita tak tau doa mana yang akan di ijabah. Berhati-hatilah dalam berkata, kata-kata adalah doa.
BalasHapusBetul Bu.....
HapusJadi bercermin... Tanpa disadari sepertinya sy pun kadang begitu ke Hibban.. 😔
BalasHapusJgn diulangi..... Hehe....
HapusBetul.. Cerita yg bagus utk refleksi diri.. *by the way, sy td mikir, Ami itu menunjuk ke penulis sendiri apa bukan.. Rasanya emosi dan penggambarannya dapet banget, spt pengalaman.. Dn sdh terjawab di komentar di atas..
BalasHapusAsli itu.... Saya. Hehe....
HapusPengalaman masa kecil yang menjadi pembelajaran untuk kita semua. Jangan melabeli orang dengan hal negatif.
BalasHapusBenar Bu... Terima kasih sdh mampir.
HapusMantap kisahnya
BalasHapusBisa bikin novel
Terima kasih Pak....
HapusBisa sembuh dari ketidaksadaran krn label negatif pasti pernuangan yg ga mudah ya Bu? Barokallah Bu..
BalasHapusBetul Bu. Terima kasih
HapusKeren...ceritanya sangat menginspirasi
BalasHapusTerima kasih Bu...
Hapussuka sama kisahnya bu, salam kenal
BalasHapusNggih Bu. Terima kasih. Salam kenal juga....
HapusMana topiku... keren ceritanya
BalasHapus