Minggu, 28 Februari 2021

Sepekan Saja Mendampingi Anak TK (Parenting#4)



 “Mama jangan pergi, mama duduk di dalam!” rengek Amirah kepada mamanya sambil menarik baju dan kerudung mamanya. Ia minta mamanya ikut masuk kelas bahkan duduk di sampingnya.

“Kalau mama pergi, Amirah tidak mau sekolah!” ancamnya.

 

Ini sepenggal cerita anak Mama Tina, Amirah. Percakapan Amirah kepada mamanya pada awal-awal masuk TK. Rupanya Amirah tidak sendiri, di dalam kelas ada mama-mama lain yang sedang menunggui anaknya pula. Sehari dua hari berlalu. Sepekan sudah cukup. Ya, rupanya seperti itu pengondisian anak awal masuk TK di sekolah Amirah.

Sebagai guru terhitung msih baru, Mama Tina tidak bisa menemani kegiatan anaknya di TK. Selain masih guru baru, tempatnya mengajar sedang perombakan sistem manajemen sekolah. Peraturan kepegawaian sedang dibuat lebih ketat. Nyaris, aktivitas Amirah di TK bersama Mbak Tur, asisten rumah tangga.

“Assalamualaikum. Amirah sudah siap?” suara Pade. Tiap pagi Amirah dijemput Pade sekalian Paade mengantar anaknya, Mas Rizki, yang sekolah di SD dekat TK Amirah.

“Waalaikum salam, sudah siap Pade. Ayo berangkat,” jawab Amirah. Mbak Tur cuma mengantar sampai depan pintu rumah. Siang hari, Mbak Tur menjemput naik angkot, angkutan kota. Begitu setiap hari. Selama dua tahun Amirah TK, ditunggui hanya satu pekan awal.

Berbeda dengan cerita para tetangga.

“Wah, Kani tadi nangis di sekolah, ya?” tanya Asyrif, teman bermain Amirah.

“Apa iya, Kani?” tanya Mama Tina. “Mengapa menangis?”

“Selesai mewarnai, aku mencari Ibu. Ibu tidak kelihatan di luar kelas. Biasanya duduk-duduk di luar,” jawabnya sambil tetap bermain boneka besama teman-temannya.

“Kani yang sekolah, ibunya ikut sekolah, ya? Kalau tidak ditunggui ibu, takut?” tanya Asyrif. Ibunya yang duduk di belakang Kani cuma senyum-senyum.

“Iya,” jawab Kani lagi.

“Amiaarah juga mau ditunggui Mbak Tur, tapi dilarang sama Ustazah. Anak-anak TK tidak boleh ditunggui. Ibu-ibunya diruruh pulang. Ya, Ma?” tanya Amirah sambil menoleh ke arah mamanya.

“Tempatku boleh, ya aku senang ditunggui ibuku. Kalau istirahat makan, bisa disuapi. Kalua jajan bisa ditemani ibu. Enak, kan?”

“Haha…. Sekolah ditunggui, makan disuapi. Malu!” ledek Asyrif lagi.

Tadi ibumu ke mana, Kani, kok kamj nangis?” tanya Mama Amirah.

“Ibu tadi cuma ke belakang. Kani sudah nangis. Ibu malu,” jawab ibunya Kani.

“Temanku juga kadang menangis,” bela Kani.

“Haha…. Iya, Kani masih sering menangis di sekolah. Aku sih sudah tidak pernah menangis,” ledek Asyrif yang teman sekelas Kani.

 

Kejadian seperti ini mungkin banyak dialami oleh anak-anak kita. Memang sejak bayi anak-anak jarang berpisah dengan orang tua.  Masuk usia sekolah, anak akan berpisah dengan orang tuanya. Mau tidak mau anak akan menjumpai lingkungan baru dan berpisah dengan orang tuanya atau orang yang terdekat seperti asisten rumah tangga, pengasuh, atau eyang mereka. Dalam masa penyesuaian inilah, orang tua yang mendapatkan tantangan besar.  

Rupanya peraturan anak tidak boleh ditunggui akan membawa dampak positif. Anak mulai belajar mandiri dalam banyak hal. Sebaliknya, anak yang dari rumah sudah mulai diajarkan kemandirian, di sekolah akan mudah ditinggal. Seperti makan sendiri, memakai sepatu, atau memakai dan melepas baju.

Di sini ada suatu pemahaman bahwa lingkungan sangat menentukan perkembangan anak. Anak TK pun perlu mendapatkan lingkungan yang baik. Lingkungan yang dapat melatih kemandirian anak dari awal.

 

Purwokerto, 28 Februari 2021


Foto: google

6 komentar:

  1. Leres Bu Mien... Saya dulu juga mendampingi saat anak-anak awal masuk TK... Kemandirian harus diajarkan dari usia dini... Akan tetapi rasa tak tega kadang mendominasi...

    BalasHapus
  2. Orang tua harus paham ilmunya bagaimana mengawal anak yang tepat

    BalasHapus
  3. Anak2 terpaksa tidak pernah ditungguin waktu sekolah TK
    Alhamdulillah bisa mandiri

    BalasHapus