“Tetangga
depan mobilnya baru, mobil kita sudah kuno dan kusam,” keluh Murni sambil
pasang muka cemberut. Seno, suaminya yang duduk di kursi panjang terus membaca
buku. Mungkin asyik membaca buku atau pura-pura tidak mendengar.
“Bu Rio
gelangnya nambah lagi, aku masih saja pakai gelang karet sekalian untuk
mengucir rambut,” tambah Murni sambil sesekali melirik suaminya. Tangannya
terus lincah memotong kacang panjang, tetapi matanya terlepar ke arah luar
teras. Seakan mata itu mengabsen rumah-tumah tetangga.
Suami terus
saja membuka halaman buku selanjutnya. Bahkan, belum dibaca, tetapi dia buka
lagi dan buka lagi halaman berikutnya.
“Kalau
arisan, hanya aku yang tidak pernah ganti sandal.”
Ehm....
Seno
seperti ancang-ancang mau berkata. Murni kaget kemudian terdiam.
“Pak Amir
sudah rutin bisa puasa Senin Kamis, aku kok belum bisa, ya?” kata Seno tenang.
Murni hanya menoleh tanpa suara.
“Pak Asna
bisa setiap hari berjamaah subuh dan duduk zikir sampai waktu duha. Pahalanya
seperti pahala ibadah umrah dan haji,” tambahnya.
“Pak Rudi
selalu menyisihkan seperempat gajinya untuk Panti Asuhan tempat aku bekerja,
aku baru bisa mencatatkan.” Kali ini Seno berdiri dan memandang ke luar.
Menatap jauh pucuk-pucuk pohon di seberang jalan.
“Pak Lukman
selalu kurban kambing setiap tahun, aku baru bisa berencana.
Murni
benar-banar terpaku dan beku. Ia ingat betul pesan guru ngajinya, Ustaz Haris,
yang mengucapkan nasihat tentang hal apa yang pantas iri kepada orang lain.
Nasihat yang mereka dengar bersama di dalam kelas mengaji sore bersama Seno saat sama-sama masih remaja.
Sekian
tahun Murni sibuk membandingkan ini dan itu dengan ibu-ibu tetangga. Ia
tertunduk sejenak sebelum memutuskan masuk rumah.*
Purwokerto,
15 Oktober 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar