Sabtu, 20 Februari 2021

Termos Merah Pecah (Cerita inspiratif_01)


Tema Kamis Menulis, 9 Juni 2022: "Masa Kecilku"
Ini tulisan lama yang sepertinya belum pernah saya munculkan di Lagerunal. 
****

Pada sebuah keluarga, ada bapak dan ibu dengan 6 orang anak, 5 perempuan dan 1 laki-laki nomor 3. Ami adalah anak nomor 5. Suatu pagi, kesibukan sudah mewarnai keluarga tersebut.             

“Mana sepatuku?” teriak Mbak Riri, kakakku pas.

“Mana topi baruku?” tanya Mas Ryan tidak mau kalah.

“Ayo, berangkat!” teriak Ami semakin membuat yang lain gugup.

“Jangan ada yang tertinggal!” kata Bapak sambil menghabiskan teh manisnya.

“Sendok gelas sudah masuk tas, Ti?” tanya Ibu.

“Sudah, Bu,” jawab Mbak Ati.

Pagi itu, semua anggota keluarga siap-siap berangkat. Dengan baju paling bagus, sepatu, tas, bekal makanan dan minuman. Mereka akan mengikuti acara wisata dari kantor bapak.

Tahun 1977 kurang lebih, belum banyak fasilitas dan perlengkapan modern. Bila melakukan perjalanan jauh, apalagi wisata atau piknik, orang-orang identik dengan membawa rantang susun tempat nasi dan termos air panas. Begitu juga mereka saat itu. Menyiapkan alat makan dan minum sendiri. Membawa air panas dan air putih sendiri. Berbeda dengan sekarang yang di setiap saat dan tempat, orang dengan mudah membeli yang diperlukan. Berbagai makanan dan minuman instan tersedia.

Semua anak tampak bahagia akan melakukan wisata bersama. Waktu itu Ami masih TK. Gembiranya anak kecil, ya seputar bernyanyi-nyanyi kecil, menari-nari, jalan ke sana dan ke sini. Tidak bisa diam. Menunggu waktu berangkat rasanya lama sekali.  Tidak disangka. Tiba-tiba….

Prang….

Sebuah termos merah pecah jatuh dari meja. Air panas dari dalam tumpah melebar di lantai. Lapisan kaca di dalam termos yang menyimpan panas hancur. Artinya, termos rusak, harus pensiun. Termos pun tidak bisa diajak piknik.

Sialnya, karena tangan Ami yang menyenggolnya. Sontak semua suara protes tertuju kepada Ami.

“Mi, kamu apakan?”

“Mi, tanganmu, ya?”

“Biasa, ya Mi?” Satu per satu mereka menyebut nama Ami.

“Aduh, Bapak tidak bisa minum teh panas nanti!” keluh Ibu.

Hanya adik Ami yang tidak ikut bersuara karena dia masih terlalu kecil. Dan, Bapak tentu saja. Bapak adalah orang yang banyak diam, tetapi ia bapak yang hebat, pekerja keras.

Wisata kali ini, terasa bukan hari yang indah bagi Ami. Awal keberagkatan menjadi hari yang mendung dan gelap bagi hatinya.

Meskipun kemudian, di sana Ami senang sekali naik kapal dan bisa menikmati indahnya Waduk Sempor, di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Airnya bersih begitu meluap. Bangunan-bangunan megah dan pemandangan yang indah. Objek wisata yang masih baru dan ramai dikunjungi orang.

Entah dari mana asal kebiasaan Ami menjatuhkan barang. Ada saja barang yang jatuh atau tersenggol membuat heran orang lain. Sungguh, saat itu Ami tidak bisa menolak dari cap diri.

“Mi-Mi, kok kamu hobi menjatuhkan barang?” kata Mbak Indah, kakak tertua.

“Setiap yang dipegang Ami, pasti jatuh. Haha…,” tambah Mas Ryan.

Sampai kapan aku terhindar dari penyakit ini? Tanya Ami dalam hati. Jelas kupingnya  tidak suka dengan cap atau stempel itu lagi. Namun, kenyataannya seperti itu.       

 

Dari sini kita bisa mengetahui bahwa stempel itu datangnya spontan. Namun, karena berlanjut sehingga semakin melekat. Yang mendapatkan stempel sungguh tidak nyaman dan pasti ingin menghindar.

Seandainya keadaan dibalik. Sesuatu musibah disikapi tidak perlu berlebihan. Pelaku dinasihati seperlunya. Tidak perlu diulang-ulang menyalahkan dan mengatakan dia menjadi penyebab suatu musibah. Pelaku tidak merasa terlalu bersalah oleh orang-orang di sekitarnya yang menghakimi. Dia akan biasa-biasa saja. Akhirnya, gerak-geriknya tidak terbebani, dia tidak gampang menyenggol atau menjatuhkan barang. Lama kelamaan bisa normal kembali. Tanpa disadari, kebiasaan buruk itu bisa hilang.*

 

Purwokerto, 21 Februari 2021

 


33 komentar:

  1. Bu Mien begitulah sebagian orang menyikapi sesuatu dengan emosi dan cari pembenaran masing-masing

    BalasHapus
  2. Menarik bu Min. Akhirnya mbak Ami ini seperti apa bun dewasanya?

    BalasHapus
  3. Kasian Ami, sudah kaget dihujam pertanyaan bertubi-tubi.

    Ceritanya mengandung pembelajaran dalam.menyikapi.permasalahan.

    BalasHapus
  4. Hem... Spontanitas dalam mereaksi suatu kejadian memang tak indah nggih... Jika reaksinya tak sesuai... Atau yg bersifat negatif...

    BalasHapus
  5. Jadi sugesti ya, Bu kalau diulang-ulang.

    BalasHapus
  6. Wah betul sekali, jadi inget anak dan keponakan, yang kena tudingan atas kesalahan yang tidak disengaja. Kadang kalo lagi sadar dan nalar ini sehat, istigfar dan memberika. Respon yang baik.
    Tapi ya tak jarang kasus diatas dialami oleh anak dan ponakan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Byk orang tua perlu ilmu tentang parenting ya Bu...

      Hapus
  7. Ada ya yang punya kebiasaan menjatuhkan barang

    BalasHapus
  8. Terkadang spontanitas kata yang terucap menjadi sebuah doa, so.... berusaha untuk menerima suatu keadaan dengan di awali dengan kata-kata yang baik agar menjadi doa karena kita tak tau doa mana yang akan di ijabah. Berhati-hatilah dalam berkata, kata-kata adalah doa.

    BalasHapus
  9. Jadi bercermin... Tanpa disadari sepertinya sy pun kadang begitu ke Hibban.. 😔

    BalasHapus
  10. Betul.. Cerita yg bagus utk refleksi diri.. *by the way, sy td mikir, Ami itu menunjuk ke penulis sendiri apa bukan.. Rasanya emosi dan penggambarannya dapet banget, spt pengalaman.. Dn sdh terjawab di komentar di atas..

    BalasHapus
  11. Pengalaman masa kecil yang menjadi pembelajaran untuk kita semua. Jangan melabeli orang dengan hal negatif.

    BalasHapus
  12. Bisa sembuh dari ketidaksadaran krn label negatif pasti pernuangan yg ga mudah ya Bu? Barokallah Bu..

    BalasHapus
  13. Keren...ceritanya sangat menginspirasi

    BalasHapus
  14. suka sama kisahnya bu, salam kenal

    BalasHapus