Sabtu, 20 Februari 2021

Sibuk Membandingkan

 “Tetangga depan mobilnya baru, mobil kita sudah kuno dan kusam,” keluh Murni sambil pasang muka cemberut. Seno, suaminya yang duduk di kursi panjang terus membaca buku. Mungkin asyik membaca buku atau pura-pura tidak mendengar.

 “Bu Rio gelangnya nambah lagi, aku masih saja pakai gelang karet sekalian untuk mengucir rambut,” tambah Murni sambil sesekali melirik suaminya. Tangannya terus lincah memotong kacang panjang, tetapi matanya terlepar ke arah luar teras. Seakan mata itu mengabsen rumah-tumah tetangga.

Suami terus saja membuka halaman buku selanjutnya. Bahkan, belum dibaca, tetapi dia buka lagi dan buka lagi halaman berikutnya.

 “Kalau arisan, hanya aku yang tidak pernah ganti sandal.”

 Ehm....

Seno seperti ancang-ancang mau berkata. Murni kaget kemudian terdiam.

 “Pak Amir sudah rutin bisa puasa Senin Kamis, aku kok belum bisa, ya?” kata Seno tenang. Murni hanya menoleh tanpa suara.

 “Pak Asna bisa setiap hari berjamaah subuh dan duduk zikir sampai waktu duha. Pahalanya seperti pahala ibadah umrah dan haji,” tambahnya.

 “Pak Rudi selalu menyisihkan seperempat gajinya untuk Panti Asuhan tempat aku bekerja, aku baru bisa mencatatkan.” Kali ini Seno berdiri dan memandang ke luar. Menatap jauh pucuk-pucuk pohon di seberang jalan.

 “Pak Lukman selalu kurban kambing setiap tahun, aku baru bisa berencana.

 Murni benar-banar terpaku dan beku. Ia ingat betul pesan guru ngajinya, Ustaz Haris, yang mengucapkan nasihat tentang hal apa yang pantas iri kepada orang lain. Nasihat yang mereka dengar bersama di dalam kelas mengaji sore  bersama Seno saat sama-sama masih remaja.

 Sekian tahun Murni sibuk membandingkan ini dan itu dengan ibu-ibu tetangga. Ia tertunduk sejenak sebelum memutuskan masuk rumah.*

 

Purwokerto, 15 Oktober 2020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar